PERTENGAHAN tahun lalu Departemen Perdagangan telah dikalahkan
perkaranya oleh Pengadilan Negeri, atas gugatan 4 orang pegawai
PN Adumaning II. Pengadilan memerintahkan agar Deperdag membayar
ganti rugi kepada pra penggugat sebesar Rp 9,6 juta. Departemen
ini dinyatakan bersalah karena telah menerima sejumlah uang dari
para penggugat, tapi tak pernah menyerahkan tanah-tanah kapling
yang dijanjikannya. Belum lagi beres pelaksanaan ganti rugi ini
-- karena pihak departemen minta penundaan dan menyatakan naik
banding sekarang sudah ada 65 orang lain menandatangani surat
kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum untuk mengajukan gugatan
baru. LBH juga sudah menyiapkan surat gugatan, jika pihak
Deperdag enggan menyelesaikan urusan kapling itu di luar
pengadilan.
Tahun 1965 di sana sini banyak dibentuk panitia -- atau yayasan
yang menawar-nawarkan tanah kapling. Walaupun telah terbukti
banyak panitia atau yayasan bermodal dengkul untuk menipu
pembeli, namun pada setiap dibuka pendaftaran baru, selalu saja
berjubel peminatnya. Tanah kapling dengan harga miring, walau di
pojok sana kota Jakarta, tetap menarik hati siapa saja.
Begitulah, Nopember 1965, dengan surat kepala dan nomor dinas,
Departemen Perdagangan mengumumkan penjualan tanah kapling untuk
pegawai departemen dan lingkungannya. Pengumuman dinas itu
disebarkan, lengkap dengan peta situasi tanah dan harga Rp 720
ribu per kapling dengan ukuran 240 meter persegi. Peminatnya
bukan main. Menurut Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, mereka
tak kurang dari 2500 pegawai. Semua pendaftar dan pembayaran
diterima oleh Team Urusan Tanah Kapling Karyawan Deperdag.
Pelaksanaannya secara resmi diawasi Kepala Bagian Pengawas
Keuangan Deperdag. Begitu meyakinkan, sehingga calon pemilik
petak tanah di daerah Jelambar itu sabar menunggu
bertahun-tahun. Dengan tidak khawatir suatu apa selama
bertahun-tahun panitia dihubungi untuk diminta penyelesaian
tanah mereka. Namun hingga hampir sepuluh tahun, panitia
ternyata tak dapat memenuhi kewajibannya. Padahal harga tanah di
Jelambar waktu itu sudah meningkat menjadi Rp 10 ribu semeter
persegi. Sampai sekian jauh, tak pula ada pembeli yang
mengajukan perkaranya ke pengadilan -- tentu masih berharap,
entah kapan, mereka akan mendapat petak tanah bagiannya. Tapi
tidak begitu sikap pembeli Partai bin Sastam, Suhaman Suganda,
Tan Tek Hian dan Jahya. Karyawan PN Aduma Niaga II ini, bulan
Nopember 1974, lewat LBH mengajukan gugatan ke pengadilan.
Mereka merasa sangat dirugikan. Seharusnya mereka telah dapat
mengambil manfaat dari tanah tersebut, setelah bertahun-tahun
menyerahkan uang mereka.
Surat- Kepala
Dalam jawabannya Deperdag menolak tanggung jawab yang
dituntutkan keempat penggugat. Dinyatakannya kepada hakim bahwa,
ggasan untuk membeli kapling itu timbul dari para pegawai
sendiri yang disponsori oleh Sunarjono (salah seorang pejabat
Deperdag). Karena itu pelaksanaannya di luar Anggaran Belanja
Deperdag, karena segala sesuatunya dilaksanakan secara gotong
royong dengan uang para pegawai sendiri dan untuk kepentingan
pegawai itu sendiri. Bahwa surat kepala, nomor surat dinas,
stempel dan kwitansi depertemen, memang digunakan oleh panitia,
namun tanpa hak semestlnya. Diakui oleh Departemen, tingkah
Sunarjono ini memang brengsek: membeli tanah langsung dari
tangan rakyat, dengan mengabaikan pemerintah DKI, sehingga
mendapat kesulitan di dalam memperoleh izin. Juga tidak mengatur
keuangan semestinya, sehingga keadaan keuangan menjadi kusut dan
soal tanah menjadi ruwet. Tentu saja berikutnya soal tanah
kapling ini jadi heboh. Departemen telah bertindak tegas:
pejabat ini diskor dan dirumahkan hingga sekarang. Ia dinyatakan
telah menyalahgunakan jabatannya, sebagai Sekretaris Umum
Perdagangan Dalam Negeri yang mestinya tidak harus mengurus soal
tanah segala. Sehingga, oleh karena itu, apa-apa yang dikerjakan
Sunarjono menjadi tanggung- jawabnya pribadi yang tidak
menyangkut nama Departemen.
Hakim Soekendro Asmoro, yang memutus perkara ini pertengahan
tahun lalu, menilai lain. Dari tidak kurang tujuh surat bukti
yang ada, ternyata surat-surat mengenai kapling itu adalah surat
dinas untuk-dan atas nama Deperdag. Selain surat kepala, nomor
dinas dan stempel, surat-surat itu juga ditandatangani oleh
sekian pejabat aktif Deperdag. Dan layaklah hakim memutuskan
untuk mengabulkan gugatan para penggugat. Di samping tanah harus
dihargai Rp 10 ribu semeter persegi, dengan bunga 6% setahun,
maka jika Departemen lalai memenuhi kewajibannya harus dipaksa
membayar Rp 100 ribu setiap hari. Keputusan itu dapat
dilaksanakan lebih dulu, walaupun tergugat menyatakan naik
banding atau kasasi.
Sepetak Tanah
Walaupun menang berperkara, tampaknya nasib para penggugat ini
belum terlalu baik. Deperdag mengajukan permohonan ke Pengadilan
Tinggi Jakarta agar pelaksanaan keputusan itu ditunda dulu.
Alasannya: jika keputusan pengadilan itu dilaksanakan, maka
Deperdag nantinya juga harus melayani tuntutan Rp 2,5 milyar
dari 2500 orang pembeli kapling lain yang dirugikan oleh
panitia. "Demi terlindungnya uang negara dan kewibawaan
pemerintah, begitu surat permohonan yang ditandatangani oleh
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, kami mohon bantuan
Saudara dapat kiranya mengusahakan pencegahan/penangguhan
pelaksanaan putusan pengadaan tersebut. Pengadaan Tinggi Jakarta
telah memenuhi permintaan ini. Dan hingga saat ini, sampai
menyusul disiapkannya gugatan 65 orang yang lain (pembeli
kapling yang dirugikan lainnya entah kapan menyusul), belum ada
keputusan pengadilan lain yang menentukan nasib calon pemilik
sepetak tanah itu.
Surat LBH kepada Pengadaan Tinggi, yang ditandatangani oleh
Pembela M. Assegaf SH, minta agar putusan pengadaan tetap
daaksanakan. Pemerintah sebagai subjek hukum, seperti halnya
rakyat, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang,
katanya. Dan justru ditaatinya putusan pengadilan oleh
pemerintah, akan lebah menunjukkan bahwa prinsip kesamaan hak
sangat dijunjung tinggi dan dihormati oleh pemerintah sendiri.
Dengan begitu malahan akan menaikkan kewibawaan pemerintah,
bukan sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh Kepala Biro
Hukum Deperdag.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini