Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Eksklusif dengan serat pisang

Kain dari serat pelepah pisang terbukti lebih unggul dari serat kapas. eksperimen aswanto, lantaran ia ingin memanfaatkan limbah batang pisang. bila dipadu dengan benang kapas, bisa enak dipakai.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA lembar kain batik bermotif jumputan tergantung di ruang kerja Aswanto Subagyo, Direktur LPK (Lembaga Pendidikan Keterampilan) Studi Bina Artha, Yogya. Lembaran batik itu berwarna dasar biru, merah, atau hitam, dengan bulatan-bulatan warna putih yang berkilau bak sutera. Penggarapan batik yang istimewa? "Tidak, yang istimewa kainnya," tutur Aswanto, 36 tahun, sembari tersenyum. Dia membuat batik jumputan itu bukan dari kain biasa, melainkan dari tenunan serat pisang. Dibandingkan dengan kain-kain mori biasa, hasil tenunan benang kapas, kata Aswanto, "Kain serat pisang tidak kalah mutunya." Lembaran kain serat pisang ini, konon, tak gampang kusut. Tenunannya pun halus dan kuat, benang-benangnya tak mudah rontok kendati dicuci berulang-ulang. Warnanya pun tak gampang pudar. "Pokoknya, ditanggung tidak luntur," kata Aswanto. Aswanto mengaku telah jatuh hati terhadap serat pisang sejak dia masih duduk sebagai mahasiswa teknologi tekstil, Fakultas Teknis Industri (FTI) UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogya, 1980. Sejak itulah, dia mulai belajar menyerut serat batang pisang dan menenunnya di bengkel sekolahnya. Serat pisang ini dia pilih sebagai material kain, lantaran dia ingin memanfaatkan limbah batang pisang itu. "Daripada dibiarkan membusuk di kebun," ujarnya. Untuk skripsi di fakultasnya, dia pun menggarap serat pisang itu. Anak jeron benteng Yogya itu lulus pada 1984, dan langsung bekerja sebagai dosen di almamaternya. Tahun itu juga, dia dikirim belajar ke Universitas New South Wales, Australia, untuk mengambil gelar master, dan lulus pada 1987. Sepulang dari negeri Kanguru, kerinduannya terhadap serat pisang itu kembali muncul. Lalu, eksperimen pun kembali dia lakukan. Hasilnya kini tampak. Untuk memperoleh serat itu, dia memotong limbah batang pisang sepanjang dua meter. Lalu, lima pelepah terluar yang berwarna kehijauan dibuang, lantaran seratnya bermutu rendah. Pelepah bagian dalam, yang putih kekuninganlah yang dimanfaatkan. Aswanto memanen serat-serat dari pelepah pisang itu secara tradisional. Mula-mula, pelepah batang pisang diserut dengan garpu dari seng. Setelah itu, diperolehlah serat-serat yang berdempetan. Untuk memisahkannya, Aswanto merendamnya ke dalam larutan KOH atau NH4 (OH), berkadar 20-27%. Lewat perendaman itu akan diperoleh serat-serat putih berdiameter 110-130 mikron (0,11-0,13 mm), setebal benang jahit. Pengeringan pun cukup diangin-angin saja, tak usah dipanggang dengan sinar matahari, nanti malah mudah putus. "Yang bagus, pengeringan pada suhu 27 derajat Celsius," tutur Aswanto. Tak banyak memang serat yang bisa diberikan oleh batang pisang. Maklum, menurut analisa lab. Aswanto, bagian terbesar komponen pelepah pisang itu berupa air (92,5%). Maka, dari sebatang pohon pisang bergaris tengah 35-40 cm, hanya bisa diperoleh serat kering 1,2 kg, yang bisa memberikan 7-9 meter kain. Aswanto telah pula menguji mutu kain pisangnya di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik, Yogya. Pada tes keawetan warna, kain tadi memperoleh skor 3-4, yang berarti tak mudah pudar. Hasil tes pencucian pun bagus, dengan skor 4, artinya kain itu tak mudah menjadi belel. Pun warna pada kain, pada pengujian itu, terbukti tak gampang meluntur kendati sering dibasahi keringat. Uji kekuatan pun dilakukan dengan membuat tes penarikan serat dari dua arah. Penarikan serat yang berposisi membujur (searah) dengan panjang kain disebut lusi, sedangkan yang melintang disebut pakan. Tarikan lusi pada serat pisang kepok memerlukan tenaga 49 kg, pada pisang kluthuk (batu) 47 kg, dan pisang klijang 42 kg. Sementara itu, tarikan pakan pada kain serat pisang kepok membutuhkan tenaga 23 kg, serat kluthuk 18 kg, dan klijang 30 kg. Kekuatan serat pisang ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kain dari benang kapas, yang hanya memberi tarikan lusi sebesar 26 kg dan pakan 18 kg. Elastisitas kain serat pisang itu tercatat antara 4,5% untuk lusi dan 1,2% untuk arah pakan. Oleh Aswanto dibuktikan bahwa kain serat pisang itu tak mudah kusut. Jika ujungnya dilipat, lalu ditindas dengan jari, kain cenderung akan kembali membuka. Jika yang dilipat itu kain serat kepok, maka begitu tindasan jari dilepas, kain tadi akan mekar lagi dan membentuk sudut 126 derajat (lusi). Sedangkan pada kain serat pisang kluthuk dan klijang bersudut 120 derajat dan 129 derajat. Angka tersebut lebih baik dibandingkan dengan kain kapas yang memberikan sudut lipatan 77 derajat. Kain serat pisang ini, "Cocok untuk busana eksklusif," kata Aswanto, yakin. Kendati tak pernah menguji secara lab, produksi kain serat itu telah dilakukan oleh A. Kadir, pengusaha tekstil dari Pekalongan, Jawa Tengah. Seperti halnya Aswanto, Kadir juga mulai mencoba menenun kain serat pisang pada awal 1980-an, dengan merek perusahaannya, Ridaka. Namun, produksi besar-besaran kain serat pisang itu ternyata kurang menguntungkan. "Sekarang, kami hanya memproduksi kalau ada order," ujarnya. Order itu sering datang dari Jepang. Namun, tak kencang sepanjang tahun. "Sebab, di sana kain produksi kami hanya dipakai untuk upacara adat," tuturnya. Berbeda pula dengan Aswanto, Kadir lebih menyukai pelepah daun pisang utuk produksi kainnya. "Lebih halus," ujarnya. Menurut pengalaman Kadir, kain serat pisang ini juga masih kurang bagus untuk dipakai sebagai gaun wanita. Sebab, gaun akan terkesan kaku, enggan menempel jatuh ke tubuh pemakainya. Maka Kadir lebih suka menjadikan serat pisang ini sebagai bahan gordin, taplak meja, hiasan dinding, atau bahan kerajinan tangan lain. Tapi Aswanto punya kiat untuk memaksa serat pisang itu menyatu dengan tubuh pemakainya "Tinggal mengkombinasikan benang kapas dengan serat pisang," ujarnya. PTH dan I Made Suarjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus