Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ketika Air Menjadi Solar

Polisi menangkap kapal berawak warga asing yang mengangkut solar di Cilacap. Petugas administrasi pelabuhan mesti diperiksa juga.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, matahari berada tepat di atas dermaga Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap, Kamis pekan silam. Suasana sepi dan hanya tampak sebuah kapal motor berwarna hitam bertulisan "Yoto". Padahal, biasanya di tempat itu aneka kapal sibuk melakukan bongkar-muat barang

Tiga polisi dari kesatuan perairan dan udara (Airud) Jawa Tengah terlihat di sekitar pelabuhan. Sebuah kapal patroli polisi berada tak jauh dari Yoto. Mereka memang sedang mengawasi kapal yang mengibarkan bendera Indonesia itu. Berbobot mati 1,28 ton, dengan panjang sekitar 70 meter, kapal itu menjadi barang bukti upaya penyelundupan 528 ton solar.

Saat ditangkap, Sabtu dua pekan lalu, kapal itu tengah menerima kucuran solar dari tiga truk tangki bertulisan CV Teddy Jaya Putra. Polisi mencurigai Yoto lantaran awak yang bekerja kebanyakan orang asing, padahal kapal itu mengibarkan Merah Putih.

Polisi pun memeriksa dokumen kapal. Ternyata izin sandarnya untuk mengisi bahan bakar, mengambil air tawar, dan perbaikan suku cadang. "Izinnya kan isi air tawar, tapi kok solar?" kata seorang polisi. Karena antara dokumen dan kegiatan berbeda, polisi pun menggiring 18 awak kapal, 12 di antaranya warga negara Taiwan dan Republik Rakyat Cina, ke kantor Polda Jawa Tengah sebagai tersangka.

Baru belakangan diketahui kapal itu milik PT Baruna Minantahu Persada yang beralamat di Jakarta. Salah seorang tersangka mengaku kapal itu akan meninggalkan dermaga Cilacap setelah muatan solar mencapai 1.350 ton, tapi belum sampai isi bunker itu penuh, kapal keburu diciduk.

Tersangka lain mengungkap pemasok solar adalah suami-istri Opay, 45 tahun, dan Tety, 40 tahun, pemilik CV Teddy yang beralamat di Ujung Berung, Bandung. Polisi pun mendatangi rumah Opay dan Tety, tapi mereka tak ada di tempat. Surat panggilan pun dilayangkan kepada Tety.

Tak disangka, Tety datang sehari setelah surat dikirim. Kedatangan Tety ke kantor Polda Jawa Tengah lantaran dia ketakutan setelah mengetahui rumahnya di Bandung dan Surabaya digerebek polisi. "Kami tinggal memburu Opay dan pemilik kapal," kata Kepala Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Tengah Komisaris Besar M. Zulkarnain.

Ketika diperiksa, pada mulanya Tety selalu berkilah, tapi belakangan ia mengaku menjadi pemasok solar ke PT Baruna. "Baru kali ini saya memasok solar ke Baruna," ujarnya kepada penyidik. Kenyataannya, polisi menemukan bukti dokumen Yoto sudah tiga kali berlabuh di dermaga Tanjung Intan. "Tak mungkin kalau dia bilang sekali, wong kapal itu terakhir sandar tiga bulan lalu," kata penyidik.

Dari mana Tety memperoleh solar? Unit Pemasaran IV Pertamina Depot Maos, Cilacap, yang menjadi satu-satunya pintu keluar pemasaran BBM tak pernah menerima delivery order dari CV Teddy. "Ada enam perusahaan yang menjadi transporter di sini, tapi tak termasuk CV Teddy," kata Budi Darmawan, Kepala Unit Pemasaran IV Pertamina Depot Maos.

Menurut Tety, solar itu memang tak diperolehnya dari jalur resmi.

"Saya beli dari pengepul Rp 2.200 per liter, lalu saya jual Rp 4.000 ke Baruna," katanya. Setahunya, Baruna akan menjual solar itu ke wilayah timur Indonesia. Tentang Opay, Tety mengatakan, suaminya tak terkait dengan bisnisnya. "Di Teddy, sayalah direkturnya. Suami saya tak pernah ikut-ikut," ujar Tety yang dijerat Pasal 22 Undang-Undang Migas dengan ancaman hukuman enam tahun.

Mengapa kegiatan haram di atas Yoto bisa lolos dari pengawasan pejabat pelabuhan? Bambang Subekti, Manajer Umum PT Persero Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan, Cilacap, berdalih, pihaknya hanya mengurus izin berlabuh dan sama sekali tak tahu soal bongkar-muat kapal. "Ibarat terminal bus, kami hanya menyediakan lahan parkir," katanya.

Pelabuhan menarik biaya parkir Rp 76 ribu per hari dari PT Escorindo Ogrus Shippung selaku agen kapal. Direktur Escorindo, Suwito, menyatakan, perusahaannya memang mengurus izin sandar. "Tapi, kami tak bertanggung jawab soal kegiatan kapal selama berlabuh," ujarnya.

Bambang menunjuk pejabat administrasi pelabuhan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas bongkar-muat barang dan penumpangnya. Sayang, Kepala Adpel, Capt. Syamsudin, tidak berada di tempat. Pelaksana Harian Pengganti Adpel Imam Prayogo yang ada di kantor tak mau memberi keterangan. "Tanyakan saja ke pimpinan saya yang sedang berada di Jakarta. Saya tak berhak bicara," katanya.

Apakah polisi akan memeriksa petugas administrasi pelabuhan? "Jika ada keterkaitannya, tentu akan kami periksa. Kita fokuskan dulu pada tersangka utama, baru yang lain-lain akan ketahuan keterlibatannya," kata Zulkarnain.

Eni Saeni, Ari Aji H.S. (Cilacap), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus