LELAKI tua itu bernama Gede Tantra. Di kampung Karang Belumbang,
Desa Cakra Barat, Kecamatan Cakranegara, Kabupaten Lombok Barat,
ia tergolong orang cukup berada. Punya banyak harta, baik yang
bergerak maupun tak bergerak. Anaknya berjumlah 3 orang.
Sayangnya, perempuan semua dan dua di antaranya sudah kawin.
Yang tinggal di rumah -- dan masih gadis -- adalah yang bungsu,
bernama Made Suwarningsih, berpendidikan SMP kelas II. Gede
Tantra tak punya saudara. Di samping anak, ia hanya punya bibi
(yang hingga kini masih hidup, tentu saja sudah tua pula)
bernama Ni Kadeq Wisti. Sedangkan Ni Luh Maniasih, isteri Gede
Tantra, telah diceraikannya manakala Made Suwarningsih, masih
berumur tak lebih dari 5 bulan.
Sidikara Sembah
Masalah cukup pelik yang timbul kini adalah setelah Gede Tantra
meninggal, 8 Juli 1975, dan diabenkan 10 September. Siapa yang
paling berhak mewarisi seluruh harta peninggalan almarhum? Saya
yang berhak, kata Made Suwarningsih, mengingat dirinya anak
kandung alrmarhum. Tidak bisa. Sekalipun Made Suwarningsih anak
kandung almarhum, tapi menurut adat ia tak berhak sebagai ahli
waris utama karena ia seorang perempuan. Yang paling berhak
adalah saya, karena saya adalah keluarga almarhum dari pancer
lelaki, reaksi Wayan Rauh.
Lelaki tua berumur 60 tahun ini adalah keluarga almarhum Gede
Tantra juga, yang sekalipun pertaliannya agak jauh, tapi secara
adat ia berhak juga sebagai ahli waris, karena dia adalah
bersidikara sembah dengan almarhum. Sidikara sembah merupakan
hubungan kekeluargaan yang tertinggi dalam masyarakat Bali.
Urut-urutannya adalah: sidikara rojong, sidikara parid, dan
sidikara sembah. Wayan Rauh berasal dari Kampung Banjar Babakan,
Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali.
Mayoritas orang-orang Bali yang sudah lama menetap di Lombok,
berasal dari Karangasem ini. Wayan Rauh sering datang ke Lombok,
dan menginap di rumah Gede Tantra. Bahkan beberapa bulan sebelum
Gede meninggal sampai dengan sesudah almarhum diabenkan, Wayan
justru tinggal di rumah keluarganya tersebut. Menurut keterangan
Made Santa, Kepala desa Cakra Barat, salah seorang keluarga
Wayan pernah pula diabenkan Gede. Ini berarti Wayan memang benar
sidikara sembahnya Gede, yang juga berarti ia memang termasuk
salah seolang ahli waris syah dari mendiang.
Belum Kawin
Dalam upacara mengabenkan si meninggal, yang bertindak selaku
pelaksana utama adalah Made Suwarningsih, didampingi oleh Ni
Kadeq Wisti (bibi almarhum alias nenek Made Suwarningsih) dan
Wayan Rauh. Menurut keterangan Made kepada TEMPO, waktu itu
belum tampak tanda-tanda bahwa Wayan Rauh punya minat untuk
mewarisi seluruh harta peninggalan almarhum. Menurut gadis ini,
minat Wayan itu baru tercetus setelah selesai upacara
pengabenan. Konon orangtua itu sudah mulai berani bersikap kasar
terhadap Made Suwarningsih: Dan oleh sikap Wayan tersebut, lewat
Kepala Kampung Karang Belumbang, Made terpaksa mengusir Wayan
dari rumahnya. Bisa dimaklumi, dengan pengusiran itu, Wayan Rauh
jadi makin agresif. Silsilah keluarga ia buat, dengan maksud
untuk mengokohkan dirinya sebagai ahli waris paling utama dari
almarhum Gede Tantra.
Ini membuat Made Suwarningsih cepat-cepat menghadap Kepala Desa
Cakra Barat, minta agar ia disahkan sebagai ahli waris almarhum
ayahnya. Setelah mempelajari silsilah kekeluargaan Wayan Rauh,
dan hal-hal yag menyangkut masalah adat, Kepala Desa, Nopember
1975, mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa Made
Suwarningsih adalah ahli waris dari almarhum Gede Tantra.
Berkata Made Santa, Kepala Desa kepada TEMPO: Made anak kandung
almarhum sekalipun perempuan, tapi toh dia masih tinggal di
rumah dan belum kawin ke luar. Akan halnya Wayan, Made Santa
berkomentar: Benar dia itu bersidikara sembah dengan almarhum,
tapi meneliti silsilah kekeluargaannya, hubungannya dengan
almarhum masih terbilang jauh. Maka setelah dikeluarkan surat
keterangan oleh Kepala Desa itu Made guwarningsih merasa punya
kekuatan yang pasti. Dengan senjata SK Kepala Desa itu, Made
secara di bawah tangan tak canggung-canggung lagi menjual harta
peninggalan almarhum ayahnya. Saya butuh uang segera untuk
membayar hutang-hutang yang saya pakai untuk biaya mengabenkan
almarhum ayah saya tempohari, kata Made kepada TEMPO. Yang sudah
dijualnya adalah sebuah mikro bis (Colt) dan sebidang tanah
kebun. Mikro tersebut seharga Rp 2,1 juta, dan uangnya sulah ia
terima semua. Sedangkan tanah kebun berharga Rp 750 ribu, tapi
ia baru dapat panjar Rp 200 ribu. Si pembeli konon takut
menyerahkan sisanya yang Rp 550 ribu lagi, karena keburu dicegah
oleh Wayan Rauh plus orang-orang yang berada di pihaknya. Wayan
melarang penjualan semua harta peninggalan almarhum, termasuk
juga melarang penjualan tanah-tanah yang sudah punya sertifikat
atas nama Ni Kadeq Wisti, dengan alasan bahwa tanah yang sudah
bersertifikat atas nama bibi mendiang itu berasal dari almarhum.
Tapi, saya tidak bisa menghalangi transaksi jual beli tanah yang
sudah punya sertifikat, karena sertifikat itu adalah merupakan
bukti pemilikan yang sah, kata Lalu Mas'ud Camat Cakranegara
kepada TEMPO. Menurut Camat Mas'ud, sertifikat tanah yang atas
nama Ni Kadeq Wisti itu dibuat tahun 1964.
Kekuatan yang dipegang oleh Wayan Rauh untuk terus maju adalah
sebuah surat keterangan dari Inspeksi Bimasa Hindu & Buddha
Kabupaten Lombok Barat, 10 Januari 1976. SK yang bernomor
I/Skum/1976 itu menegaskan bahwa Wayan Rauh adalah ahli waris
dari almarhum Gede Tantra. Inspeksi Bimasa Hindu & Buddha
Kabupaten Lombok Barat berani mengeluarkan SK tersebut setelah
mempelajari dan meneliti silsilah kekeluargaan Wayan Rauh yang
dibuat oleh Kepala Desa Gegelang, Karangasem, dari desa mana
Wayan berasal. SK yang dikeluarkan Kepala Desa Cakra Barat
akhirnya bertabrakan dengan SK yang dikeluarkan Inspeksi Bimasa
Hindu & Buddha abupaten Lombok Barat. Lantas bagaimana? Bisa
ditebak, para pokro bambu -- yang di sana jumlahnya cukup banyak
-- merasa perlu terjun ke dalam masalah yang seperti benang
kusut ini.
Berlaku Menyimpang
Untuk memojokkan Made Suwarningsih, Wayan Rauh mula-mula
mengirim surat ke Kepala Desa Cakra Barat, Camat Cakranegara,
Sub Direktorat Agraria Lombok Barat dan Inspeksi Bimasa Hindu &
Buddha kombok Barat. Inti surat itu, "menuduh Made Suwarningsih
sebagai anak yang Amumpang laku". Amumpang laku berarti seorang
gadis yang telah berlaku menyimpang dari etika tata susila"
Dalam surat yang dibuat Wayan itu, Made Suwarningsih dikatakan
telah pergi ke Bali tanpa sepengetahuan keluarga. Dan
sepulangnya ke Lombok, menurut Wayan, Made tidak langsung ke
rumahnya, tapi menginap di rumah orang lain dengan ditemani oleh
5 orang lelaki yang bukan keluarganya. Dengan kata lain, dalam
suratnya itu Wayan Rauh menyangsikan kegadisan Made
Suwarningsih. Dan dengan alasan begitu, Wayan minta pada pemuka
masyarakat desa agar Made dinyatakan sebagai orang yang telah
dibuang keluarga. Gampang ditebak maksud Wayan: kalau upaya itu
berhasil, dan Made dibuang keluarga, maka tak ada lagi orang
kuat yang harus dihadapi Wayan dalam memperebutkan harta
peninggalan almarhum.
Bagaimana reaksi Made Suwarningsih? Itu suatu fitnah untuk
menjatuhkan saya, kata Made kepada TEMPO. Dan selanjutnya, Made
mengadukan persoalan yang dikatakannya fitnah itu kepada fihak
Kepolisian Sektor Sweta. Akibatnya, Wayan Rauh dipanggil Polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini