Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGIKUTI irama lagu tarling dermayonan yang mendayu-dayu, kepala Tono, 33 tahun, siang itu ikut bergoyang. Bibirnya bergumam mengikuti syair dalam lagu. Wajah penyiar radio itu terlihat riang. Tapi sesaat sebelum lagu usai, mimiknya berubah serius.
Dia lalu meluncurkan imbauan: "Paman dan Bibi tercinta, saat ini musim kelulusan anak-anak kita. Tolong perhatikan nasib mereka. Janganlah mereka diberikan pada orang-orang tak bertanggung jawab yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri tanpa diketahui jenis pekerjaannya secara jelas.'' Selanjutnya musik tarling alias gitar plus suling kembali mengalun.
Suara Tono lewat radionya kini begitu dikenal para perempuan muda seantero Kecamatan Gabus Wetan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Radio itu bernama Radika, kependekan dari Radio Kreativitas Anak Cinta Ilmu. Pengelolanya adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI).
YKAI mendirikan radio itu didorong keprihatinan kian maraknya perdagangan perempuan di Kecamatan Gabus Wetan. Di sana, luruh duit atau mencari duit dengan menjadi telembuk alias pelacur memang sudah menjadi kelaziman dan berlangsung turun-temurun. Para orang tua "mewajibkan" anaknya menjadi telembuk karena ingin menjadi kaya di hari tuanya. Tak peduli sang anak jadi istri simpanan orang kaya di kota. Bahkan yang masih sekolah disuruh berhenti meski harus kawin dalam usia yang sangat muda.
Mulai beroperasi Februari 2004, radio itu menempati sebuah rumah di Blok Kagok, Desa Gabus Kulon, Kecamatan Gabus Wetan. Pemilik rumah adalah Ny. Rinci, 33 tahun. Ibu tiga orang anak ini mantan telembuk yang sudah insyaf. "Saya tak ingin anak-anak di sini bernasib seperti saya,'' katanya.
Radika adalah proyek sosial yang dikerjakan YKAI dengan bantuan International Labour Organization (ILO) dan uluran tangan sejumlah perusahaan. Dengan daya pancar hingga radius 10 km, radio ini membidik masyarakat Gabus Wetan dan sekitarnya sebagai pendengar.
Isi siarannya berupa penjelasan yang berkaitan dengan efek-efek buruk bekerja sebagai pekerja seks. ''Dalam siaran, kami jelaskan bagaimana lika-liku kehidupan para pelacur di kota seperti Jakarta. Lalu, kami jelaskan pula sisi-sisi buruknya,'' kata Tata Sudrajat, Kepala Departemen Perlindungan Anak YKAI. Agar pesan yang disiarkan mudah diterima pendengar, seorang pelacur bernama Ratna sempat dilibatkan sebagai penyiar.
Bagi YKAI, kebiasaan luruh duit merupakan penyakit yang harus dipangkas. Namun, seperti diakui Tata Sudrajat, tak mudah mengikis budaya itu. Di lapangan, para relawan YKAI berkali-kali berhadapan dengan calo yang setiap hari berkeliaran mencari gadis-gadis untuk dijadikan pelacur.
Sejauh ini, hasil yang sudah dicapai YKAI cukup menggembirakan. Gadis-gadis muda di desa Citedung, Gabus Wetan, misalnya, sudah berani menolak jika disuruh kawin muda. Mereka tetap mau melanjutkan sekolah. ''Gadis-gadis di desa itu menjadi lebih ekspresif mengemukakan pendapat,'' ujar Tata.
Siaran radio Radika rupanya menggugah hati para gadis untuk menghindar dijadikan pelacur. Apalagi, kegiatan YKAI di Gabus Wetan bukan cuma siaran radio. Ada pula sanggar belajar. Di sana, anak-anak putus sekolah, terutama yang sudah diincar calo, ditampung dan diberi pelajaran seperti di sekolah umum. Tenaga gurunya diambil dari sekolah-sekolah di Gabus Wetan. Anak-anak itu juga dibekali dana untuk bisa melanjutkan kembali sekolahnya.
Mereka yang tak ingin melanjutkan sekolah diberi kesempatan bekerja. Senin pekan lalu, 46 gadis berusia 16_22 tahun diwisuda setelah menjalani pelatihan di International Garmen Training Center Bogor. Mereka diterima bekerja di perusahaan garmen di Cianjur, Tangerang, dan Bandung. Tahap berikutnya, giliran 30 gadis akan menjadi peserta program itu. Salah seorang dari para gadis itu nyaris menjadi pelacur di Jepang; bahkan sudah menjalani pelatihan di sebuah penampungan di Jakarta.
"Jangan korbankan harga diri anak kita dengan kekayaan duniawi. Sayangilah masa depannya." Kembali Tono mengudarakan pesan sebelum mengakhiri siaran hari itu.
Jalil Hakim dan Ivansyah (Indramayu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo