Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lenyapnya Hak Memberi Tanda Bintang

Mahkamah Konstitusi memangkas kewenangan DPR dalam mengurus hal-hal teknis keuangan negara. Hak Dewan yang selama ini jadi sumber korupsi.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kewenangan yang disebut-sebut sebagai biang korupsi itu akhirnya dipangkas. Kamis dua pekan lalu, dengan suara bulat, Mahkamah Konstitusi mengetuk palu: menyatakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan "menahan" dan mengatur teknis penggunaan anggaran dihapuskan.

Putusan itu disambut sejumlah aktivis antikorupsi dengan sukaria. "Praktek korupsi terjadi karena Dewan memiliki kewenangan dalam keuangan negara yang berlebihan," kata Erwin Natosmal Oemar, juru bicara Tim Penyelamatan Keuangan Negara-koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi-Kamis pekan lalu.

Korupsi yang terjadi di Dewan itu memang sudah mengantarkan sejumlah pelakunya ke bui. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2012 bahkan pernah melansir adanya sekitar 2.000 rekening mencurigakan yang di antaranya milik para anggota Badan Anggaran.

Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu itu mengabulkan dua dari empat permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPR. Dua undang-undang itu memberikan kewenangan kepada DPR membahas anggaran hingga "satuan tiga"-tahap yang demikian teknis dan cukup mendetail sehingga diduga sebagai lahan subur memunculkan korupsi. Menurut Erwin, karena kewenangan DPR menentukan anggaran hingga satuan tiga, seperti unit organisasi, program, dan jenis belanja, peluang korupsi menganga lebar di badan ini.

Pemohon uji materi ini terdiri atas sejumlah LSM antikorupsi. Mereka adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Indonesia Budget Center, dan Indonesia Corruption Watch. Mereka kemudian bergabung dan menamakan diri sebagai Tim Penyelamatan Keuangan Negara.

Ada empat hal yang dituntut Tim. Pertama, pembubaran Badan Anggaran atau badan itu menjadi tidak tetap atau badan ad hoc. Kedua, pemangkasan kewenangan Dewan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara teknis. Ketiga, penghapusan kewenangan tanda bintang dalam pencairan anggaran. Terakhir, evaluasi terhadap proses dan ruang lingkup pembahasan APBN Perubahan.

Tapi tak semua tuntutan itu dikabulkan. Mahkamah hanya mengabulkan dua dari empat tuntutan, yakni pemangkasan kewenangan teknis Dewan dalam APBN dan penghilangan tanda bintang. Meski permohonan tak semuanya dipenuhi, dua hal yang dikabulkan Mahkamah itu dinilai sudah memotong sumber korupsi di Dewan. "Ini sangat berdampak positif untuk penyelenggara keuangan negara ke depan," ucap Erwin.

n n n

TIM Penyelamatan Keuangan Negara mengajukan permohonan uji materi pada Maret 2013. Sidang uji materi itu berlangsung tujuh kali dengan menghadirkan delapan saksi. Para saksi yang diajukan Tim dengan tegas menunjuk pentingnya menghapus kewenangan Dewan dalam urusan teknis anggaran dan kewenangan pemberian "tanda bintang".

Salah satu saksi itu adalah Zainal Arifin Mochtar, doktor hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, kewenangan Badan Anggaran semestinya dikembalikan ke fungsi legislasinya sesuai dengan konstitusi, yakni mengatur masalah makro. "Lembaga parlemen di negara mana pun hanya berperan dalam kebijakan yang makro, tak mengurusi administratif," ujar Zainal.

Menurut dia, dari sudut kelembagaan, DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan, bukan lembaga pelaksana. Anggota Dewan, kata dia, juga tak memiliki kemampuan mikro teknis layaknya para pejabat di lembaga eksekutif.

Mahkamah Konstitusi memangkas kewenangan Dewan hingga satuan tiga dengan mengabulkan permohonan menghilangkan frasa "dan kegiatan" dalam Pasal 107 ayat 1 serta frasa "antarkegiatan dan antarjenis belanja" dalam Pasal 156 huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

Selain melenyapkan kewenangan satuan tiga, Mahkamah menghapuskan kewenangan Dewan dalam pemberian tanda bintang-simbol yang berarti penundaan pencairan di lembaga eksekutif.

Selama ini ekses adanya tanda bintang tidak hanya menyebabkan tertundanya pelaksanaan program pemerintah, tapi juga dinilai sebagai peluang untuk terjadinya "transaksi" yang ujung-ujungnya pemberian sejumlah uang ke Badan Anggaran. "Para anggota Dewan meminta berbagai syarat dipenuhi bila ingin dana dicairkan," ucap Erwin. Di luar itu, Erwin menunjuk pemberian tanda bintang oleh Dewan juga bisa dipakai untuk motif politik. Contohnya "menawan" anggaran sebuah lembaga, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam catatan Tim Penyelamat Keuangan Negara, dari tahun ke tahun semakin banyak tanda bintang yang diberikan kepada lembaga pemerintah. Pada 2011, ada 6.101 mata anggaran dengan nilai Rp 63,4 triliun. Pada 2012, mata anggaran yang diberi tanda bintang nilainya naik menjadi Rp 78,5 triliun dan pada 2013 melonjak Rp 163 triliun.

Nah, menurut Mahkamah, praktek pembintangan alias pemblokiran itu tak lain merupakan tafsir terhadap Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Mahkamah memutuskan kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran terbatas pada persetujuan dan pengawasan anggaran. Pemberian tanda bintang tak berlaku lagi.

Mahkamah tak mengabulkan permohonan uji materi mengenai APBN Perubahan dan pembubaran Badan Anggaran. Mereka menilai mekanisme APBN Perubahan tak bertentangan dengan konstitusi. Menurut Erwin, Mahkamah tak melihat adanya "ruang korupsi" dalam APBN-P ini. Pengajuan APBN-P, kata dia, seharusnya dilakukan pada saat tertentu, bukan sebagai "siklus" rutin seperti selama ini. "Pembahasan APBN-P biasanya dalam waktu singkat, tertutup, sehingga menyulitkan pengawasan." Kondisi demikian, menurut Erwin, memunculkan celah terjadinya korupsi.

Sejumlah kasus korupsi besar faktanya memang diputuskan melalui mekanisme APBN Perubahan. Misalnya proyek Wisma Atlet senilai Rp 191,672 miliar atau korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya Rp 2,7 miliar yang bersumber dari APBN-P 2008. Proyek pengadaan kitab suci Al-Quran, yang belakangan sarat korupsi, juga diputuskan lewat APBN-P 2011 dan 2012.

Korupsi anggaran itu sudah menjebloskan sejumlah anggota Badan Anggaran ke bui. Mereka antara lain Muhammad Nazaruddin, yang divonis 7 tahun penjara dalam kasus suap Wisma Atlet, dan Angelina Sondakh, yang dihukum 12 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek pada Kementerian Pemuda dan Olahraga. Selain itu, Wa Ode Nurhayati, yang divonis 6 tahun dalam perkara Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, dan Zulkarnaen Djabar, yang divonis 15 tahun untuk kasus pengadaan Al-Quran.

Untuk permohonan pembubaran Badan Anggaran, Mahkamah tak menyetujuinya karena dinilai merupakan alat kelengkapan Dewan. "Dalam menjalankan fungsi anggaran, DPR memerlukan alat kelengkapan, di antaranya komisi dan badan anggaran," tutur Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan.

Menurut Mahkamah, persoalan praktek korupsi yang terjadi di Badan Anggaran dilakukan "oknum" anggota, bukan ditentukan sifat tetap atau tidak tetapnya badan tersebut. Dengan argumentasi ini, menurut Mahkamah, permohonan Tim Penyelamat Keuangan Negara untuk menghapuskan frasa"yang bersifat tetap"dalam Pasal 104 dan frasa"pada permulaan masa keanggotaan DPR dan..."dalam Pasal 105 ayat 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dianggap tidak beralasan menurut hukum.

Ketua Panitia Khusus Revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 Benny K. Harman mengatakan DPR sebenarnya sudah berbenah untuk memutus mata rantai korupsi yang terjadi dalam pembahasan anggaran. Salah satu yang kini tengah dikaji Pansus, kata dia, adalah pemangkasan sejumlah kewenangan Badan Anggaran. "Salah satu poin yang diusulkan Badan Anggaran yang tak lagi permanen tapi bersifat ad hoc," ucap Benny, yang juga Wakil Ketua Komisi Perdagangan dan Industri.

n n n

Kewenangan Dewan yang besar dalam mengontrol bujet awalnya justru ditujukan untuk menghapus praktek kolusi dan nepotisme yang selama ini terjadi pada era Orde Baru. Kewenangan eksekutif menentukan "satuan tiga" memunculkan praktek korupsi. Orde Baru tumbang, DPR lantas membenahi sistem keuangan negara dengan, antara lain, menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang ujung-ujungnya menciptakan kewenangan Dewan membahas anggaran hingga "satuan tiga".

Kendati Mahkamah sudah melenyapkan kewenangan yang disebut sumber korupsi itu, sejumlah pengamat ekonomi mengingatkan tak otomatis tak ada lagi korupsi di Badan Anggaran. "Mesti waspada karena celah korupsi bisa jadi lebih besar dengan makin besarnya peran eksekutif," ucap Hendri Saparini, peneliti Center of Reform on Economic.

Untuk mencegah itu semua, kata Hendri, peran lembaga pengawasan keuangan, seperti inspektorat jenderal, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, mesti diperkuat. "Kalau pengawasan tak optimal, praktek korupsi hanya berpindah tempat."

Yuliawati, Wayan Agus Purnomo


Dari Mahkamah untuk DPR

Mahkamah Konstitusi beberapa kali membuat putusan yang berkaitan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk memangkas kewenangannya.

Kewenangan Memilih Calon Hakim Agung

Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Dewan memilih calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Menurut Mahkamah, DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan Komisi Yudisial. Putusan diumumkan dalam sidang 9 Januari 2014.

Para pemohon adalah tiga calon hakim agung yang gagal dalam uji kelayakan di Dewan, yakni Made Dharma Weda, R.M. Panggabean, dan S.T. Laksanto Utomo. Mereka menilai ada ketidaksinkronan dalam mekanisme pengusulan calon hakim agung antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 mengatur kewenangan Komisi Yudisial mengusulkan calon hakim agung dan meminta persetujuan ke Dewan. Namun Undang-Undang Mahkamah Agung menyebutkan calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama yang diusulkan Komisi Yudisial (Pasal 8 ayat 2).

Alasan Mahkamah, UUD 1945 mengamanatkan pemilihan hakim agung yang independen. Mahkamah menilai mekanisme pengisian jabatan hakim agung harus diserahkan kepada organ konstitusional yang mandiri dan independen, yakni Komisi Yudisial.

Kewenangan Legislasi DPD Setara dengan DPR

Mahkamah Konstitusi mengembalikan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah sehingga setara dengan DPR. Fungsi legislasi setara dalam merumuskan dan/atau mengesahkan rancangan undang-undang.

Mahkamah Konstitusi juga memutuskan DPR, DPD, dan pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional. Putusan ini dibuat Mahkamah pada Maret 2013. Para anggota DPD menjadi pemohon yang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kewenangan Memilih Calon Anggota KPK dan Komisi Yudisial

Mahkamah Konstitusi kini tengah menggodok uji materi mengenai kewenangan Dewan dalam rekrutmen calon anggota Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Para pemohon adalah Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid dan dosen Fakultas Hukum UII, Sri Hastuti Puspitasari. Mereka mengajukannya pada Maret 2014.

Pemohon menggugat Pasal 28 ayat 6 dan 3 huruf c serta Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Selain itu, mereka menggugat Pasal 30 ayat 1, 10, dan 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 24-B ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menyatakan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Selain itu, pasal tersebut dianggap bertentangan dalam Pasal 28-D ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Menurut para pemohon, pola rekrutmen calon anggota Komisi Yudisial dan KPK, yang melalui seleksi ketat di panitia seleksi, hasilnya kerap dimentahkan dalam proses uji kelayakan di DPR.

Yuliawati, Berbagai Sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus