Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lahan baru pencipta lagu

Lokakarya hak cipta menghasilkan kesepakatan: siapa saja yang menayangkan lagu & musik harus membayar royalti kepada pencipta. akan dibentuk lembaga administrasi kolektif untuk soal royalti tersebut.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA promotor, artis, pemilik restoran, hotel, night club, juga berbagai pemancar radio dan televisi -- termasuk RRI dan TVRI -- di masa depan tak akan bisa lagi menyajikan aneka ragam lagu dan musik seenaknya sendiri. Semua acara semacam itu, baik live show mapun pemutaran rekaman, kelak harus seizin si pencipta lagu, dan tentu saja wajib membayar royalti kepada penciptanya. Ketentuan itu disepakati dalam Lokakarya Hak Cipta, yang diselenggarakan Sekretaris Negara (Setneg) dan WIPO (World Intellectual Property Organization) Senin dan Selasa pekan lalu. Kesepakatan serupa juga tertuang dalam seminar keliling tentang hak cipta di Medan, Surabaya, dan Denpasar, dari tanggal 9 hingga 17 Maret lalu. Upaya memetik royalti dari segala jenis penayangan lagu itu terhitung pemanfaatan lahan rezeki baru. Sebab, selama ini -- juga setelah berlakunya Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) tahun 1987 -- para pencipta lagu atau masyarakat industri rekaman lagu pada umumnya hanya memusatkan perhatian mereka pada pemetikan royalti dari kegiatan rekaman lagu (mechanical right). Padahal, "Hak penayangan (performing right) itu juga termasuk bagian dari hak cipta (copyright)," kata Bambang Kesowo, penyelenggara lokakarya itu. Jika lahan itu digarap secara efektif, katanya, bukan mustahil dari situ akan mengalir rupiah yang cukup besar dan berarti pemasukan bagi negara. Di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura. atau Filipina, katanya, mekanisme pembayaran royalti untuk hak penayangan lagu sudah berjalan dengan efektif. Menurut John Sturman, pimpinan APRA (Australian Performing Right Association) -- lembaga yang bertugas mengurus perolehan royalti di bidang performing right), dari TV, radio, dan hotel-hotel di Australia -- pihaknya tahun lalu berhasil memetik royalti sekitar A$ 40 juta atau Rp 56,6 milyar. Sementara itu, di Belanda tahun 1987, BUMA dan STEMRA -- lembaga seperti APRA -- bisa mengumpulkan Dfl. 52,9 juta atau sekitar Rp 42,8 milyar dari bidang tersebut. Baik pencipta maupun produsen rekaman lagu tentu saja gembira dengan lahan baru itu. "Selama ini hanya artis yang membawakan lagu di hotel atau di pertunjukan saja yang memperoleh bayaran, sementara si pencipta lagu tak kebagian rezeki," kata Rinto Harahap, yang mewakili Asiri. Begitu juga pentayangan lagu lewat radio, misalnya. "Sebagai pendengar, kita bisa menikmati karya lagu itu. Tapi pihak radio sama sekali tak membayar kepada pemilik hak cipta lagu itu," ujar Erwin Harahap, adik Rinto, di seminar keliling hak cipta, di Surabaya. Tapi bagi RRI dan TVRI masalah royalti tampaknya tak segampang itu. Soalnya, seperti dikatakan Hartati dari RRI, sebagian besar kegiatan penayangan lagu di RRI boleh dibilang nonprofit making. Hal senada juga diutarakan rekannya dari TVRI. Christ Pattikawa. "Untuk penentuan royalti, agaknya perlu dijabarkan lagi kegiatan penayangan mana yang dianggap komersial dan mana yang tidak," kata Pattikawa. Jenis kegiatan dan berapa besarnya royalti memang masih perlu dibahas lebih lanjut. Toh para peserta lokakarya sepakat untuk membentuk semacam lembaga administrasi kolektif yang kelak akan mengelola dan mendistribusikan perolehan royalti itu. Hanya saja, bagaimana sifat dan bentuk persisnya lembaga ini belum dituntaskan. Yang jelas, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang membuka lokakarya itu, menyatakan pemerintah amat concern terhadap pembentukan lembaga tersebut. Sebab. "Dalam memasyarakatkan hak cipta, bukan penegakan hukum saja yang penting, tapi juga perlu dipahami aspek ekonominya," kata Moerdiono, Ketua Tim Keppres No. 34 Tahun 1986 (tim yang bertugas menyiangi segala macam masalah hak milik intelektual).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus