Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK kini berwenang menghentikan penyidikan perkara korupsi.
Pimpinan KPK periode 2019-2024 menghentikan 11 pengusutan perkara.
Peneliti hingga aktivis antikorupsi menilai wewenang penerbitan SP3 mengurangi keseriusan KPK memberantas korupsi.
LIMA tahun berlalu sejak Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Akibat perubahan aturan tersebut, penyidikan kasus korupsi bisa berhenti di tengah jalan. KPK mendapat wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang sebelumnya tidak ada di lembaga antirasuah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pimpinan KPK periode 2019-2024, jajaran yang pertama kali menjalankan revisi UU KPK, memanfaatkan wewenang itu dengan menerbitkan 11 SP3 selama menjabat. Tujuh di antaranya karena tersangka kasus dugaan korupsi meninggal atau sakit keras sehingga tidak bisa menjalani penyidikan. Empat SP3 lain diterbitkan dengan alasan berbeda. Salah satunya kasus dugaan korupsi izin usaha pertambangan yang menyeret mantan Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, yang dihentikan karena tidak cukup bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua KPK periode 2019-2024, Alexander Marwata, mengatakan saat itu penyidik sudah mendapat bukti adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam perkara Supian. Namun auditor tak dapat membuktikan unsur kerugian negara. “Badan Pemeriksa Keuangan berpendapat bahwa tidak terjadi kerugian negara. Nah, itu kami hentikan,” kata Alexander melalui sambungan telepon pada Ahad, 22 Desember 2024.
Terdakwa Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 23 Februari 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Putusan pengadilan juga membuat KPK menyetop penyidikan kasus korupsi. Pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, beserta tersangka korporasi PT Palma Satu lolos dari jerat KPK karena putusan peninjauan kembali (PK) yang menguntungkan terdakwa lain dalam kasus yang sama. Suheri Terta, Legal Manager PT Duta Palma, yang diduga melakukan korupsi perubahan fungsi hutan di Riau bersama Surya Darmadi, juga mendapat putusan bebas dari pengadilan. Akibatnya, KPK mengeluarkan SP3 untuk Surya dan PT Palma Satu.
KPK juga menerbitkan SP3 untuk kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. SP3 diterbitkan karena Mahkamah Agung memberikan putusan ontslag van rechtsvervolging atau putusan lepas terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, yang menjadi terdakwa utama kasus BLBI. “Kalau terdakwa utamanya saja dibebaskan, kan enggak mungkin lagi kami mendakwakan orang yang kita sangkakan melakukan bersama-sama. Jadi itulah kenapa kami terbitkan SP3,” ucap Alexander.
Alexander mengklaim setiap penerbitan SP3 di KPK telah melalui proses yang panjang. Pimpinan KPK, kata Alexander, tidak bisa menyetop pengusutan kasus korupsi begitu saja. Dia berujar pimpinan harus menggelar kembali proses ekspose perkara dengan penyidik hingga ahli sebelum menerbitkan SP3.
Contohnya, kata Alexander, KPK meminta pandangan Ikatan Dokter Indonesia sebelum mengeluarkan SP3 untuk tersangka yang sakit keras. Alexander menyampaikan KPK juga menggelar pertemuan dengan ahli hukum pidana sebelum menghentikan perkara karena kurangnya bukti atau bebasnya terdakwa lain. “Jadi, meski KPK diberi kewenangan menerbitkan SP3, mekanismenya itu juga tidak mudah,” ujarnya.
Menurut Alexander, yang juga menjabat pemimpin KPK pada 2015-2019, penanganan perkara di KPK sebelum ada wewenang penerbitan SP3 sangat berhati-hati. Dia menyampaikan KPK sebelumnya punya kecenderungan memastikan terpenuhinya unsur pidana sejak tahap penyelidikan. Alasannya, ketika itu mereka tidak bisa menyetop perkara jika sudah naik ke tahap penyidikan. Namun, kata Alexander, proses tersebut membuat penanganan perkara di KPK berlarut-larut. Sebab, penyelidik tidak memiliki wewenang lebih untuk melakukan pemanggilan paksa atau penggeledahan seperti penyidik.
Eks penyidik KPK, Lakso Anindito, menilai wewenang penerbitan SP3 justru membuat pengusutan perkara korupsi kurang efektif. “KPK jadi kurang hati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka,” kata Lakso melalui sambungan telepon pada Ahad, 22 Desember 2024.
Lakso menyampaikan adanya wewenang penerbitan SP3 juga membuka potensi intervensi dari pihak luar terhadap kasus-kasus yang ditangani KPK. Sebab, pengusutan perkara kini bisa berhenti jika tidak berlanjut ke proses pengadilan dalam waktu dua tahun sejak penyidikan dimulai. “Jadi strategi yang digunakan untuk menghentikan kasus,” ucapnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan pandangan yang sama dengan Lakso. Menurut peneliti dari ICW, Diky Anindya, tidak adanya kewenangan penerbitan SP3 di KPK bertujuan agar lembaga tersebut lebih serius dalam menangani perkara korupsi. Mahkamah Konstitusi, kata Diky, juga menegaskan tujuan tersebut melalui Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006.
Diky mempermasalahkan penerbitan SP3 di KPK dengan alasan kurang bukti. Menurut dia, KPK tidak seharusnya menghentikan penyidikan karena tak mampu melengkapi alat bukti. “Kalau kurangnya bukti bisa menjadi justifikasi untuk mengeluarkan SP3, penting untuk dipertanyakan soal kinerja penyelidikan dan penyidikan yang mereka lakukan,” kata Diky melalui sambungan telepon pada Ahad, 22 Desember 2024.
Diky menilai tidak adanya wewenang penerbitan SP3 justru memberikan kepastian hukum dalam penanganan kasus korupsi. Sebab, KPK akan lebih serius menangani kasus sehingga perkara bisa berlanjut di pengadilan tanpa terhenti di tengah jalan. “Kami khawatir bahwa alih-alih diselesaikan, justru dengan alasan yang dalam tanda kutip dibuat-buat, kasus berpotensi dihentikan melalui SP3,” ucapnya.
Orin Gusta Andini, dosen hukum pidana Universitas Mulawarman, juga tidak setuju atas penghentian pengusutan kasus korupsi di KPK melalui SP3. “Jika alasannya karena tidak cukup bukti, rasanya juga sulit diterima publik,” kata Orin melalui pesan pendek pada Ahad, 22 Desember 2024.
Orin menilai KPK sebelumnya punya standar tinggi dalam pengungkapan kasus korupsi. “Tanpa adanya wewenang penerbitan SP3, KPK sebelum mengusut kasus harus memastikan benar, berhati-hati, dan punya goals yang tinggi,” ujarnya.
Adanya wewenang penerbitan SP3, kata Orin, justru menjadi celah negosiasi penghentian kasus yang sedang ditangani KPK. “Memang sebaiknya SP3 dihapus saja dan UU KPK dikembalikan seperti sebelum revisi,” ucapnya.●
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo