Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korupsi Tata Kelola Sawit di KLHK, Kejaksaan Agung Periksa 114 Saksi

Kejagung telah memeriksa 114 saksi dan meminta keterangan 5 ahli perihal kasus dugaan korupsi tata kelola sawit di KLHK.

19 Februari 2025 | 02.39 WIB

Kotak bertuliskan Ruang IPHL saat penggeledehan Kantor KLHK oleh Jampidsus Kejagung, Kantor KLHK, Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024. Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) digeledah Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung).  TEMPO/Ilham Balindra
Perbesar
Kotak bertuliskan Ruang IPHL saat penggeledehan Kantor KLHK oleh Jampidsus Kejagung, Kantor KLHK, Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024. Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) digeledah Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung). TEMPO/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung terus menyelidiki dugaan kasus korupsi tata kelola sawit periode 2005-2024. “Sudah ada 114 orang saksi yang diperiksa,” ujar Kabid Media dan Kehumasan Kejaksaan Agung Irwan Datuiding, Selasa, 18 Februari 2025. Selain saksi, Kejagung juga telah meminta keterangan 5 orang ahli.

Kasus korupsi ini diduga melibatkan pejabat Kementerian Kehutanan, atau dulu merupakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membenarkan bahwa dugaan korupsi tata kelola sawit melibatkan tersangka yang tercatat sebagai pejabat eselon I dan eselon II di Kementerian Kehutanan.

"Yang pasti ada," kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Rabu, 8 Januari 2025. Namun, dia masih enggan membeberkan identitas tersangka.

Penyidik Kejaksaan Agung juga telah menggeledah sejumlah ruangan di KLHK pada 3 Oktober 2024. Beberapa ruangan di gedung Manggala Wanabakti yang digeledah adalah ruangan Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan; Sekretariat Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Kementerian Kehutanan,; serta direktorat yang membidangi pembayaran penerimaan negara bukan pajak berupa provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi.

Menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, ada banyak aspek dalam tata kelola sawit yang bisa menjadi celah korupsi. Apalagi mekanisme pengurusan izin perkebunan sawit mencakup banyak hal. Mulai dari izin lokasi yang membutuhkan persetujuan bupati/wali kota, izin lingkungan dari pemerintah sesuai dengan lingkup izinnya, izin usaha perkebunan, hingga surat keterangan pelepasan lahan dari KLHK bila lahan yang digarap masuk kawasan hutan.

Pada 2023, kata Achmad, pemerintah melalui tim satgas sawit yang dulu dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersepakat memutihkan 3,37 juta hektare kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, 2.130 korporasi kebun sawit melakukan kegiatan ilegal di atas luasan hutan tersebut. "Namun proses pemutihan ini tidak transparan, sehingga terkesan ada permainan,” kata Achmad, Sabtu, 11 Januari 2025.

Selain itu, kata Achmad, celah korupsi muncul kala Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan secara mandiri untuk menghitung denda administratif bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Saat itu, kementerian membentuk Tim Satuan Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja yang dipimpin oleh Bambang Hendroyono. Menurut Achmad, keputusan pemerintah mengampuni perusahaan-perusahaan nakal yang menanam sawit di kawasan hutan merupakan langkah keliru.

Kasus korupsi tata kelola sawit ini diduga merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Angka itu dibocorkan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo yang mengungkap ada kebocoran uang negara soal tata kelola sawit. Data hitungan dari BPKP itu disampaikan Hasyim hanya berselang empat hari setelah penyidik kejaksaan menggeledah kantor KLHK. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Plt. Kepala BPKP M. Yusuf Ateh juga sudah membenarkan angka itu. Belakangan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) Febrie Adriansyah membenarkan dugaan korupsi tata kelola sawit yang sedang diusutnya bersinggungan dengan hitungan itu. Baik BPKP maupun kejaksaan sebelumnya tergabung dalam satgas sawit semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Satgas itu dibentuk untuk mempercepat proses pemutihan 3,3 juta hekatare kawasan hutan yang ditanami sawit secara illegal. Sesuai dengan UU Ciptaker Pasal 110 A dan Pasal 110 B, pemerintah memberi pengampunan bagi perusahaan yang terlanjur menanm di Kawasan hutan dengan syarat menyelesaikan ketentuan yang diatur, di antaranya biaya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), dan atau besaran denda administratif. Sagas ini masa tugasnya rampung pada 30 September 2024.

Dari pengampunan itu kemudian KLHK mendata ada 2.130 korporasi kebun sawit yang beroperasi di dalam Kawasan hutan. Dalam proses pemutihan itu KLHK lah yang memiliki wewenang memungut biaya denda administratif. Belakangan dalam proses penyelesaian pemutihan itu, kejagung mengendus adanya dugaan korupsi tata kelola sawit. 

Untuk mempercepat penyelesaian kasus korupsi tata kelola sawit ini, Presiden Prabowo kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Di dalam Perpres itu kembali dibentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan, dengan Jaksa Agung menjabat sebagai wakil ketua pengarah dan Jampidsus sebagai ketua pelaksana.

Pilihan Editor: Kades dan Sekdes Kohod Jadi Tersangka Kasus Pagar Laut Tangerang, Apa Perannya?

Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2020 , mulai bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus