SAMBIL bersungut-sungut dan meleleh airmatanya . 6000 Indian
suku Cherokee gendong buntelan angkat kaki dari tanah leluhurnya
di Georgia dan Tennessee akibat digusur serdadu AS. Nasib serupa
menimpa orang-orang Navajo, Pueblos, Sioux, Cheyene dan Apache.
Kejantanan mereka di atas punggung kuda sambil menjerit mengayun
kampak dipaksa tersungkur di ujung senapan pendatang kulit putih
yang berkapal-kapal turun dari Eropa, entah dia itu bangsawan
yang hilang tahta, atau pencari nafkah, atau bajing yang cari
daerah aman, benua Amerika.
Sesudah itu, nasibnya terbanting-banting. Penduduk asli berkulit
warna tembaga itu mesti berasimilasi dengan kultur kulit putih.
kata Dawes Act tahun 1887. Jangan biarkan mereka
berjingkrak-jingkrak keliling api, bergaul dengan setan atau
menyembah batang kayu. Supaya jangan gentayangan, beri mereka
tanah 160 acre per kepala keluarga, biar bisa bertani
sebagaimana mestinya. Namun, aturan ini macet. Musibah datang
menimpa. Lewat bujukan atau tipuan, tanah-tanah itu jatuh ke
tangan kulit putih, yang akalnya lebih panjang ketimbang
akhlaknya. Dalam tempo 47 tahun, lebih duapertiga tanah orang
Indian berpindah tangan.
Ganti UU baru, Wheeler-Howard Act tahun 1934. Kultur dan tradisi
Indian boleh lagi hidup berkembang sesuka hati. Bikin
"reservasi", tempat mereka berkumpul sesamanya. Mau
berjingkrak-jingkrak, boleh. Mau menjerit-jerit, boleh. Mau
mencoreng-moreng muka, boleh. Walhasil, mesti dipelihara
baik-baik, supaya jangan punah. Sekali tempo bisa masuk film
Hollywood, kisah nenek moyang mereka yang dibedil seperti
kelinci.
"Tanah Keramat"
Datang tahun 1953 pemerintahan Eissenhower, lain lagi cerita.
Yang tadinya boleh sesuka hati di daerah "reservasi", sekarang
tidak. Kekhususan kultur Indian mesti diakhiri. Dengan dalih
sivilasi, mereka direnggut dari akar-akar tradisinya, dihalau ke
bawah pengawasan pemerintah, dipersilakan hidup bersaing dengan
kulitputih tanpa persiapan yang perlu. Akibatnya: terlindas
habis mereka tanpa daya, tanpa tanah dan tanpa modal, tanpa
kebanggaan masa lampau dan tanpa harapan masa depan. Bagaikan
makhluk lain planet yang hilang arah.
Jadi, bagaimana baiknya? Begini, kata Presiden Nixon di depan
Kongres AS Juli 1970. Sikap yang dulu-dulu it tidak betul semua.
Adalah keliru menekan habis kultur dari tradisi Indian, biar
saja begitu toh Pemerintah boleh bantu tapi jangan
kebapak-bapakan. Biar mereka ikut menemukan apa yang baik buat
mereka. Memang mereka perlu sekolah. Mengapa kita tidak biarkan
mereka jadi guru dan mengurusnya sendiri? Kemudian, yang tak
kurang pentingnya, perihal "tanah keramat" dekat Blue Lake di
New Mexico. Tadinya tanah itu jadi tempat upacara agama suku
Taos Pueblo. Tahun 1906 tiba-tiba dikuasai pemerintah jadi hutan
lindungan, tanpa bayar ganti rugi sepeserpun. Ini mesti
dikembalikan. Biarkan mereka hidup di situ sebagaimana adanya,
aneh tidak aneh bukan urusan.
Maka, dengan dalih itu, resmilah lagi "reservasi" 100.000 suku
Navajo hidup berkelompok di Arizona. 1600 suku Mescalero Apache
hidup berkelompok di New Mexico. Barang siapa kepingin tengok
penduduk asli Amerika, silakan datang ke sana. Menarik, seperti
musium. Ratusan ribu turis rela tercengang-cengang setiap
tahunnya, rogoh kantong tidak apa, asal ganjil.
Tapi kalau pembaca dengar niatan Gubernur Ali Sadikin bikin
"cagar budaya" buat orang Betawi di Condet, jangan cepat
berkesimpulan bahwa itu tak ubahnya seperti "reservasi". Maklum,
orang Betawi tentu bukan orang Indian. Mereka bukan berasal
dari gua-gua melainkan justru cikalbakal metropolitan. Apa sebab
perlu ada cagar budaya segala macam, di samping cagar alam buat
para binatang, tentu ada ceritanya. Mereka itu, akibat
modernisasi gedung dan jalan besar, terpaksa tergusur,
berserakan ke ujung-ujung kota. Mumpung belum semuanya begitu,
perlu ada perlindungan. Daerah Condet tidak boleh disentuh,
hatta oleh tangan real estate yang perkasa sekalipun. Biarkan
rumah-rumah dan langgar-langgar dan pohon duku serta salak
berikut kancil yang menyuruk di sela-selanya, bertahan sampai
kiamat. Biarkan orang Betawi yang belum terlanjur berhamburan
hidup berkumpul sesamanya, seperti ikan bandeng di satu empang.
Biarkan mereka ber ane ente sesuka hati. Biarkan tradisinya yang
spontan, keras tapi polos, jenaka tapi beringas, melarat sedikit
tidak apa asal bebas, hidup sepanjang jaman Biarkan mereka
berjoged dan main rebana semalam suntuk, sampai tua.
Senangkah orang Betawi mendengar ini? Senang yang apa boleh
buat. Sebab, bukan cuma revolusi yang menjebol dan membangun,
tapi pembangunan pun begitu. Daripada semuanya terjebol,
mendingan ada juga sisa yang tinggal. Asal jangan ada turis yang
biasanya dungu itu bersorak di Condet: Look at that poor
Betawis, what they are actually doing here? Wonderful,
fantastic........
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini