Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lika-Liku Peradilan Para Jenderal

Proses peradilan para jenderal TNI dalam kasus Timor Timur ternyata masih alot. Calon dasar hukumnya pun berlubang dan tak bisa segera menjadi undang-undang.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS Timor Timur, tak bisa dimungkiri, sudah dan akan menjadi taruhan mahal bagi citra Indonesia di mata internasional. Sebaiknya, jangan ada lagi alasan ini-itu, sehingga masyarakat internasional meragukan komitmen kita pada penegakan hak asasi manusia (HAM). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan berharap agar Indonesia segera mengadili para tersangka—termasuk beberapa jenderal TNI—yang terlibat kasus kejahatan HAM di Timor Timur. Tapi harapan itu agaknya tak akan segera terpenuhi. Sebab, sampai kini pemerintah masih berkutat pada calon dasar hukum sebelum bisa mengadili kasus Timor Timur. Semula, perangkat hukum yang hendak dijadikan pijakan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Tapi Perpu yang dibuat semasa pemerintahan B.J. Habibie itu ditolak DPR, pada 13 Maret 2000. Mengherankan juga, mengapa pemerintah sejak awal berharap agar DPR tak menyetujui Perpu itu. Mestinya, pemerintah segera menarik Perpu tersebut dari DPR, seperti terjadi pada Perpu tentang Unjuk Rasa. Namun, pemerintah membiarkan Perpu itu ditolak DPR dan menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan HAM sebagai calon penggantinya. Rencananya, RUU yang sudah rampung dan diserahkan ke Sekretariat Negara Rabu pekan lalu itu bisa dibahas DPR pada pekan depan. Masalahnya, RUU Pengadilan HAM hanya berlaku untuk kasus yang terjadi setelah RUU itu menjadi undang-undang dan diberlakukan. Itu berarti kasus HAM di Timor Timur, juga kasus Aceh, Papua, dan Tanjungpriok, tak bisa diadili dengan undang-undang tersebut. Boleh jadi, ketentuan itu dibuat karena pemerintah takut melanggar prinsip undang-undang yang tak boleh berlaku surut. Padahal, asas legalitas sudah diterobos dunia internasional, mulai dari mahkamah internasional Perang Dunia II, kasus Bosnia, Rwanda, sampai Khmer Merah. Memang, pemerintah mencoba mengakalinya dengan memasukkan pasal pengecualian pada RUU Pengadilan HAM. Pada pasal itu disebutkan bahwa kasus HAM yang terjadi sebelum undang-undang tersebut berlaku akan diproses di pengadilan HAM ad hoc (sementara) yang dibentuk melalui keputusan presiden (keppres), berdasarkan usul dari DPR. Tentu saja keppres yang merupakan produk hukum eksekutif dan tak bisa disentuh DPR itu menimbulkan kejanggalan hukum. Menurut Munir, seharusnya penentuan perlu-tidaknya suatu pengadilan HAM ad hoc untuk kasus HAM jangan diserahkan kepada eksekutif, melainkan ditetapkan oleh hakim pengadilan HAM di peradilan umum. Pendapat ini mirip dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Kehakiman, yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menetapkan suatu kasus koneksitas di pengadilan sipil atau militer. Lain lagi pendapat Hendardi. Ia mengusulkan agar pengadilan ad hoc untuk kasus HAM yang sudah terjadi diatur dengan perpu tersendiri. "Dengan perpu itu pula berbagai konvensi internasional tentang delik HAM internasional sekaligus diratifikasi," kata Hendardi. Sementara itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa penentuan pengadilan ad hoc oleh presiden sudah tepat. "Pengadilan ad hoc kan untuk satu perkara saja, bukan terus-menerus. Presiden pun menetapkannya berdasarkan Undang-Undang Pengadilan HAM dan setelah mendengar usul DPR," katanya. Sebab itu, Abdul Hakim berharap agar RUU Pengadilan HAM bisa dijadikan undang-undang dalam waktu dua bulan ini. Tujuannya agar tersangka kasus Timor Timur bisa cepat diadili. Kalau tidak, "Kepercayaan masyarakat internasional terhadap kesungguhan Indonesia untuk menyelesaikan kasus HAM bisa hilang lagi," katanya memperingatkan. Satu hal yang juga perlu dicermati ialah akibat hukum ditolaknya Perpu Pengadilan HAM oleh DPR. Sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945, dengan penolakan itu otomatis Perpu dicabut alias tak berlaku. Lalu terjadilah kekosongan hukum karena RUU Pengadilan HAM pun belum menjadi undang-undang. Selain itu, hasil penyelidikan Komisi Nasinal HAM untuk kasus Timor Timur, yang kini dilanjutkan dengan penyidikan oleh tim yang diketuai Jaksa Agung Marzuki Darusman, menjadi tak punya dasar hukum. Yang mengherankan, baik Marzuki maupun ketiga pengamat hukum di atas beranggapan bahwa hasil penyelidikan kasus Timor Timur tetap berlaku. "Penolakan Perpu itu kan baru pada tingkat politis, belum sampai dicabut secara hukum," kata Marzuki. Ia berharap agar Perpu itu dicabut pemerintah setelah ada UU Pengadilan HAM. Kalau Perpu itu keburu dicabut sementara undang-undang belum ada, ya, "Kasus Timor Timur diajukan ke pengadilan pidana (bukan pengadilan HAM)," tambah Marzuki. Nah, bila disidangkan di pengadilan pidana, jelas itu merupakan kemunduran besar. Sebab, KUHP tak memuat berbagai tindak pidana internasional, seperti kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Apalagi selama ini peradilan terhadap personel militer hanya terbatas pada para bawahan, yang pada dasarnya cuma menjalankan perintah atasan. Happy Sulistyadi, Dewi Rina Cahyani, dan Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus