KEPUTUSAN pemerintah di bidang perdagangan ternyata sering mengundang kejahatan ekonomi. Buktinya, Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang tata niaga kayu, yang berlaku 1 November 1989 itu, yang menaikkan pajak ekspor (PE) kayu olahan berlipat ganda -- untuk merangsang industri mebel di dalam negeri -- ternyata mengundang penyelundupan kayu. Tepat pada saat keputusan itu diberlakukan, sebuah percobaan penyelundupan kayu olahan 15 ribu meter kubik seharga Rp 11,6 milyar di Palembang digulung polisi. Dalam sejarah penyelundupan kayu tahun ini, inilah yang terbesar. Sampai kini, 28 eksportir kayu di Palembang masih diperiksa Tim Penanggulangan Pengawasan dan Pemberantasan Penyelundupan Daerah (TP4D). Menjelang berlakunya SK itu, pada 27 hingga 31 Oktober lalu, beberapa eksportir di Palembang memang sibuk mengapalkan kayunya. Sasaran mereka, pokoknya kayu naik dulu ke kapal sebelum 1 November, sehingga terhindar dari pajak ekspor baru. Rupanya, kiat ini dicium Polda Riau. Tepat tanggal 1 November itu Polda Riau dan TP4D melakukan penggerebekan. Sekitar 15.30, tim menuju sasaran: kapal MV Amarta II yang tengah memuat kayu di luar daerah pabean, di perairan Pulau Borang, sekitar 70 km dari Pelabuhan Palembang. Saat digerebek itu, terlihat tongkang-tongkang tengah memasukkan kayu ke dalam palka. Setumpuk kayu lainnya menunggu di tongkang yang lain. MV Amarta II segera digiring petugas ke dermaga Pelabuhan Boom Baru Palembang. Pada waktu yang bersamaan, di Pelabuhan Palembang, TP4D juga menahan keberangkatan kapal MV Nancy T dan MV Banglar Boot, yang tinggal menarik sauh untuk segera berlayar menuju Jepang. Muatan ketiga kapal itu dibongkar dan digelar di "kade" Pelabuhan Palembang yang luasnya 3,5 hektar. Jelaslah kiat penyelundupan ini. Di MV Nancy T yang berbobot mati lebih dari 6.000 dwt itu, sekadar contoh, ditemukan 5 ribu meter kubik kayu olahan dalam palkanya. Padahal, yang tertera dalam Laporan Kebenaran Pemeriksaan Barang Ekspor (LKPBE), yang dikeluarkan Sucofindo sebagai aparat pemeriksa barang ekspor, hanya 2.895 m3. Manipulasi dalam hal jumlah saja sudah merugikan negara sekitar Rp 1,2 milyar. Ditambah lagi manipulasi soal jenis kayu, sebesar Rp 1,4 milyar. Ada lagi pemalsuan soal standardisasi kayu. Misalnya, dalam dokumen disebutkan, yang diekspor adalah kayu setengah jadi (base moulding), tapi nyatanya adalah kayu gergajian (sawn timber). Pemalsuan jenis ini merugikan negara Rp 2,4 milyar. Masih ada pemalsuan pajak ekspor lainnya yang seluruhnya merugikan negara Rp 6,12 milyar. Toh P4D tak bertindak gegabah. "Tidak semua kayu itu terlibat penyelundupan. Perlu dipilah-pilah dulu, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun jenisnya," ujar Ketua Tim P4D Adjad Soedradjat, yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi Sum-Sel itu. Tudingan penyelundupan segera menimpa aparat Sucofindo. Tapi, menurut Kepala Cabang PT Sucofindo Palembang Muhammad Sunarwan, pihaknya telah melakukan pengecekan secara acak atas dasar PPBE yang diajukan eksportir kayu. Misalnya, untuk 625 bundel kayu, yang diperiksa hanya 25 bundel. "Ini kelaziman yang berlaku di perdagangan nasional," tutur Sunarwan. Maksudnya tentu untuk mempercepat arus barang dan perdagangan. Sunarwan menduga, manipulasi terjadi setelah pemeriksaan selesai dan kapal menunggu saat berlayar. Karena biasanya ada tenggang waktu sehari sampai dua hari. Ketika itu, "Seribu satu kemungkinan bisa terjadi," katanya lagi. Akan tetapi, Sunarwan tak menutup kemungkinan ada orang Sucofindo "main mata". Melihat motifnya, agaknya permainan terjadi antara pihak eksportir dan oknum di dalam instansi yang mengurusi ekspor kayu. Sebuah sumber TEMPO menyebutkan, pihak berwajib kini memeriksa oknum dari Sucofindo dan pihak ekspedisi muatan kapal laut (EMKL). Direktur Reserse Mabes Polri Brigjen. Pol. Koesparmono Irsan, yang kini sibuk menangani kasus ini, mengatakan, "Motifnya jelas manipulasi pajak ekspor."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini