Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat RUU Satu Miliar

Kalangan LSM menuntut agar RUU Serikat Pekerja dicabut dari DPR. Calon perangkat hukum itu dianggap sangat mengekang hak-hak buruh.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOBI DPR di Senayan tampak tak ubahnya gelanggang para buruh. Kamis pekan lalu itu, ratusan buruh yang didampingi para penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) seakan "menguasai" gedung parlemen. Mereka berunjuk rasa menuntut pencabutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Serikat Pekerja yang kini dibahas para wakil rakyat. Di tempat yang sama, ada juga demonstrasi buruh dan LSM yang menentang upah minimum regional tahun 2000. Menurut salah seorang penggiat LSM perburuhan, Setiyono, RUU Serikat Pekerja semakin menafikan hak-hak buruh. Padahal, selama ini, buruh di Indonesia, dengan upahnya yang rendah, sudah terlalu sering dijadikan obyek oleh dunia industri. RUU tadi, kata penggiat LSM yang lain, Chandra Mahlan, sangat bertentangan dengan dua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menjamin kebebasan buruh untuk berorganisasi dan hak serikat pekerja mewakili buruh dalam perundingan dengan pengusaha. Dan kedua konvensi internasional itu sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Ada beberapa celah dalam RUU itu yang dianggap mengebiri hak buruh untuk membentuk serikat pekerja, di antaranya ketentuan tentang kewajiban serikat pekerja untuk mendaftarkan diri pada pemerintah. Tanpa adanya pendaftaran, serikat pekerja itu tak akan diakui—dan tentu saja dianggap tak berhak memperjuangkan kepentingan buruh. Seharusnya, kata Chandra, serikat pekerja hanya cukup memberitahukan ataupun mencatatkan organisasinya pada pemerintah. Dan pemerintah juga tak berwenang menolak keberadaan organisasi tersebut. Seorang penggiat perburuhan yang lain, Sri Wijanti, menyatakan bahwa dalam RUU itu fungsi serikat pekerja dibatasi hanya untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pembatasan itu jelas semakin menjauhkan peran serikat pekerja sebagai wadah buruh untuk membela hak dan kepentingannya. Hal lain yang juga dianggap melemahkan posisi buruh adalah pasal tentang pembubaran serikat pekerja bila perusahaan bubar atau menghentikan usahanya. Fenomena seperti itu terjadi pada kasus buruh PT Kong Tai Indonesia, produsen sepatu Reebok di Bekasi, yang hingga sekarang tak kunjung membayar pesangon buruhnya. Ada lagi satu klausul pembubaran serikat pekerja yang diprotes, yakni pembubaran oleh pengadilan. Seharusnya, "Serikat pekerja hanya bisa dibubarkan oleh buruh selaku anggotanya," Chandra menegaskan. Tentu masih banyak materi RUU itu yang dinilai bolong alias berlubang. Namun, ada persoalan yang lebih serius, yakni ketidakkonsistenan pemerintah dalam peraturan perburuhan. Seharusnya pemerintah mendahulukan aturan pokok berupa Undang-Undang Perburuhan. Undang-undang tersebut pernah dibuat semasa pemerintahan Soeharto, pada Oktober 1997, sebagai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut, yang dipaksa lahir pada masa akhir tugas DPR periode waktu itu, sarat dengan isu suap Rp 1 miliar dari dana Jamsostek untuk anggota DPR. Selanjutnya, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, undang-undang yang juga mengamanatkan perlu adanya dua undang-undang—tentang serikat pekerja dan penyelesaian perburuhan industrial—ditunda berlakunya sampai 1 Oktober 2000. Menurut pemerintah, undang-undang itu ditangguhkan karena belum mengantisipasi konvensi ILO tentang kebebasan berserikat dan krisis ekonomi yang terus memburuk. Kini masalahnya: bersediakah para wakil rakyat yang menggodok RUU Serikat Pekerja itu mengakomodasi berbagai aspirasi di atas? Dua anggota DPR, yakni Syahrul Asmir Matondang dan Chodidjah H.M. Saleh, mengaku bahwa DPR pasti akan merombak total RUU tersebut. "DPR sekarang bukan sekadar tukang stempel RUU yang diajukan pemerintah," ujar Syahrul. Syahrul dan Chodidjah sepakat tentang tak perlunya ada ketentuan pendaftaran serikat pekerja—karena cukup dengan pemberitahuan. Sekalipun begitu, menurut Syahrul, harus ada kriteria berdirinya serikat pekerja, misalnya bila anggotanya minimal 10 orang. "Kalau cuma lima orang boleh mendirikan serikat pekerja, bisa repot nanti," kata Syahrul. Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja, Moh. Syaufii Syamsuddin, menyatakan bisa menerima usul penghapusan ketentuan pendaftaran. Tapi ia tetap mempertahankan pasal pembubaran serikat pekerja bila perusahaan sudah ditutup dan kewajiban perusahaan terhadap buruhnya sudah dipenuhi. "Kalau perusahaannya sudah bubar tapi serikat pekerjanya masih mau terus, ya, lucu. Nanti banyak serikat pekerja fiktif," katanya. Adapun soal RUU Penyelesaian Perselisihan Industrial, menurut Syaufii, akan segera diajukan pemerintah ke DPR. Sedangkan RUU Ketenagakerjaan yang baru akan dinamai "Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja", yang masih terus dikaji pemerintah. "Kami ingin mempersiapkan landasan yang kuat bagi undang-undang payung dari semua aturan tenaga kerja itu," begitu Syaufii menjanjikan. Happy S., Hendriko L. Wiremmer, dan I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus