Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilihan Presiden Republik Islam Iran ke-9 pada 24 Juni lalu membangkitkan reaksi negatif berlebihan di negara-negara Barat. Reaksi itu bahkan cenderung menampakkan wajah ganda Barat terhadap demokrasi. Padahal demokrasi mengandung makna penerimaan terhadap hasil pilihan mayoritas rakyat. Penganut demokrasi seharusnya siap menerima dengan besar hati, apa pun hasil akhir proses demokrasi. Di luar dunia Islam, saat ini baru Rusia dan Cina yang sudah menyambut positif hasil pemilihan Presiden Iran itu.
Wajah ganda Barat setidaknya terlihat dari dua hal. Pertama, Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), dari awal menganggap pemilihan presiden itu telah "mengabaikan nilai-nilai demokrasi". Toh mereka "marah" terhadap hasil pilihan rakyat Iran. Jika pemilihan presiden itu dianggap tidak demokratis, mereka tak perlu mempedulikan apa pun hasilnyakarena sedari awal mereka menilai pemilihan presiden itu tidak demokratis.
Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Joanne Moore, "Pemilu di Iran tak seirama dengan kebebasan dan kemerdekaan yang kini berkembang di Irak maupun Afganistan." Benarkah di Irak dan Afganistan ada kebebasan dan kemerdekaan? Irak sudah bebas dari cengkeraman rezim Saddam Hussein. Afganistan telah terlepas dari kekuasaan Taliban. Namun, dengan masih bercokolnya ribuan serdadu AS di Irak dan Afganistan, dapatkah dikatakan sudah ada kemerdekaan di kedua negara itu?
Amerika Serikat menggulingkan Saddam dengan dalih mantan Presiden Irak itu seorang tiran. Tapi, apakah telah ada penelitian tentang jumlah warga sipil Irak yang dibunuh oleh rezim Saddam dibandingkan dengan yang dibunuhatas nama "demokrasi"oleh pasukan pendudukan AS di bawah komando Presiden George W. Bush? Saddam memang tiran, tapi ia tak menghancurkan peradaban Irak. Adapun militer Bush membunuhi ribuan warga sipil serta menghancurkan peradaban Irak.
Dalam pemilihan Presiden Iran 2005, terlihat betapa Barat amat mengharapkan kemenangan Hashemi Rafsanjani lantaran mantan presiden ini dianggap tokoh pragmatis dan moderat. Di sini juga timbul ironi. Cap "moderat" atau "radikal" diukur dari sikap mereka terhadap Barat. Yang kompromistis kepada Barat disebut moderat, pragmatis, reformis. Yang kritis atau berlawanan dengan kepentingan Barat dicap radikal, ekstrem, bahkan ultrakonservatif.
Barat sering menyebut posisi presiden di Iran sebagai "jabatan yang sama sekali tak menentukan" lantaran kekuasaan riil ada di tangan Pemimpin Tertinggi. Tapi, anehnya, Barat amat mengharapkan kemenangan tokoh yang mereka jagokan, yaitu Rafsanjani. Dan ketika hal itu tidak terjadi, mereka bereaksi keras.
Ahmadinejad, suka tidak suka, sudah dipilih mayoritas rakyat Iran. Mungkin saja ada kecurangan dalam pemilihan presiden itu. Tapi ingat, kecurangan dalam pemilu terjadi di mana pun, tak terkecuali di AS. Di negara-negara berkembang, kecurangan pemilu sering kali tidak canggih sehingga terlihat kasatmata. Sedangkan manipulasi dan kecurangan pemilu di negara-negara besar lebih canggih dan lebih halus. Kecurangan dalam pemilihan Presiden AS 2004, misalnya, dapat dibaca di majalah Global Outlook edisi Januari 2005, atau di sejumlah website kelompok pro-demokrasi di AS.
Oleh media Barat, Ahmadinejad dicitrakan sebagai tokoh "ultrakonservatif" dan "radikal" yang akan mengembalikan Iran ke era Imam Khomeini. Dia digambarkan akan mengambil sikap memusuhi dunia internasional (baca: Barat), mengembangkan senjata nuklir, danini yang paling menakutkanmenyebarluaskan terorisme ke seluruh penjuru dunia.
Benarkah demikian?
Tekad Ahmadinejad untuk mempertahankan nilai-nilai Revolusi Islam 1979 tak bisa dimungkiri. Tak ada seorang pun kandidat Presiden Iran yang akan mengatakan, "Jika terpilih, saya akan menanggalkan nilai-nilai Revolusi Islam." Ini sama halnya dengan tak akan ada seorang pun kandidat Presiden Indonesia yang berkata, "Jika menang, saya akan mencampakkan Pancasila dan UUD 1945."
Dalam konteks itulah tekad Ahmadinejad untuk mempertahankan nilai-nilai Revolusi Islam seharusnya dilihat. Memang ada kecemasan pada gaya hidup hedonisme yang kian bertumbuh di kalangan kaum muda Iran. Hal ini tak mungkin diubah dalam sekejap. Walaupun, misalnya, presiden baru Iran akan menerapkan dengan teguh langkah-langkah revolusioner untuk membentengi nilai-nilai budaya Islam Iran dari pengaruh negatif gaya hidup Barat.
Dalam suatu kesempatan, Ahmadinejad mengatakan, "Masalah perumahan dan lapangan kerja jauh lebih penting ketimbang soal pakaian." Jadi, seperti kata seorang warga Iran kepada BBC, dia tak akan terlalu ambil pusing dengan soal kebebasan sosial yang sudah dijalankan pemerintah sebelumnya. Prioritas utama Presiden Ahmadinejad adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin Iran yang kian membengkak, menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja, dan mendistribusikan pendapatan negara dari hasil minyakyang selama ini konon hanya dinikmati segelintir elite politik dan ekonomisecara lebih merata. Lelaki yang dikenal luas sebagai politisi jujur, bersih, dan sederhana ini bertekad bulat memberantas korupsi dan mafia di negaranya. "Saya pertaruhkan nyawa saya untuk itu," katanya.
Lalu, benarkah Ahmadinejad akan menjalankan kebijakan yang memusuhi Barat?
Hampir bisa dipastikan tidak. Dia memang menganut prinsip kesetaraan dalam hubungan internasional, prinsip yang dulu dipegang teguh Imam Khomeini. Prinsip ini menempatkan dua negara yang berhubungan dalam posisi sejajar. Tak ada pihak yang superior dan tak ada yang berada dalam posisi inferior. Iran tak akan mengintervensi urusan internal negara lain, tapi juga menolak keras setiap bentuk intervensi dari pihak luar.
Pernyataan-pernyataan Ahmadinejad, baik sebelum maupun setelah menang dalam pemilihan presiden, secara jelas menunjukkan hal itu. Dia menegaskan keinginannya meningkatkan kerja sama dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah maupun di luar kawasan itu atas dasar prinsip hidup berdampingan secara damai. Iran, katanya, akan menjalin hubungan dengan negara mana pun yang tidak memusuhi bangsa, negara, dan sistem republik Islam. Oleh karena itu, hubungan Iran dengan Indonesia pun tampaknya tak akan terpengaruh dengan naiknya Ahmadinejad. Bahkan bisa ditingkatkan, terutama jika melihat tekadnya untuk memprioritaskan hubungan luar negeri atas dasar prinsip kesetaraan.
Tentang program nuklir Iran, dengan tegas Ahmadinejad mengatakan negaranya punya hak mengembangkan nuklir. Namun, ini sepenuhnya ditujukan demi kepentingan nonmiliter, yakni untuk membangun pusat tenaga listrik yang kian diperlukan seiring pesatnya pertumbuhan penduduk Iran.
Ahmadinejad berjanji tak akan menghentikan perundingan dengan Uni Eropa. Pihak Uni Eropa pun menyambut positif. Artinya, pandangan bahwa presiden baru Iran itu akan memusuhi Barat sama sekali tak beralasan. Bahkan dia tidak menutup kemungkinan soal normalisasi hubungan dengan AS. Kendati ia mengajukan syarat, AS terlebih dulu harus "menghentikan sikap permusuhannya terhadap Republik Islam Iran".
Jadi, persoalan normalisasi hubungan Iran-AS sebenarnya tak bergantung pada siapa yang menjadi presiden di Iran, melainkan pada ada atau tak adanya kemauan politik dari Washington sendiri. Terbukti, misalnya, delapan tahun di bawah kepemimpinan Presiden Mohammad Khatami, yang disebut-sebut sebagai reformis, hubungan Iran-AS tidak mengalami perubahan.
Isu lain adalah pengaitan Ahmadinejad dengan isu terorisme. Hal ini mungkin karena jejak rekamnya sebagai salah satu arsitek penyerbuan dan penyanderaan di Kedutaan Besar AS di Teheran (1979-1981). Perlu diingat, saat itu Iran dalam suasana revolusi di mana sikap anti-Reza Pahlevi dan anti-AS tengah memuncak. Kondisi psikologis rakyat Iran tak bisa dibaca secara cermat oleh AS. Penyerbuan dan penyanderaan itu adalah reaksi atas keputusan AS yang menerima kedatangan mantan Syah Iran, namun kemudian mengusir Reza Pahlevi sehingga akhirnya ia meninggal di Mesir.
Jika seorang Ahmadinejad yang "hanya" terlibat dalam aksi penyerbuan ke Kedutaan Besar AS dikaitkan dengan terorisme, lalu bagaimana dengan rekor Ariel Sharon yang sebelum dan sesudah menjadi Perdana Menteri Israel bertanggung-jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan pembantaian terhadap ribuan warga sipil Palestina? Bagaimana dengan George W. Bush yang ikut bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di Afganistan dan Irak?
Dunia Barat, khususnya Amerika, hendaknya dapat menghormati proses politik di negara lain, termasuk pemilihan Presiden Iran. Demokrasi memiliki nilai-nilai universal. Tapi, demokrasi tak bisa menafikan nilai-nilai budaya setiap bangsa dan negara. Amerika dan para sekutu Barat-nya juga dapat becermin diri apakah sudah sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sebelum merasa berhak "menggurui" negara-negara lain. Sampai kini, penindasan masih terus berlangsung di Palestina, Afganistan, dan Irak. Penyiksaan dan pelecehan manusia belum pupus di Penjara Ghraib dan Guantanamo.
Jangan-jangan, negeri-negeri yang mengklaim dirinya kampiun demokrasi malah tak bisa membedakan mana demokrasi, mana hipokrisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo