Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kembalinya si terculik, ferry

Bertengkar soal uang, akhirnya memuncak pada penculikan anak. penculiknya sutoyo dan kakak kandung ayah anak yang diculik sebagai otak peristiwa di tahan polisi. ferry kembali ke orang tuanya. (krim)

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DICULIK paman sendiri? Memang, itulah Firman Sugiharto alias Ferry. Ia jadi korban perselisihan antara ayahnya, Baba Slamet, dan Pradoto, kakak kandung Slamet (TEMPO, 10 Mei 1975). Atas perintah Pradoto dimulailah penculikan oleh Sutoyo. Siang hari 3 Juni dua tahun yang lalu Sutoyo membawa Ferry ke terminal Wonokromo Sutoyo dan anaknya, Yoyok, memang sering mengajak dolan Ferry tapi waktu itu Yoyok disuruh pulang ayahnya. Sedikit pesan dari sang ayah. Saya segera pulang dan membawa uang banyak. Kalau ditanya soal Ferry, katakan tidak tahu. Waktu itu Sutoyo memang tidak nengantongi uang banyak. Ia hanya dibekali lima ribu rupiah oleh Pradoto. Sekedar untuk ongkos bis. Usul Sutoyo begini: Ferry dibawa dulu dari Surabaya ke Madiun, baru di sana nanti diterima Pradoto. Setuju. Namun rupanya ada yang tidak beres. Sudah lima hari Sutoyo menunggu Pradoto di kota itu, tapi Pradoto belum juga muncul. Tentu saja Sutoyo gelisah lantaran uangnya sudah ludes. Ia meninggalkan Ferry -- tatkala sedang tidur -- di emper sebuah toko Jalan Sudirman Madiun. Hanya sepucuk surat ditempelkan ke tubuh anak itu. Isinya agar yang menemukan Ferry memeliharanya baik-baik. Dalam pesan itu Sutoyo tampil dengan nama Herman Kuncoro. Surat Kaleng Ferry yang saat itu berusia hampir 3 tahun ditemukan seseorang dan kemudian diserahkan kepada polisi Komres Madiun. Namun tidak berselang lama sudah ada wanita yang menyatakan kehilangan anak. Ferry pindah tangan. Ibunya yang baru adalah Sri Rahayu alias Sayem, yang rumahnya di Magetan. Sampai di sini baik Sutoyo maupun Pradoto kehilangan jejak Ferry. Apalagi Slamet. Maka tidaklah mengherankan bila Slamet mengumumkan akan memberi dua juta rupiah kepada siap saja yang menemukan Ferry. Sutoyo menelan ludah mendengar iming-iming itu dan mulai berspekulasi. Dibikinlah surat kaleng. Ia menuntut sebanyak itu dengan perincian Rp 500 ribu masing-masing untuk dirinya sendiri dan Pradoto, Rp 600 ribu untuk yang merawat Ferry dan sisanya untuk yang lain-lain. Tuntutan itu disertai janji bahwa Ferry akan dikembalikan 15 Desember tahun lalu. Tapi sudah lewat tanah itu Ferry belum juga kembali. Tapi uang Rp 2 juta pun belum lepas dari Slamet. Lalu 18 Januari tahun ini Sutoyo bikin surat kaleng lagi dengan alamat pengirim Surakarta. Permintaannya Rp 510 ribu saja. Setengah juta rupiah untuk tebusan dan Rp 10 ribu untuk biaya perjalanan ke Surakarta. Polisi mulai memanggil Kuntarti, bekas isteri Sutoyo. Wanita ini pernah melihat Sutoyo menggendong Ferry. Tapi Kuntari tidak kenal Ferry maka tidak punya prasangka apapun ketika Sutoyo menjawab sekedarnya saja tentang Ferry. Keterangan Yoyok tentang kepergian ayahnya kurang banyak membantu polisi. Tapi untung catatan tentang Ferry di kantor polisi Madiun masih lengkap. Empat hari setelah mengirim surat kaleng, Sutoyo ditangkap polisi di Jalan Sumatera Madiun. Sutoyo agak pangling dengan wajah anak yang diculiknya, sebab sudah 20 bulan berpisah. Ternyata bekas-bekas luka di bibir, lutut dan tahi lalat dilehernya ada gunanya juga. Tanda-tanda itu banyak membantu Sutoyo mengenal kembali Ferry. Sengketa antara Slamet dan Pradoto kabarnya bermula sewindu yang lalu ketika keduanya mendapat modal dari orangtuanya. Mereka sama-sama mengurus sebuah percetakan. Persengketaan yang timbul, disebabkan hal biasa: uang. Orangtua mereka memisah pertengkaran itu dengan menyuruh mereka pindah rumah disertai sekedar bekal beberapa juta rupiah. Mereka baru bertemu kembali dalam sidang keluarga ang membicarakan soal penculikan itu. Sebagian besar keluarga menyalahkan Slamet. Bahkan ada yang berani memutarbalik persoalan. Keluarga Ny. Baba Slametlah yang menculik Ferry. Namun Slamet punya perasaan kuat bahwa kakaknyalah yang berbuat jahat. Apalagi beberapa dukun yang dihubunginya punya pendapat begitu pula. Maka Baba coba-coba bicara empat mata dengan Pradoto ketika kakaknya itu ditahan polisi. Maksud Slamet sekedar untuk memperoleh pengakuan Pradoto. Tapi gagal. Dalam mencari anaknya, Slamet sering menemui kegagalan. Sekitar Rp 2 juta telah keluar dari sakunya. Sebagian besar untuk biaya perjalanan dan ongkos dukun. Namanya saja dukun. Ucapannya nampak meyakinkan, tapi nyatanya sering tidak cocok. Misalnya ketika memberi tahu Slamet bahwa Ferry ada di Hotel Jayabaru, Temanggung. Apalagi Ferry, nama hotelnya pun tidak ditemukan ketika Slamet cepat-cepat pergi ke kota di Jawa Tengah itu. Kini Ferry sudah berkumpul kembali dengan orangtuanya. Duduk di Taman Kanak-Kanak, ia sekarang tambah manja. Agak berlebihan tingkahnya. Umpamanya saja hampir setiap saat menciumi seorang kakak dan dua adik plus ayah ibunya. Anjingnya, Teki, juga terkena tempat pelampiasan rindu Ferry. Keduanya sebaya saja, hanya Ferry dua bulan lebih tua. Sang ayah agak repot sebab bila ia terlalu keras terhadap anaknya khawatir anaknya kaget. sebaliknya kalau dimanja salah-salah bisa rusak. Di samping repot mengurus anaknya yang baru kembali, Slamet juga masih prihatin. Sebab yang dihadapi toh kakak kandungnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus