DICULIK paman sendiri? Memang, itulah Firman Sugiharto alias
Ferry. Ia jadi korban perselisihan antara ayahnya, Baba Slamet,
dan Pradoto, kakak kandung Slamet (TEMPO, 10 Mei 1975). Atas
perintah Pradoto dimulailah penculikan oleh Sutoyo. Siang hari 3
Juni dua tahun yang lalu Sutoyo membawa Ferry ke terminal
Wonokromo Sutoyo dan anaknya, Yoyok, memang sering mengajak
dolan Ferry tapi waktu itu Yoyok disuruh pulang ayahnya. Sedikit
pesan dari sang ayah. Saya segera pulang dan membawa uang
banyak. Kalau ditanya soal Ferry, katakan tidak tahu.
Waktu itu Sutoyo memang tidak nengantongi uang banyak. Ia hanya
dibekali lima ribu rupiah oleh Pradoto. Sekedar untuk ongkos
bis. Usul Sutoyo begini: Ferry dibawa dulu dari Surabaya ke
Madiun, baru di sana nanti diterima Pradoto. Setuju. Namun
rupanya ada yang tidak beres. Sudah lima hari Sutoyo menunggu
Pradoto di kota itu, tapi Pradoto belum juga muncul. Tentu saja
Sutoyo gelisah lantaran uangnya sudah ludes. Ia meninggalkan
Ferry -- tatkala sedang tidur -- di emper sebuah toko Jalan
Sudirman Madiun. Hanya sepucuk surat ditempelkan ke tubuh anak
itu. Isinya agar yang menemukan Ferry memeliharanya baik-baik.
Dalam pesan itu Sutoyo tampil dengan nama Herman Kuncoro.
Surat Kaleng
Ferry yang saat itu berusia hampir 3 tahun ditemukan seseorang
dan kemudian diserahkan kepada polisi Komres Madiun. Namun tidak
berselang lama sudah ada wanita yang menyatakan kehilangan anak.
Ferry pindah tangan. Ibunya yang baru adalah Sri Rahayu alias
Sayem, yang rumahnya di Magetan. Sampai di sini baik Sutoyo
maupun Pradoto kehilangan jejak Ferry. Apalagi Slamet. Maka
tidaklah mengherankan bila Slamet mengumumkan akan memberi dua
juta rupiah kepada siap saja yang menemukan Ferry. Sutoyo
menelan ludah mendengar iming-iming itu dan mulai berspekulasi.
Dibikinlah surat kaleng. Ia menuntut sebanyak itu dengan
perincian Rp 500 ribu masing-masing untuk dirinya sendiri dan
Pradoto, Rp 600 ribu untuk yang merawat Ferry dan sisanya untuk
yang lain-lain. Tuntutan itu disertai janji bahwa Ferry akan
dikembalikan 15 Desember tahun lalu. Tapi sudah lewat tanah itu
Ferry belum juga kembali. Tapi uang Rp 2 juta pun belum lepas
dari Slamet. Lalu 18 Januari tahun ini Sutoyo bikin surat kaleng
lagi dengan alamat pengirim Surakarta. Permintaannya Rp 510 ribu
saja. Setengah juta rupiah untuk tebusan dan Rp 10 ribu untuk
biaya perjalanan ke Surakarta.
Polisi mulai memanggil Kuntarti, bekas isteri Sutoyo. Wanita ini
pernah melihat Sutoyo menggendong Ferry. Tapi Kuntari tidak
kenal Ferry maka tidak punya prasangka apapun ketika Sutoyo
menjawab sekedarnya saja tentang Ferry. Keterangan Yoyok tentang
kepergian ayahnya kurang banyak membantu polisi. Tapi untung
catatan tentang Ferry di kantor polisi Madiun masih lengkap.
Empat hari setelah mengirim surat kaleng, Sutoyo ditangkap
polisi di Jalan Sumatera Madiun. Sutoyo agak pangling dengan
wajah anak yang diculiknya, sebab sudah 20 bulan berpisah.
Ternyata bekas-bekas luka di bibir, lutut dan tahi lalat
dilehernya ada gunanya juga. Tanda-tanda itu banyak membantu
Sutoyo mengenal kembali Ferry.
Sengketa antara Slamet dan Pradoto kabarnya bermula sewindu yang
lalu ketika keduanya mendapat modal dari orangtuanya. Mereka
sama-sama mengurus sebuah percetakan. Persengketaan yang timbul,
disebabkan hal biasa: uang. Orangtua mereka memisah pertengkaran
itu dengan menyuruh mereka pindah rumah disertai sekedar bekal
beberapa juta rupiah. Mereka baru bertemu kembali dalam sidang
keluarga ang membicarakan soal penculikan itu. Sebagian besar
keluarga menyalahkan Slamet. Bahkan ada yang berani memutarbalik
persoalan. Keluarga Ny. Baba Slametlah yang menculik Ferry.
Namun Slamet punya perasaan kuat bahwa kakaknyalah yang berbuat
jahat. Apalagi beberapa dukun yang dihubunginya punya pendapat
begitu pula. Maka Baba coba-coba bicara empat mata dengan
Pradoto ketika kakaknya itu ditahan polisi. Maksud Slamet
sekedar untuk memperoleh pengakuan Pradoto. Tapi gagal.
Dalam mencari anaknya, Slamet sering menemui kegagalan. Sekitar
Rp 2 juta telah keluar dari sakunya. Sebagian besar untuk biaya
perjalanan dan ongkos dukun. Namanya saja dukun. Ucapannya
nampak meyakinkan, tapi nyatanya sering tidak cocok. Misalnya
ketika memberi tahu Slamet bahwa Ferry ada di Hotel Jayabaru,
Temanggung. Apalagi Ferry, nama hotelnya pun tidak ditemukan
ketika Slamet cepat-cepat pergi ke kota di Jawa Tengah itu. Kini
Ferry sudah berkumpul kembali dengan orangtuanya. Duduk di Taman
Kanak-Kanak, ia sekarang tambah manja. Agak berlebihan
tingkahnya. Umpamanya saja hampir setiap saat menciumi seorang
kakak dan dua adik plus ayah ibunya. Anjingnya, Teki, juga
terkena tempat pelampiasan rindu Ferry. Keduanya sebaya saja,
hanya Ferry dua bulan lebih tua. Sang ayah agak repot sebab bila
ia terlalu keras terhadap anaknya khawatir anaknya kaget.
sebaliknya kalau dimanja salah-salah bisa rusak. Di samping
repot mengurus anaknya yang baru kembali, Slamet juga masih
prihatin. Sebab yang dihadapi toh kakak kandungnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini