Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ane-ente di condet

Gubernur ali sadikin berniat membuat cagar budaya buat orang betawi di condet. mereka terpaksa hidup di ujung-ujung kota akibat modernisasi gedung dan jalan besar. bukan berarti ini adalah reservasi.

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL bersungut-sungut dan meleleh airmatanya . 6000 Indian suku Cherokee gendong buntelan angkat kaki dari tanah leluhurnya di Georgia dan Tennessee akibat digusur serdadu AS. Nasib serupa menimpa orang-orang Navajo, Pueblos, Sioux, Cheyene dan Apache. Kejantanan mereka di atas punggung kuda sambil menjerit mengayun kampak dipaksa tersungkur di ujung senapan pendatang kulit putih yang berkapal-kapal turun dari Eropa, entah dia itu bangsawan yang hilang tahta, atau pencari nafkah, atau bajing yang cari daerah aman, benua Amerika. Sesudah itu, nasibnya terbanting-banting. Penduduk asli berkulit warna tembaga itu mesti berasimilasi dengan kultur kulit putih. kata Dawes Act tahun 1887. Jangan biarkan mereka berjingkrak-jingkrak keliling api, bergaul dengan setan atau menyembah batang kayu. Supaya jangan gentayangan, beri mereka tanah 160 acre per kepala keluarga, biar bisa bertani sebagaimana mestinya. Namun, aturan ini macet. Musibah datang menimpa. Lewat bujukan atau tipuan, tanah-tanah itu jatuh ke tangan kulit putih, yang akalnya lebih panjang ketimbang akhlaknya. Dalam tempo 47 tahun, lebih duapertiga tanah orang Indian berpindah tangan. Ganti UU baru, Wheeler-Howard Act tahun 1934. Kultur dan tradisi Indian boleh lagi hidup berkembang sesuka hati. Bikin "reservasi", tempat mereka berkumpul sesamanya. Mau berjingkrak-jingkrak, boleh. Mau menjerit-jerit, boleh. Mau mencoreng-moreng muka, boleh. Walhasil, mesti dipelihara baik-baik, supaya jangan punah. Sekali tempo bisa masuk film Hollywood, kisah nenek moyang mereka yang dibedil seperti kelinci. "Tanah Keramat" Datang tahun 1953 pemerintahan Eissenhower, lain lagi cerita. Yang tadinya boleh sesuka hati di daerah "reservasi", sekarang tidak. Kekhususan kultur Indian mesti diakhiri. Dengan dalih sivilasi, mereka direnggut dari akar-akar tradisinya, dihalau ke bawah pengawasan pemerintah, dipersilakan hidup bersaing dengan kulitputih tanpa persiapan yang perlu. Akibatnya: terlindas habis mereka tanpa daya, tanpa tanah dan tanpa modal, tanpa kebanggaan masa lampau dan tanpa harapan masa depan. Bagaikan makhluk lain planet yang hilang arah. Jadi, bagaimana baiknya? Begini, kata Presiden Nixon di depan Kongres AS Juli 1970. Sikap yang dulu-dulu it tidak betul semua. Adalah keliru menekan habis kultur dari tradisi Indian, biar saja begitu toh Pemerintah boleh bantu tapi jangan kebapak-bapakan. Biar mereka ikut menemukan apa yang baik buat mereka. Memang mereka perlu sekolah. Mengapa kita tidak biarkan mereka jadi guru dan mengurusnya sendiri? Kemudian, yang tak kurang pentingnya, perihal "tanah keramat" dekat Blue Lake di New Mexico. Tadinya tanah itu jadi tempat upacara agama suku Taos Pueblo. Tahun 1906 tiba-tiba dikuasai pemerintah jadi hutan lindungan, tanpa bayar ganti rugi sepeserpun. Ini mesti dikembalikan. Biarkan mereka hidup di situ sebagaimana adanya, aneh tidak aneh bukan urusan. Maka, dengan dalih itu, resmilah lagi "reservasi" 100.000 suku Navajo hidup berkelompok di Arizona. 1600 suku Mescalero Apache hidup berkelompok di New Mexico. Barang siapa kepingin tengok penduduk asli Amerika, silakan datang ke sana. Menarik, seperti musium. Ratusan ribu turis rela tercengang-cengang setiap tahunnya, rogoh kantong tidak apa, asal ganjil. Tapi kalau pembaca dengar niatan Gubernur Ali Sadikin bikin "cagar budaya" buat orang Betawi di Condet, jangan cepat berkesimpulan bahwa itu tak ubahnya seperti "reservasi". Maklum, orang Betawi tentu bukan orang Indian. Mereka bukan berasal dari gua-gua melainkan justru cikalbakal metropolitan. Apa sebab perlu ada cagar budaya segala macam, di samping cagar alam buat para binatang, tentu ada ceritanya. Mereka itu, akibat modernisasi gedung dan jalan besar, terpaksa tergusur, berserakan ke ujung-ujung kota. Mumpung belum semuanya begitu, perlu ada perlindungan. Daerah Condet tidak boleh disentuh, hatta oleh tangan real estate yang perkasa sekalipun. Biarkan rumah-rumah dan langgar-langgar dan pohon duku serta salak berikut kancil yang menyuruk di sela-selanya, bertahan sampai kiamat. Biarkan orang Betawi yang belum terlanjur berhamburan hidup berkumpul sesamanya, seperti ikan bandeng di satu empang. Biarkan mereka ber ane ente sesuka hati. Biarkan tradisinya yang spontan, keras tapi polos, jenaka tapi beringas, melarat sedikit tidak apa asal bebas, hidup sepanjang jaman Biarkan mereka berjoged dan main rebana semalam suntuk, sampai tua. Senangkah orang Betawi mendengar ini? Senang yang apa boleh buat. Sebab, bukan cuma revolusi yang menjebol dan membangun, tapi pembangunan pun begitu. Daripada semuanya terjebol, mendingan ada juga sisa yang tinggal. Asal jangan ada turis yang biasanya dungu itu bersorak di Condet: Look at that poor Betawis, what they are actually doing here? Wonderful, fantastic........

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus