Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kapling, Hati-Hati

Depdag, oleh pengadilan, diperintahkan membayar ganti rugi Rp 9,6 juta kepada 4 pegawai PN Aduma Niaga II, karena tak menempati janji dalam jual beli tanah. pengadilan tinggi menunda putusan tersebut.

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN tahun lalu Departemen Perdagangan telah dikalahkan perkaranya oleh Pengadilan Negeri, atas gugatan 4 orang pegawai PN Adumaning II. Pengadilan memerintahkan agar Deperdag membayar ganti rugi kepada pra penggugat sebesar Rp 9,6 juta. Departemen ini dinyatakan bersalah karena telah menerima sejumlah uang dari para penggugat, tapi tak pernah menyerahkan tanah-tanah kapling yang dijanjikannya. Belum lagi beres pelaksanaan ganti rugi ini -- karena pihak departemen minta penundaan dan menyatakan naik banding sekarang sudah ada 65 orang lain menandatangani surat kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum untuk mengajukan gugatan baru. LBH juga sudah menyiapkan surat gugatan, jika pihak Deperdag enggan menyelesaikan urusan kapling itu di luar pengadilan. Tahun 1965 di sana sini banyak dibentuk panitia -- atau yayasan yang menawar-nawarkan tanah kapling. Walaupun telah terbukti banyak panitia atau yayasan bermodal dengkul untuk menipu pembeli, namun pada setiap dibuka pendaftaran baru, selalu saja berjubel peminatnya. Tanah kapling dengan harga miring, walau di pojok sana kota Jakarta, tetap menarik hati siapa saja. Begitulah, Nopember 1965, dengan surat kepala dan nomor dinas, Departemen Perdagangan mengumumkan penjualan tanah kapling untuk pegawai departemen dan lingkungannya. Pengumuman dinas itu disebarkan, lengkap dengan peta situasi tanah dan harga Rp 720 ribu per kapling dengan ukuran 240 meter persegi. Peminatnya bukan main. Menurut Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, mereka tak kurang dari 2500 pegawai. Semua pendaftar dan pembayaran diterima oleh Team Urusan Tanah Kapling Karyawan Deperdag. Pelaksanaannya secara resmi diawasi Kepala Bagian Pengawas Keuangan Deperdag. Begitu meyakinkan, sehingga calon pemilik petak tanah di daerah Jelambar itu sabar menunggu bertahun-tahun. Dengan tidak khawatir suatu apa selama bertahun-tahun panitia dihubungi untuk diminta penyelesaian tanah mereka. Namun hingga hampir sepuluh tahun, panitia ternyata tak dapat memenuhi kewajibannya. Padahal harga tanah di Jelambar waktu itu sudah meningkat menjadi Rp 10 ribu semeter persegi. Sampai sekian jauh, tak pula ada pembeli yang mengajukan perkaranya ke pengadilan -- tentu masih berharap, entah kapan, mereka akan mendapat petak tanah bagiannya. Tapi tidak begitu sikap pembeli Partai bin Sastam, Suhaman Suganda, Tan Tek Hian dan Jahya. Karyawan PN Aduma Niaga II ini, bulan Nopember 1974, lewat LBH mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka merasa sangat dirugikan. Seharusnya mereka telah dapat mengambil manfaat dari tanah tersebut, setelah bertahun-tahun menyerahkan uang mereka. Surat- Kepala Dalam jawabannya Deperdag menolak tanggung jawab yang dituntutkan keempat penggugat. Dinyatakannya kepada hakim bahwa, ggasan untuk membeli kapling itu timbul dari para pegawai sendiri yang disponsori oleh Sunarjono (salah seorang pejabat Deperdag). Karena itu pelaksanaannya di luar Anggaran Belanja Deperdag, karena segala sesuatunya dilaksanakan secara gotong royong dengan uang para pegawai sendiri dan untuk kepentingan pegawai itu sendiri. Bahwa surat kepala, nomor surat dinas, stempel dan kwitansi depertemen, memang digunakan oleh panitia, namun tanpa hak semestlnya. Diakui oleh Departemen, tingkah Sunarjono ini memang brengsek: membeli tanah langsung dari tangan rakyat, dengan mengabaikan pemerintah DKI, sehingga mendapat kesulitan di dalam memperoleh izin. Juga tidak mengatur keuangan semestinya, sehingga keadaan keuangan menjadi kusut dan soal tanah menjadi ruwet. Tentu saja berikutnya soal tanah kapling ini jadi heboh. Departemen telah bertindak tegas: pejabat ini diskor dan dirumahkan hingga sekarang. Ia dinyatakan telah menyalahgunakan jabatannya, sebagai Sekretaris Umum Perdagangan Dalam Negeri yang mestinya tidak harus mengurus soal tanah segala. Sehingga, oleh karena itu, apa-apa yang dikerjakan Sunarjono menjadi tanggung- jawabnya pribadi yang tidak menyangkut nama Departemen. Hakim Soekendro Asmoro, yang memutus perkara ini pertengahan tahun lalu, menilai lain. Dari tidak kurang tujuh surat bukti yang ada, ternyata surat-surat mengenai kapling itu adalah surat dinas untuk-dan atas nama Deperdag. Selain surat kepala, nomor dinas dan stempel, surat-surat itu juga ditandatangani oleh sekian pejabat aktif Deperdag. Dan layaklah hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat. Di samping tanah harus dihargai Rp 10 ribu semeter persegi, dengan bunga 6% setahun, maka jika Departemen lalai memenuhi kewajibannya harus dipaksa membayar Rp 100 ribu setiap hari. Keputusan itu dapat dilaksanakan lebih dulu, walaupun tergugat menyatakan naik banding atau kasasi. Sepetak Tanah Walaupun menang berperkara, tampaknya nasib para penggugat ini belum terlalu baik. Deperdag mengajukan permohonan ke Pengadilan Tinggi Jakarta agar pelaksanaan keputusan itu ditunda dulu. Alasannya: jika keputusan pengadilan itu dilaksanakan, maka Deperdag nantinya juga harus melayani tuntutan Rp 2,5 milyar dari 2500 orang pembeli kapling lain yang dirugikan oleh panitia. "Demi terlindungnya uang negara dan kewibawaan pemerintah, begitu surat permohonan yang ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, kami mohon bantuan Saudara dapat kiranya mengusahakan pencegahan/penangguhan pelaksanaan putusan pengadaan tersebut. Pengadaan Tinggi Jakarta telah memenuhi permintaan ini. Dan hingga saat ini, sampai menyusul disiapkannya gugatan 65 orang yang lain (pembeli kapling yang dirugikan lainnya entah kapan menyusul), belum ada keputusan pengadilan lain yang menentukan nasib calon pemilik sepetak tanah itu. Surat LBH kepada Pengadaan Tinggi, yang ditandatangani oleh Pembela M. Assegaf SH, minta agar putusan pengadaan tetap daaksanakan. Pemerintah sebagai subjek hukum, seperti halnya rakyat, mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang, katanya. Dan justru ditaatinya putusan pengadilan oleh pemerintah, akan lebah menunjukkan bahwa prinsip kesamaan hak sangat dijunjung tinggi dan dihormati oleh pemerintah sendiri. Dengan begitu malahan akan menaikkan kewibawaan pemerintah, bukan sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh Kepala Biro Hukum Deperdag.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus