SITI Mariam buta huruf. Tapi ia dituntut di pengadilan karena
lalai membuat laporan tertulis kepada polisi. Sebagai pemilik
Wisma Dieng di Brastai, menurut jaksa yang menuntutnya di
Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara, Mariam tidak
melaporkan kehadiran dua tamu asingnya kepada polisi, sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Mariam duduk terpaku ketika Jaksa
Mena Ginting menuntut hukuman dua bulan kurungan.
Apakah Mariam satu-satunya pemilik wisma yang lalai melaporkan
tamu asing? Tentu tidak. Tapi bahwa ia sial, karena dua
tamunya itu tiba-tiba menghilang, itu diakuinya. "Saya
pasrah." Boleh jadi, Mariam merasa dirinya sebagai tumbal atas
kegagalan polisi mengusut hilangnya Prof. James Dresser Allen
dan Prof. Joseph J. Huss.
Januari lalu Allen, 56, dan J. Huss, 58, datang menginap di
Wisma Dieng sebagai turis. Konon, mereka ingin mwrwkam "suara
hantu" di Gunung Sibayak. Mencari suara hantu begitu, kabarnya
pernah dilakukan dua ahli bahasa Inggris itu di Muangthai.
Selama di Wisma Dieng, kedua profesor itu selalu ditemani pandu
wisata Ronny, 20, Binar Sembiring, 21, dan Jaya Sembiring,
20. Namun ketiga pandu wisata itu menolak menyertai tamunya
memanjat Sibayak. Sampai kini kedua orang Amerika itu tak pernah
kembali ke Wisma Dieng. Usaha mencari mereka, terutama dilakukan
polisi, belum menunjukkan titik terang.
Perkara pertama yang bisa digarap polisi, ya, memperkarakan Siti
Mariam itulah. Perkara berikuthya adalah pencurian barang-barang
milik kedua turis yang hilang itu. Dalam berkas perkara itu nama
Mariam tercantum bersama Rony, Binar, Sudirman, dan Nurdin.
Tentu saja profesor-profesor yang lenyap itu tidak pernah
metapor kecurian. Tapi polisi, yang tengah mengusut hilangnya
mereka, menaruh curiga kepada beberapa tersangka yang tiba-tiba
mengobral uang. Nurdin, penginap tetap Wisma Dieng, memberi tip
Rp 20 ribu kepada tukang cuci. Ronny dan Binar royal berbelanja
di sebuah toko suvenir tak jauh dari Wisma Dieng.
Dan akan halnya Sudirman, keponakan Mariam yang disangka tahu
banyak perihal hilangnya dua tamu asing itu, turut pula
dicurigai karena darinya polisi menyita sepatu milik J. Huss.
Bahkan ia juga mengaku menjual arloji pemberian orang asing itu
kepada orang Medan seharga Rp 7 ribu.
Masih banyak bukti lain yang diperoleh polisi. Dari mulai cek,
buku, sampai peralatan berkemah yang diduga milik
profesor-profesor penggemar suara hantu itu. Barang-barang bukti
itu, memang, belum sampai mengungkapkan hilangnya Allen dan Huss
- dibunuh atau tersesat di Gunung Sibayak. Tapi, seperti kata
kepala kepolisian Tanah Karo, Letnan Kolonel P. Aruan, semuanya
itu "cukup untuk membawa mereka ke pengadilan." Tuduhannya:
mencuri.
Entah siapa yang akan diajukan sebagai saksi yang merasa
kecurian. Yang jelas, Sudirman - tersangka yang pernah mengaku
membunuh pemilik barang - tiba-tiba mengingkari pengakuannya
dalam sebuah rekonstruksi, kata Aruan. "Saya terpaksa berbohong
karena takut. Saya tak pernah diperiksa polisi," kata Sudirman
kepada TEMPO.
Aruan tak hanya jengkel kepada Sudirman. Pejabat ini juga kecewa
kepada orang-orang yang mengaku pernah melihat kedua turis
asing yang dicarinya itu naik ke Sibayak. "Mereka penipu, cuma
mau cari popularitas," keluh Aruan.
Polisi masih belum berhenti mencari Allen dan Huss. Aruan
mengerahkan empat anggotanya untuk menanyai setiap tersangka
dalam berbagai perkara. "Masih belum ada hasilnya," kata Aruan
lunglai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini