Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Korban Kekerasan Seksual Guru Besar UGM Desak Status PNS Edy Meiyanto Dicabut

Para korban kekerasan seksual Guru Besar Fakultas Farmasi UGM mendesak status PNS Edy Maiyanto dicabut. Ada gelagat akan mengajar di kampus lain.

11 April 2025 | 07.24 WIB

Ilustrasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Korban kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Edy Meiyanto mendesak pihak rektorat untuk mengumumkan susunan tim pemeriksa terhadap status kepegawaian Edy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Tim tersebut yang akan menentukan rekomendasi sanksi pencabutan status Edy sebagai pegawai negeri sipil atau PNS. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah seorang korban kekerasan seksual bersama dosen pendamping dari Fakultas Farmasi menyatakan belum mengetahui daftar nama anggota tim pemeriksa disiplin kepegawaian.

Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius menyebutkan pembentukan tim pemeriksa berdasarkan surat keputusan rektor. Tim yang dibentuk melalui surat keputusan rektor beranggotakan atasan Edy yakni dekan atau ketua departemen, direktorat sumber daya manusia, dan satuan pengawas internal. 

Andi belum menjawab pertanyaan Tempo yang dikirim melalui pesan Whatsapp ihwal bagaimana UGM memastikan seluruh anggota tim bekerja secara independen karena semua berasal dari internal UGM. 

Korban berharap tim pemeriksa tersebut bekerja secara independen dan bebas konflik kepentingan. Pendamping dan korban kini mempertanyakan independensi tim dari Fakultas Farmasi karena semuanya beranggotakan pejabat internal UGM.

Menurut dia, hingga kini pejabat Fakultas Farmasi belum memberikan informasi ihwal nama anggota tim pemeriksa tersebut. “Jangan sampai anggota tim yang ditunjuk merugikan korban. Perlu ada transparansi susunan anggota tim kepada korban,” kata perempuan itu kepada Tempo, Kamis, 10 April 2025.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi meminta Rektor UGM memastikan anggota tim pemeriksa pelanggaran disiplin kepegawaian bekerja secara independen. Pemeriksaan itu berhubungan dengan status kepegawaian Edy sebagai ASN.

Rektor UGM telah memecat Edy Maiyanto sebagao dosen karena terbukti bersalah. Pelaku melanggar kode etik dosen dan Pasal 3 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.

Inspektur Jenderal Kemendiktisaintek, Chatarina Muliana Girsang mengatakan kementerian telah menugaskan UGM untuk membentuk tim pemeriksa yang beranggotakan atasan guru besar Fakultas Farmasi Edy Meiyanto.

Kementerian menurut dia telah meminta pimpinan UGM memastikan tidak ada konflik kepentingan antara tim pemeriksa dengan orang yang diperiksa. “Yang penting perlu dipastikan independensi tim oleh pimpinan UGM,” kata Chatarina. 

Pimpinan UGM, kata Chatarina telah berkoordinasi dengan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus tersebut untuk memastikan tidak ada keberatan terhadap penunjukan anggota tim pemeriksa di lingkungan kampus.

Penunjukan tim itu menurutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sesuai aturan itu kewenangan kementerian bersifat terbatas terhadap kampus sehingga semua anggota tim berasal dari UGM. 

Dalam proses pencopotan status ASN, kementerian mengacu pada Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 6 Tahun 2022, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94. Chatarina menargetkan tim pemeriksa UGM selesai bekerja sebelum pekan keempat April 2025. “Kami harap sebelum akhir April sudah ada keputusan,” kata Chatarina. 

Majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang menjelaskan kasus kekerasan oleh Edy Meiyanto. Edy dituduh melecehkan mahasiswa S-1, S-2, S-3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi. Peristiwa itu berlangsung di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian. 

Laporan lengkap soal kekerasan seksual oleh Profesor Edy Meiyanto bisa dibaca di sini: Kekerasan Seksual Guru Besar Fakultas Farmasi UGM

Jumlah korban yang melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ada 15 mahasiswa. Menurut korban, ada laporan korban berupa kekerasan verbal yang tidak dimasukkan oleh Satgas PPKS.

Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Sejumlah korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Kampus kini tak perlu menutupi lagi. Semua orang juga sudah tahu,” kata seorang korban. 

Guru besar yang juga kerap menjadi penceramah di masjid itu memijat tangan, memegang rambut mahasiswa dari balik jilbab, memegang pipi dan wajah, dan mencium pipi mahasiswa di rumahnya. Semua korban mengenakan jilbab.

Di kampus, modusnya adalah menyuruh mahasiswa memeriksa tensi darah supaya dia bisa memegang tangan korban. Pelaku juga meminta korban mengirimkan foto dan memaksa mahasiswa menghubungi di luar jam mengajar, bahkan saat malam. 

Pemecatan sebagai dosen UGM itu, kata korban melegakan karena mereka tidak ingin korban semakin bertambah di Fakultas Farmasi. Para alumni Fakultas Farmasi yang menjadi korban menyambut baik pemecatan itu. Sebagian, kata dia mengekspresikannya dengan mengunggah pemberitaan media massa di akun media sosial mereka. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” katanya. 

Sebagian korban menurut dia kini menunggu kepastian sanksi pencabutan status PNS. Mereka mendengar pelaku sedang mengurus pendaftaran untuk mengajar di kampus lain. Lewat pencopotan status PNS itu, korban berharap menimbulkan efek jera pelaku dan membatasi peluangnya menyasar korban lainnya. 

Tempo dua kali mendatangi rumah Edy Meiyanto di kawasan Minomartani, Sleman untuk meminta konfirmasi mengenai tuduhan para korban. Namun, tak ada satu pun penghuni rumah muncul membukakan pintu. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumahnya. Edy juga tak membalas pesan permintaan wawancara yang dikirim ke nomor teleponnya.

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus