Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan pihaknya akan mengajukan banding atas vonis yang diterima mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming. Sama seperti KPK, pihak Mardani juga mengajukan banding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali menyatakan lembaganya telah mendaftarkan memori banding itu pada hari ini, Kamis, 16 Februari 2023. KPK mengajukan banding karena menilai vonis majelis hakim tak sesuai dengan tuntutan jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hari ini Jaksa KPK M Fauji Rahmat telah menyatakan upaya hukum banding melalui Panmud Tipikor pada PN Banjarmasin dengan terdakwa Mardani Maming," kata Ali saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 16 Februari 2023.
KPK singgung soal nilai denda pengganti yang tak sesuai
Ali menjelaskan salah satu yang menjadi pertimbangan KPK adalah hukuman nilai denda pengganti yang belum sesuai dengan tuntutan jaksa. Ia mengatakan hal tersebut dilakukan guna memaksimalkan pengembalian aset kerugian negara dalam kasus tersebut.
“Karena tindakan terdakwa mengakibatkan dampak yang luar biasa diantaranya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam,” ujarnya.
Oleh karena itu, Ali mengatakan KPK berharap agar Pengadilan Tinggi Banjarmasin dapat mengabulkan seluruh permohonan dari tim jaksa. Sehingga, kata dia, diharapkan adanya efek jera dalam hukuman tersebut.
“Semoga Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin dapat memutus sesuai dengan surat tuntutan tim jaksa,” ujarnya.
Selanjutnya, vonis majelis hakim vs tuntutan jaksa KPK
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin telah memvonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan badan kepada Mardani H Maming. Politikus PDIP tersebut juga diharuskan membayar uang pengganti senilai Rp.110,6 miliar subsider dua tahun penjara.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 10,5 tahun penjara, denda Rp 700 juta plus uang pengganti sebesar Rp 118 miliar.
Dalam fakta persidangan, hakim menilai Mardani melakukan korupsi dalam peralihan IUP Operasi Produksi Batu Bara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara.
Mantan Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2019–2022 itu disebut menerima hadiah uang secara bertahap lewat transfer ke rekening PT Trans Surya Perkasa dan PT Permata Abadi Raya, dan penerimaan uang tunai lewat Rois Sunandar dan M Aliansyah.
Uang ini berasal dari Henry Soetio selaku Direktur PT Angsana Terminal Utama dan PT Prolindo Cipta Nusantara.
Dengan total seluruhnya Rp 110,6 miliar, dan barang berupa tiga buah jam tangan merek Ricard Mille,” kata hakim anggota Jamser Simanjuntak.
Menurut Jamser, penerimaan hadiah itu akibat terdakwa Mardani memerintahkan membuat dan menandatangani SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan IUP Operasi Produksi Batu Bara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara.
“Yang melanggar SOP penerbitan Keputusan Bupati dan Pasal 93 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” lanjut Jamser Simanjuntak.
Jamser menyebut Mardani H Maming menerima tiga buah jam Richard Mille dengan harga total Rp 8,1 miliar, yakni RM 07-01 white girls seharga Rp 1,9 miliar, RM 11-03 seharga Rp 3 miliar, dan RM11-02 seharga Rp 3,2 miliar.
Mardani juga mengajukan banding
Kuasa hukum Mardani Maming, Abdul Kodir, juga menyatakan pihaknya mengajukan banding. Mereka menilai majelis hakim keliru dalam menyimpulkan fakta persidangan.
"Ini yang membuat jadi problem juga dalam pertimbangan hukumnya. Menjadi penyebab lemahnya pertimbangan hakim," lanjut Abdul Kodir.
Selain itu, kata dia, dua dari lima orang majelis hakim menyatakan dissenting opinion dalam hal kewajiban membayar uang pengganti Rp 110,6 miliar. Abdul Kodir mengklaim tidak ada kerugian negara pada kasus Mardani H Maming yang juga merupakan mantan Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
"Ini aneh, suatu keanehan. Berbagai yurisprudensi uang pengganti itu jika ada kerugian negara sebagai asset recovery," ucapnya.