Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penyelundup lepas, hakim diadili

Frans limasnax, pelaku penyelundup kaset video, karpet, dll. hanya divonis percobaan, padahal pemberantasan penyelundupan sedang digalakkan. hakim soenyoto mendapat kritikan dari berbagai pihak.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH terlalu sering lembaga pengadilan menjadi sasaran kritik dan cemooh, baik dari anggota masyarakat maupun dari pejabat-pejabat instansi penegak hukum lainnya. Tapi agaknya baru kali inilah kritik paling keras menimpa lembaga terhormat itu. Dari Menko Polkam Sudomo sampai Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, pekan lalu, mengutarakan secara terbuka kekecewaan mereka terhadap vonis 6 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Sunyoto di Pengadilan Negeri Jakarta Utara -- terhadap terdakwa penyelundup, Frans Limasnax. Bahkan Presiden Soeharto, menurut Menko Polkam Sudomo, juga menyatakan prihatin atas putusan yang dianggap terlalu rendah itu. "Barangkali hakimnya terlalu mempertimbangkan segi hukum formal, tanpa memperhitungkan keadaan masyarakat dan strategi pembangunan," tambah Wakil Presiden Soedharmono, Senin pekan ini. Sewaktu memberikan ceramah di Universitas Brawijaya, Malang, Rabu pekan lalu, sekali lagi Jaksa Agung Sukarton mengutarakan kecewaannya atas "kemurahan" hakim itu. "Majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tapi kenapa hanya menjatuhi hukuman percobaan? Padahal, pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas penyelundupan," kata Sukarton. Kritik itu tak hanya datang dari pejabat tinggi, tapi juga merembet ke pejabat daerah. Gubernur Bengkulu Soeprapto kembali menggali "luka lama". Menurut Soeprapto, pada 1985 ia pernah mengusulkan kepada Pengadilan Tinggi Bengkulu agar Hakim Soenyoto dimutasikan dari wilayahnya. Pasalnya, hakim itu dianggapnya telah merugikan pembangunan daerah Bengkulu, karena mengalahkan Pemda dalam sengketa dengan enam orang pedagang di Pasar Barukoto. Setelah bertugas selama tiga tahun di Bengkulu, pada 1986 Soenyoto memang dipindahkan ke Jakarta Utara -- tapi bisa juga ditafsirkan sebagai promosi. Akibat itu semua, Kamis pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Soenyoto dipanggil Mahkamah Agung. Tapi Hakim Agung Pengawas Daerah Jakarta, Soebiyantono, dan Hakim Soenyoto tak bersedia menjelaskan hasil pertemuan itu. "Saya tak diperkenankan berbicara," kata Soenyoto. Pada Rabu dua pekan lalu, Soenyoto memang mengambil keputusan yang mengagetkan. Ia hanya menjatuhkan hukuman percobaan terhadap Frans Limasnax yang, menurut jaksa, terbukti menyelundupkan 2.120 kantung berisi kaset video, karpet, dan barang mewah lainnya, sehingga merugikan negara sekitar Rp 48 juta. Sebab itu Jaksa M. Manoi -- yang membawa perkara itu ke sidang -- menuntut Frans dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Apalagi, sebelumnya, Frans sempat membuat pusing para penegak hukum, karena ia buron. Tapi Hakim Soenyoto menganggap Frans hanya terbukti mencoba menyelundup. Karena -- itu, ia memberikan hukuman ringan. Hanya saja itu tadi, "badai" kritik segera menghantam vonisnya. Bahkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Prof. J.E. Sahetapy kepada Jawa Pos terang-terangan menyebut bahwa integritas lembaga peradilan dan mutu hakim kini semakin buruk. Ketua umum organisasi hakim (Ikahi), A. Soedjadi, Sabtu pekan lalu, segera buka suara untuk menetralisasikan "serangan" deras itu. "Undang-undang tegas-tegas menyebutkan, segala campur tangan oleh pihak-pihak lain dalam urusan peradilan, dilarang," ujar Soedjadi. Hakim, katanya, bebas memutus suatu perkara berdasarkan keyakinannya, dengan melihat segala fakta dan bukti di persidangan. Tapi persoalannya, vonis Frans itu bukan hanya dinilai ganjil. Malah beberapa pihak mensinyalir adanya "suap" di balik vonis tersebut. Sebuah sumber TEMPO menyebutkan bahwa Frans telah memberikan dana sekitar Rp 55 juta kepada majelis hakim. Hanya saja, kisah uang "pelicin" itu, seperti biasanya, memang sulit dibuktikan. Hakim Soenyoto, 53 tahun, jauh-jauh hari, sudah membantah isu suap itu. "Tak ada suap. Tuhan Maha Tahu. Saya tidak akan main-main dengan perkara yang telah menjadi berita nasional itu," kata lulusan FH Universitas Gajah Mada tahun 1965 itu (TEMPO, 18 Maret 1989). Soenyoto menjadi hakim sejak 1965, juga tak bisa lagi di bilang hakim belum berpengalaman. Pernah pula ia menjadi ketua pengadilan negeri di Purwodadi dan Bengkulu. Hanya saja, ayah tujuh anak itu, kini, mengaku "stress", dan tak mau membaca berita media massa setelah putusannya itu diributkan orang. Frans Limasnax, 37 tahun, juga membantah isu itu. Menurut pengacaranya, S. Wairo, kemungkinan isu suap itu muncul karena kliennya, di masa Jaksa Agung Hari Suharto, pernah mengupayakan penggantian kerugian negara sebesar Rp 48 juta. Tapi upaya itu, katanya, tak pernah ditanggapi kejaksaan. "Uang itu sudah saya kembalikan kepada Frans," ucap Wairo. Sebenarnya Soenyoto bukan hakim pertama yang menjadi "bulan-bulanan" kritik karena dianggap bermurah hati kepada terdakwa. Pada masa Jaksa Agung Ali Said, tahun 1978, pihak kejaksaan juga merasa kecewa karena hakim-hakim memvonis bebas para terdakwa penyelundupan hasil Operasi 902. Puncak kritik terjadi pada Oktober 1978, ketika Hakim Roewiyanto membebaskan terdakwa penyelundupan mobil-mobil mewah, Paul Handoko, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di masa Jaksa Agung Ismail Saleh, kekecewaan aparat kejaksaan terulang lagi ketika, Maret 1984, Hakim Mappong di Pengadilan Negeri Samarinda memvonis bebas si Raja Kayu, Jos Soetomo, dari tuduhan memanipulasikan pajak sekitar Rp 4,6 milyar. Menurut Sumber TEMPO di Departemen Kehakiman, hingga pekan ini, tim dari Itjen Kehakiman belum mengusut kemungkinan Hakim Soenyoto disuap. "Vonis yang menghebohkan itu masih sekitar masalah teknis peradilan, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung," kata sumber itu. Sejarah pun berulang, lagi-lagi hakim diadili.Happy Sulystiadi dan Karni Ilyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum