Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dalam Jeratan Bapak Ayam

Sebanyak 40 perempuan muda asal Indonesia menjadi korban pelacuran di Malaysia. Ratusan lainnya diduga masih dalam jeratan germo.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN 18 tahun itu duduk termenung di kursi kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia berhidung mancung, tubuhnya yang langsing dibalut kaos merah jambu ketat dipadu dengan celana jins biru. Lulusan salah satu SMEA di Jawa Barat ini digaruk petugas Kepolisian Diraja Malaysia dalam sebuah razia kegiatan maksiat di Kuala Lumpur, pekan ketiga Juni lalu.

Melati—sebut saja namanya begitu—tidaklah sendirian. Sebanyak 39 anak baru gede (ABG) juga diangkut ke kedutaan pada pekan yang sama. Melati, yang selalu menunduk saat berbicara dengan wartawan Tempo, mengatakan sudah dua pekan dia menjadi pelacur di sebuah tempat hiburan di Lembah Klang, Kuala Lumpur, tapi dia tak memperoleh uang. "Saya harus melakukan 220 kali kongkek (berhubungan seks) dengan tamu untuk melunasi utang," katanya. Sampai digerebek, dia sudah 40 kali melayani pria.

Dia dianggap berutang karena berangkat ke Malaysia atas biaya seorang wanita setengah baya yang dipanggilnya "Si Mbak". Melati bertemu si Mbak di kampung halamannya pada Mei lalu. "Dia yang menghampiri saat saya sedang jalan-jalan," katanya. Wanita itu lalu mengajaknya mengobrol dan menawarkan bekerja di sebuah restoran di Kuala Lumpur dengan gaji Rp 80 juta per enam bulan kontrak.

Merasa mendapat pekerjaan yang menggiurkan, Melati meminta waktu sehari untuk minta izin ke orang tuanya. Tapi si Mbak mengatakan tak sempat sebab harus segera terbang ke Jakarta untuk pengurusan dokumentasi. Suasana hati Melati jadi tak menentu. Akhirnya dia mengangguk. Di Jakarta, perempuan cantik ini menginap semalam di sebuah hotel bersama si Mbak. "Nanti di Kuala Lumpur kamu bekerja baik-baik ya," kata si Mbak sebagaimana diulangi Melati.

Esoknya dia dijemput seorang pria dan langsung dibawa ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Terbang menuju Pontianak, sampai di tempat tujuan, dia dibawa dengan bus ke Entikong. Di sini dia menginap tiga hari untuk mengurus dokumentasi. Selanjutnya, Melati diberangkatkan ke Kuching, lalu terbang menuju Kuala Lumpur.

Di ibu kota Malaysia itulah Melati merasakan bagaimana hidup terkurung di dalam kamar sebuah hotel. Di hotel ini dia bersama dengan 10 ABG yang semuanya dari Indonesia. "Saat itu saya baru tahu telah tertipu," katanya.

Seorang mucikari memberi tahu Melati bahwa dia harus bersetubuh 120 kali untuk melunasi uang yang dipakai selama proses pengurusan dokumentasi dan transportasi sampai ke Kuala Lumpur—ditambah utang baju dan keperluan kosmetik, total dia mesti berhubungan seks 220 kali untuk melunasinya. Sekali kongkek dia dibayar RM 138 (Rp 350 ribu). Tapi Melati belum bisa menikmati duit ini selama utangnya belum lunas.

Dia pernah mencoba menolak melayani tamu. Akibatnya sungguh berat. Ia disiksa dan disekap dalam sebuah kamar selama tiga hari tiga malam. "Tempat ini dijaga ketat oleh tukang pukul. Kami tidak mungkin bisa lolos," ujarnya.

Melati bersyukur, polisi Malaysia telah menggerebek tempat dia disekap. Sekarang dia menunggu proses pemeriksaan di kedutaan, dan kemudian akan segera dipulangkan ke Indonesia. Di kedutaan dia baru tahu cukup banyak rekan senasib yang terjaring razia kegiatan maksiat itu. Di antaranya adalah Mawar (bukan nama sebenarnya), asal Medan, Sumatera Utara.

Mawar yang baru lulus SMP itu juga dijebak calo dengan modus yang sama.

Selama ini dia ditempatkan di Selangor, Malaysia, bersama 29 ABG dari Indonesia. Mawar diberangkatkan oleh seorang pria melalui Tanjung Balai, Asahan, dengan feri menuju Pelabuhan Klang, Selangor, Malaysia.

Di Selangor, Mawar langsung dibawa ke sebuah apartemen. Seperti rekan-rekannya, Mawar juga dituntut untuk melunasi utang selama proses dokumentasi dan transportasi dengan cara 220 kali kong. Dia dibayar RM 80 sekali kong. Di apartemen, Mawar harus masak sendiri. Segala kebutuhan sudah ada di kulkas, tinggal dimasak. Gerak-geriknya di apartemen selalu diawasi tukang pukul.

Belum semua pelacur asal Indonesia—sebagian berusia di bawah 18 tahun—diselamatkan oleh polisi Malaysia. Hingga pekan lalu masih ada ratusan ABG dari Indonesia berada di berbagai tempat hiburan di Malaysia. "Ada yang sekadar menjadi pelayan, dan banyak juga yang sekaligus melayani tamu lelaki di dalam kamar," kata lelaki tinggi kurus yang mengaku pernah mengunjungi beberapa pusat hiburan di sekitar Lembah Klang.

Menurut Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, jumlah pelacur asal Indonesia yang tertangkap dalam razia polisi Malaysia, dalam lima tahun terakhir rata-rata 2.000 orang per tahun. Pada 2004, tercatat 2.158 orang. "Sebanyak 30 persen adalah perempuan di bawah umur," kata Perwira Penghubung Mabes Polri di KBRI, Komisaris Besar Dwi Priyatno.

Poisi Mlaysia sudah membongkar delapan anggota sindikat pelacuran pada tahun ini. Mereka adalah Khairuddin alias Ateng, Fadli, Syamsul, Asef Ismail, Sam (Raden Syamsuddin), Lubis, Saidin, dan Mul. Dari delapan anggota komplotan ini, satu di antaranya adalah anggota TNI. "Si oknum inilah yang mencari calon pelacur, lalu mengenalkannya kepada agen di Malaysia, " kata Dwi Priyatno. Dia juga mengungkapkan, Polri bersama polisi Malaysia sedang mengejar beberapa orang germo yang di sana disebut "bapak ayam".

Sayangnya, di Malaysia para bapak ayam sering memperoleh hukuman ringan. Paling tinggi tujuh bulan penjara. Sedangkan di Indonesia mereka bisa dibidik dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seorang germo bisa diancam hukumannya 15 tahun penjara bila terbukti memperdagangkan anak di bawah usia 18 tahun.

Namun, sejak undang-undang itu berlaku, baru sedikit mucikari yang dijebloskan ke bui. Masalahnya, mengungkap praktek perdagangan anak yang dijadikan pelacur bukan perkara gampang. Itulah alasan yang disampaikan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Ariyanto Budiharjo. "Kasus-kasus seperti ini baru terungkap jika ada laporan dari korban atau masyarakat," kata Ariyanto.

Sebetulnya aksi para bromocorah bisa dideteksi. Bukan hanya di kota besar seperti di Jakarta, mereka juga beroperasi sampai ke daerah-daerah. Di kawasan Indramayu dan Cirebon, beberapa bromocorah bahkan menerapkan sistem ijon. Orang tua yang punya anak gadis didatangi, terutama yang sedang dililit utang. Dia lalu menyodori duit dengan syarat anak gadisnya yang masih sekolah, tak peduli masih kelas VI SD, bakal diambil setelah lulus.

Dua pekan lalu, empat bromocorah juga terang-terangan mengadakan seleksi perekrutan ABG di sebuah hotel berbintang di Cirebon. Mereka mengumpulkan 40 perempuan yang rata-rata usianya di bawah 18 tahun. Salah satu di antaranya adalah Fiola (bukan nama sebenarnya). Wanita berparas ayu ini menunjukkan selembar kertas pengumuman lowongan kerja. Di situ tertulis syaratnya adalah wanita di bawah usia 20 tahun. Berpenampilan menarik, belum menikah. Keterampilan tak dibutuhkan karena dinyatakan akan dididik.

Rini, 17 tahun, juga mengakui ada seleksi tersebut karena dia sendiri ikut. Tempat seleksinya di sebuah kamar hotel. Di depan pintu ada dua pria berbadan kekar berdiri dengan wajah garang. Di lobi hotel, empat bromocorah ini berseliweran dan sesekali mereka masuk kamar secara bergantian. "Kini saya menunggu giliran. Jika lulus, kami akan jadi duta seni ke Jepang," kata perempuan asal Indramayu itu. Menjadi "duta seni" hanyalah sebagai kedok. Biasanya mereka akan dipekerjakan sebagai wanita hiburan di Jepang.

Mestinya polisi mengetahui kegiatan seperti itu. "Saya memang mendengar ada kegiatan perekrutan itu," kata Kepala Polres Cirebon, Ajun Komisaris Besar Bambang Sukamto. Namun, dia belum menemukan bukti adanya tindakan kriminal. Dia berjanji akan menindaknya jika menemukan kasus perdagangan anak perempuan dengan tujuan pelacuran itu.

Upaya memerangi praktek perdagangan perempuan memang perlu digencarkan. Dr Tubagus Rachmat Sentika, yang dikenal sebagai Sekretaris Pelaksana Gugus Tugas Antitrafficking, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, pun menyokongnya. Namun, Rachmat juga berpendapat bahwa penegakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk memberantas praktek tersebut. "Resep lainnya dengan mengatasi penyebabnya. Jangan dibiarkan keluarga mereka hidup miskin terus."

Nurlis E. Meuko, Eni Saeni (Jakarta), Ivansyah (Indramayu), dan T.H. Salengke (Malaysia)


Jalur Pengiriman Korban

Data ini amat menyedihkan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia pada 2004 adalah anak di bawah 18 tahun. Ini belum termasuk angka perempuan muda Indonesia yang menjadi pelacur di luar negeri. Mereka lebih susah dihitung karena umurnya selalu dipalsukan.

Sejumlah negara menjadi sasaran penjualan anak-anak baru gede (ABG), antara lain Malaysia, Singapura, dan Jepang. Tak sedikit gadis-gadis yang dijual ke Negeri Sakura dengan kedok menjadi utusan budaya. Mereka didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia.

Daerah Asal Medan, SukabumiI, Indramayu, Manado

Tujuan

Malaysia

Jalur Darat: Dari Pontianak menuju Entikong, lalu Kuching. Dari sana, korban diterbangkan ke Kuala Lumpur.

Jalur Udara: Dari berbagai daerah (Medan, Sukabumi, Indramayu, Manado) diterbangkan ke Jakarta, lalu dikirim ke Kuala Lumpur.

Jalur Laut: a. Dumai-Melaka-Tanjung Balai Asahan-Pelabuhan Klang, Malaysia b. Dumai-Pelabuhan Dikson c. Tanjung Pinang-Johor Baru

Jumlah pelacur cilik asal Indonesia di Malaysia dari tahun ke tahun, menurut Kepolisian Diraja Malaysia:

2001 : 2.451 orang 2002 : 2.151 orang 2003 : 2.112 orang 2004 : 2.158 orang.

Cara Rekrutmen

  • Mula-mula korban diberi janji bekerja di restoran atau salon dengan gaji RM 500 (sekitar Rp 1.250.000) hingga RM 1.000 (sekitar Rp 2,5 juta) tiap bulan.
  • Di tempat transit, korban diperkosa.
  • Setelah berada di Malaysia, para korban dijadikan pelacur, tarifnya RM 100 (Rp 225 ribu) hingga RM 200 (Rp 450 ribu). Setiap hari mereka melayani minimal 10 pria.
  • Korban tak menerima gaji selama setahun, dengan alasan duitnya dipakai untuk membayar biaya pengiriman.

Jepang

Para korban dibawa dari Indramayu ke Jakarta. Setelah dilatih tari telanjang selama tiga bulan, mereka dikirim ke Jepang. Orang tua si anak diberi duit Rp 5 juta. Selama di Jepang, para korban memperoleh penghasilan Rp 50 juta-200 juta per enam bulan.

Nurlis E. Meuko, dan T.H. Salengke (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus