Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Luruh Duit demi Keluarga

Tergiur kemewahan, banyak orang tua di sebuah kampung di Indramayu yang merelakan anaknya jadi pelacur.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dibanding rumah di kampung umumnya, deretan rumah di Desa Gabus Kulon itu cukup mewah. Dindingnya terbuat dari batu bata dan lantainya keramik. Penghuninya tampak lebih sejahtera. Tapi jangan salah, kemakmuran ini bukanlah hasil mengolah sawah yang terhampar luas di kampung pada Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Jawa Barat, itu. Semua didapat dari luruh duit di kota.

Luruh duit? Ya, itulah istilah yang populer di sana. Artinya, mencari uang dengan jalan menjadi telembuk atau pelacur. "Hampir setiap rumah di blok itu ada salah satu anggota keluarganya yang jadi pelacur di kota," kata Siti Mu'minah, relawan dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Jumat pekan lalu.

Menurut catatan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Indramayu pada 2002, di Desa Gabus Kulon terdapat 140 orang pelacur. Angka ini yang terbanyak dibanding sembilan desa lain di Kecamatan Gabus Wetan. Jumlah pelacur asal Kecamatan Gabus Wetan mencapai 638 orang, yang terbesar dibandingkan pada 27 kecamatan lainnya di Indramayu.

Tata Sudrajat, seorang pengurus YKAI, menuturkan, budaya yang permisif menyebabkan banyak warga Gabus Wetan yang bersedia menjadi pelacur. "Tak sedikit orang tua yang merelakan anaknya menjadi pelacur agar keluarganya jadi makmur," ujarnya lelaki 37 tahun itu. Sejak 2003, Tata aktif melakukan penelitian di kecamatan itu untuk keperluan tesis S-2 di Universitas Indonesia. Kebetulan, YKAI juga memiliki program untuk menyelamatkan perempuan di bawah umur di sana.

Lewat calo yang selalu bergentayangan di daerah itu, seorang gadis kerap menjual keperawanan dengan harga Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta. Tak sedikit pula suami yang mendorong istrinya menjadi pelacur agar keluarganya sejahtera. Menurut Tata, saat ini yang menjadi tren adalah luruh duit dengan kedok menjadi duta budaya atau penari ke Jepang. Soalnya, uang yang didapat akan jauh lebih besar dibanding jadi pelacur di Jakarta.

Ambil contoh Mawar—bukan nama sebenarnya—yang baru berusia 12 tahun. Kepada Tempo, dia menuturkan secara terang-terangan bahwa keperawanannya telah dijual calo. Karena tergiur kehidupan yang menyenangkan, Mawar mau saja diajak pergi oleh seorang calo ke Jakarta. Di Ibu Kota dia kaget karena diminta melayani lelaki asal Timur Tengah. "Usai begituan, saya dikasih uang Rp 700 ribu," katanya. Setelah dua hari disekap, dia akhirnya kabur.

Hidup dalam kemiskinan di kampung membuat Mawar ingin pergi ke Jakarta lagi. "Saya mau ikut Bibi," katanya. Bibinya bekerja sebagai wanita panggilan di daerah Mangga Besar dan pernah menjadi "duta budaya" di Jepang. Dia telah memiliki satu hektare sawah, sebuah mobil Kijang, sepeda motor, serta sebuah rumah seharga Rp 600 juta yang dilengkapi antena parabola. "Kalau sama Bibi, saya percaya. Apalagi saya dijanjikan kerja di Jepang," kata Mawar.

Duta budaya hanyalah istilah gagah yang kerap diucapkan para calo. Sebenarnya gadis-gadis asal Gabus Wetan itu disiapkan untuk menjadi wanita penghibur di Jepang. Harum, 16 tahun, pernah merasakan seleksinya. Setahun lalu, gadis lulusan SMP ini berangkat ke Jakarta karena diajak seorang calo. Di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, ia menjalani tes bersama 100 gadis Indramayu lainnya.

Saat itulah Harum heran karena diminta hanya memakai bra dan celana dalam serta selembar kain tipis transparan sebagai penutup tubuh. Dia lalu disuruh berjalan bak peragawati, bahkan sempat pula disuruh telanjang bulat di depan beberapa lelaki. "Alat vital saya bahkan sempat dipegang." katanya.

Karena sering protes, Harum akhirnya tidak diterima dengan alasan tidak cukup umur. "Saya bersyukur sekali, dengan begitu saya bisa tahu kalau hal seperti itu jelek. Sekarang saya bisa melanjutkan sekolah lagi walaupun hanya di sekolah terbuka, " ujar Harum.

Lain lagi, Bunga, 22 tahun, warga kecamatan Kroya, Indramayu. Dia malah sudah pernah dikirim ke Jepang setelah dilatih selama tiga bulan di Jakarta. Di sana ia ditugasi membawakan sake ke tamu pub. Tapi bila tamu minta ditemani tidur, ia harus bersedia memenuhinya. "Mula-mula sih janggal, tapi lama kelamaan terbiasa juga," katanya. Di Jepang, Bunga dibayar Rp 70 juta per enam bulan.

Bagi penduduk warga Desa Gabus Kulon, menjadi telembuk bukanlah aib. Mereka malah membangga-banggakan anaknya yang telah berhasil mendapat uang berlimpah. "Dalam obrolan sehari-hari hal itu akan mudah kita dengar," kata Siti Mu'minah.

Sejak awal tahun lalu, YKAI telah berusaha melakukan penyadaran pada masyarakat di desa tersebut. Selain mengadakan penyuluhan lewat pertemuan langsung dan melalui radio, mereka juga memberikan beasiswa kepada anak-anak setempat. "Saat ini kami sudah memberikan beasiswa kepada 150 siswa tingkat SMP dan SMA," kata Tata Sudrajat.

Bupati Indramayu, Irianto M.S. Syafiuddin, pun prihatin dengan banyaknya perempuan muda dari daerahnya yang dikirim ke luar negeri dengan alasan menjadi duta seni. Dia meminta camat dan kepala desa mengawasi dan mengadakan pendekatan kepada para orang tua. "Kalau masih membandel, akan kami cabut KTP-nya."

Nurdin Saleh, Ivansyah (Indramayu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus