Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Polri berhenti menggunakan istilah 'oknum' setiap kali anggotanya bermasalah. Pernyataan ini disampaikan Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, saat menanggapi soal dugaan pemerasan yang dilakukan oleh kepolisian lintas satuan wilayah hukum Polda Metro Jaya terhadap warga negara Malaysia saat menghadiri festival Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fadhil menuturkan, penggunaan istilah“oknum” kerap kali digunakan pejabat Polri ketika institusinya disorot secara negatif oleh publik. Menurutnya, penggunaan kata tersebut merupakan upaya Polri untuk menyederhanakan persoalan dan lari dari tanggung jawab. Fadhil mencontohkan saat Kepala Biro Penerangan (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigadri Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko saat membuat siaran pers pada Jumat, 21 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ia menyatakan 'Kami memastikan tidak ada tempat bagi oknum yang mencoreng institusi'.” ujar Fadhli menirukan pernyataan Trunoyudo dalam siaran persnya pada Ahad, 22 Desember 2024.
Ia juga menyebut bahwa istilah oknum tidak lagi relevan dengan banyaknya kasus yang dilakukan anggota Polisi. Mulai dari yang berpangkat Jenderal seperti eks Kepala Divisi Hubungan Internasional, Napoleon Bonaparte yang menerima suap miliaran, Inpektur Jenderal Teddy Minahasa yang terjerat masalah hukum karena menukar sabu barang bukti kasus narkoba dengan tawas, suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika yang melibatkan eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta, Komisaris Besar Edwin Hatorangan Hariandja.
"Hingga yang berpangkat bintara, Satlantas Polres Bandara Soekarno-Hatta yang menerima pungli berupa sekarung bawang dari pengemudi truk pada 2021 lalu," tuturnya.
Oleh karena itu, LBH Jakarta menilai bahwa ini bukan lagi kesalahan dari perorangan, melainkan bagian dari kegagalan sistemik Polri secara keseluruhan. Polri, kata Fadhil, harus melihat peristiwa ini sebagai permasalahan serius yang sudah berurat berakar dalam tubuh Polri secara institusional. Ia juga mendesak agar Kepala Kepolisian Polri Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo berkomitmen mereformasi total institusi kepolisian.
"Secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan kerja-kerja profesional, transparan, dan akuntabel Polri." ujar dia.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, Divisi Pengamanan dan Profesi (Divpropam) telah menangkap 18 polisi yang diduga melakukan pemerasan terhadap warga negara Malaysia di festival musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
"Terdiri dari personel Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran," ujar Trunoyudo dalam keterangan resminya pada Jumat, 20 Desember 2024.
Dugaan polisi memeras warga negara Malaysia ini mencuat setelah sejumlah warga negara asing asal Malaysia mengaku menjadi korban penangkapan oleh polisi selama DWP 2024. Sebuah akun media sosial, @squi***, mengatakan melihat banyak pengunjung ditangkap meski tidak ditemukan barang terlarang.
"Ketika saya sedang menikmati acara, tiba-tiba polisi datang dan mulai menangkap orang-orang di sekitar saya,” kata akun itu. Akun tersebut juga menyebut bahwa pengunjung yang hasil tes narkobanya negatif tetap dipaksa membayar sejumlah uang.
Penyelenggara DWP menyampaikan permintaan maaf atas insiden ini. “Keselamatan, kesejahteraan, dan pengalaman Anda adalah - dan akan selalu - menjadi prioritas utama kami,” demikian pernyataan resmi DWP di unggahan Instagram pada Kamis, 19 Desember 2024. Penyelenggara konser, yakni Ismaya Live, juga menyatakan tengah bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menyelidiki kasus dugaan pemerasan itu.
Berdasarkan laporan yang beredar, sekitar 400 warga Malaysia mengaku menjadi korban pemerasan polisi dengan total nilai mencapai RM 9 juta atau sekitar Rp32 miliar.
Intan Setiawanty berkontribusi dalam penulisan artikel ini.