Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan tempat evakuasi sementara (TES) atau shelter tsunami di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat tak bisa digunakan saat bencana karena diduga dikorupsi. KPK menahan dua orang tersangka dari lingkungan pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kasus yang diduga terjadi pada 2014 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tersangka yang KPK tahan, yakni Aprialely Nirmala (AN) dan Agus Herijanto (AH). Ketika proyek itu berlangsung, Aprialely Nirmala menjabat sebagai Kepala Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (Satker PBL) Kementerian PUPR Perwakilan NTB sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek. Sementara Agus saat itu mewakili PT Waskita Karya, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagai salah satu pemenang tender proyek pembangunan TES.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan ada perubahan desain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam pembangunan shelter tsunami itu. Perubahan tersebut termasuk penurunan spesifikasi shelter yang menyebabkan bangunan tersebut rusak sebelum digunakan.
Desain itu, kata Asep, sengaja diubah dengan alasan tidak mampu melaksanakan pembangunan. “Bahwa selain melakukan perubahan desain, ternyata saudari AN selaku PPK juga menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan,” kata Asep di Gedung KPK Merah Putih, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Senin, 30 Desember 2024.
Asep mengatakan kasus dugaan korupsi ini berawal pada 2012 lalu. Ketika itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyusun rencana pengurangan risiko bencana tsunami. Salah satunya adalah pembangunan shelter di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Pembangunan shelter itu memiliki pagu anggaran sebesar Rp 23,26 miliar.
Seharusnya, shelter tersebut bisa tahan goncangan gempa hingga 9 skala richter (SR). Namun pada 2018, terjadi dua gempa bumi berkekuatan 6,4 SR dan 7,0 SR di wilayah tersebut. Kedua gempa itu menyebabkan shelter rusak berat dan tidak bisa digunakan untuk berlindung.
KPK menduga kerusakan terjadi karena adanya penurunan spesifikasi saat pembangunan. Menurut Asep, shelter di NTB itu tidak bisa digunakan hingga saat ini. KPK pun menetapkan Aprialely Nirmala dan Agus Herijanto sebagai tersangka.