Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Kini kekudusan dihadirkan Hollywood pada diri seorang narapidana terhukum mati akibat kasus pemerkosaan. Sebuah ruang penjara berlantai hijau kusam di Louisianaberjulukan Green Mile, tempat hukuman mati dengan kursi listrik berlangsung sehari-harimenjadi setting. Diangkat dari novel Stephen King, raja pop horor, film ini mengingatkan kita akan sebuah cerpen Tolstoy. Orang yang dibui bukan karena kesalahannya rela dihukum mati.
John Coffeypesakitan ituseorang negro bertubuh seperti Hulk. Raksasa gempal 300 kilogram ini ditangkap dengan dua gadis 9 tahun tewas di pangkuannya. Ia menangis, meraung-raung, sementara bercak-bercak darah anak-anak itu berceceran di padang rumput. Coffey buta huruf dan tampak terbelakang pertumbuhan mentalnya. Ucapan yang keluar dari mulutnya minim. Karakter misterius sang raksasa inilah yang menjadi andalan spiritual film. Film ini berawal dari sebuah ruangan di rumah jompo saat para penghuninya menonton acara televisi Fred Astaire. Mantan kepala sipir penjara Green Mile, Paul Edgecomb (Tom Hanks), yang tinggal di situ, entah kenapa, akibat film Astaire, sontakdeja vuseperti melihat segebuk dosa pada dirinya sendiri.
Dan penonton diajak mengembara ke sel-sel Green Mile pada 1935 saat Amerika dilanda malaise ekonomi. Di situ ada napi terhukum mati yang mengalami depresi dan psikopati. Ada sipir yang impulsif dan sadistis. Ini bukan Little Stuartfilm tentang tikus jenaka itutapi sutradara Frank Darabont memberikan banyak durasi untuk menceritakan konflik sesama tahanan dan sipir melalui medium tikus yang dipelihara salah seorang napi. Timbul darinya lingkaran persahabatan dan kedengkian. Adegan mengerikan terbakar hingga gosongnya Delacroix, seorang napi, di kursi listrik adalah balas dendam sipir gara-gara soal tikus. Dan tanda-tanda gaib Coffey salah satunya adalah menghidupkan si tikus yang diinjak mati oleh sipir Percy (Doug Hutchison).
Film ini sesungguhnya sebuah alegori yang halus tentang penyelamatan dan penghukuman. Rasa biblikalnya kuat tapi digarap tidak sensasional. Pada orang-orang baik, Coffey seolah berlaku mengorbankan diri. Ia menyembuhkan infeksi saluran urine Paul dan tumor otak istri bos Paul dengan cara menyerap kuman-kuman ke dalam tubuhnya sendiri, lalu mengembuskannya keluar lewat mulut. Setelah itu, ia lemah lunglai. Di pihak lain, raksasa ini juga berposisi seolah malaikat penghukum: kuman bisa disemprotkan ke mulut sipir yang jahat. Tanda-tanda adiduniawi ini menimbulkan dilema moral bagi Edgecomb. Ia merasa berdosa mengeksekusi seorang utusan Tuhan.
Klimaksnya, melalui transmisi tangan Coffey, Edgecomb mengalami penglihatan siapa sebenarnya pemerkosa gadis kecil yang dituduhkan kepada Coffey. Dan penonton tidak mengira bahwa pelakunya adalah Wild Bill (Sam Rockwell), napi psikopat. Toh, hukuman mati harus tetap berjalan bagi Coffey. Pada titik ini, Hanks berperan sebagai Pontius Pilatus modernpenguasa yang merasa bersalah menyalib Kristustapi hukuman harus dilaksanakan karena tugas adalah tugas.
Yang menarik, seluruh adegan hukuman mati di kursi listrik, oleh Darabont, seolah-olah disajikan sebagai metafora. Spons basah yang diletakkan di kepala terhukum agar aliran listrik bisa langsung menghunjam masuk ke otak menimbulkan imajinasi seolah itu peletakan mahkota berduri. Adegan akhir menyentuh. Setelah permintaan terakhirnya dipenuhimenonton film (dan yang disetel Edgecomb adalah Fred Astaire) di kursi listrikCoffey tak mau matanya ditutup. "Saya takut gelap," katanyasebuah kata bersayap yang menegaskan dia datang dari dunia ilahiah yang terang.
Mirip The Sixth Sense, film ini hendak diakhiri dengan kejutan. Sementara di akhir cerita Sixth Sense Bruce Willis ternyata adalah arwah, Edgecomb ternyata berumur 103 tahun. Ia tidak mati-mati akibat penyembuhan gaib Coffey. Tapi justru itu yang membuatnya seperti diburu dosa. Baginya, umur panjang adalah hukuman untuk dirinya yang telah mengeksekusi malaikat kiriman Tuhan. Ia merasa, di mata Tuhan, dirinya terlibat kriminalitas terbesar.
Banyak kritikus Hollywood yang melihat film ini berbau rasisme. Menonjolkan negro sebagai "utusan surgawi" tapi berpenampilan budak adalah suatu sinisme. Entah ini terlalu berlebihan entah tidak. Yang jelas, akibat permainannya, bukan Hanks rasanya yang patut diganjar Oscar, tapi justru Michael Clarke Duncansang pemeran Coffey. Sampai kita pulang ke rumah, karakternya masih membekas.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo