Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Main Pecat Polisi Homoseksual

Seorang anggota kepolisian di Jawa Tengah dipecat karena terbukti menyukai sesama jenis. Dasar hukum pemecatan tidak kuat.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang gugatan Brigadir TT di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, Kamis, 16 Mei 2019./ TEMPO/AHMAD RAFIQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang itu berlangsung singkat, hanya lima belas menit. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dan tim penasihat hukum penggugat bersepakat melewatkan pembacaan replik pada Kamis, 16 Mei lalu. Sang penggugat, Brigadir Polisi TT atau sebut saja namanya Tri, duduk di barisan kedua kursi -pengunjung. Setelah persidangan keenam perkara gugatannya kelar, Tri beranjak ke luar ruang sidang.

Melalui jalur PTUN, Tri menggugat surat keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Condro Kirono pada 27 Desember 2018. Tri adalah mantan polisi dengan pangkat terakhir brigadir. -Sebelum dipecat, ia adalah polisi yang bertugas di Subdirektorat Wisata Direktorat Pengamanan Objek Vital Polda Jawa -Te-ngah.

Surat yang diteken Kepala Sumber Daya Manusia Polda Jawa Tengah itu berisi pemecatan secara tidak hormat Tri karena dituduh menyukai sesama jenis atau homoseksual. Surat juga ditembuskan kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan petinggi polisi di Jakarta. Tri mengaku memiliki orientasi seksual berbeda sejak sepuluh tahun lalu. “Semula tidak ada yang mengetahui tentang orientasi seksual saya,” kata Tri kepada Tempo seusai persidangan.

Saat menjalani sidang Komisi Kode Etik pada pertengahan 2017, pria 30 tahun itu blakblakan mengenai orientasi seksualnya tersebut. Tri tak terima karena pengakuannya itu justru berujung pada pemecatan. “Kepolisian memecatnya dengan sewenang-wenang,” ujar penasihat hukum Tri dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ma’ruf Bajammal, Senin, 20 Mei lalu.

Komisi Kode Etik Polda Jawa Tengah menganggap Tri melanggar Pasal 7 ayat 1 huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Ketentuan ini mengatur norma susila, bukan soal orientasi seksual. Komisi mengeluarkan surat rekomendasi pemberhentian secara tidak hormat kepada Tri pada 18 Oktober 2017.

Tri mengajukan permohonan banding. Pada Mei 2018, surat banding itu ditolak. Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Condro Kirono kemudian mengeluarkan surat pemecatan berdasarkan rekomendasi itu pada 27 Desember 2018.

Sebelum dipecat, Tri pernah ditangkap dan menjalani berbagai pemeriksaan. Personel Kepolisian Resor Kudus menangkap Tri di pelataran parkir salah satu rumah sakit swasta di Kudus pada 14 November 2017. Saat itu, ia hendak merayakan hari valen-tine bersama pasangannya, seorang dokter berinisial WS.

Tri sempat beradu mulut dengan anggota tim polisi yang akan membawanya ke Polres Kudus. Mereka, kata Tri, tak membawa surat tugas. Ia akhirnya mengalah karena menghormati para polisi berpangkat lebih tinggi yang akan membawanya ke Polres Kudus.

Tri menduga sudah lama dibuntuti. Setelah bertemu dengan WS, Tri ditangkap dan diboyong sejumlah polisi ke Polres Kudus atas tuduhan yang dianggap tak masuk akal. “Mereka menangkap saya karena dituduh memeras pasangan saya (WS),” ucap Tri. Tuduhan pemerasan itu tak terbukti. WS membantah menjadi korban pemerasan. Namun Tri tetap diproses berdasarkan temuan kondom dan tisu basah yang ada di dalam mobilnya.

Pemeriksaan Tri dilimpahkan ke -Polda Ja--wa Tengah. Polisi memeriksa dia -dengan pelbagai tuduhan. Salah satunya penyalahgunaan narkotik. Tri menjalani tes urine dan hasilnya negatif narkotik. Setelah itu, ia menjalani pemeriksaan di Komisi Kode Etik. Tri mengatakan baru menerima informasi sidang tersebut sehari sebelum pelaksanaan sidang perdana 18 Oktober 2017. Ia tak pernah membantah saat disebut menyukai sesama jenis selama proses pemeriksaan itu.


Tri mengajukan permohonan banding. Pada Mei 2018, surat banding itu ditolak. Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Condro Kirono kemudian mengeluarkan surat peme­catan berdasarkan rekomendasi itu pada 27 Desember 2018.


Tri mengaku menyimpan rapat rasa ketertarikannya kepada sesama pria selama bertugas di Korps Bhayangkara. Ia bertugas sejak 4 Desember 2008 sebagai anggota Samapta Bhayangkara Polda Jawa Te-ngah. Dorongan orang tua dan keinginannya mengabdi kepada masyarakat memutuskan Tri muda mendaftar sebagai -calon bintara kepolisian. “Tugas dan kewajiban saya sebagai polisi tak terganggu sedikit pun dengan orientasi seksual saya,” katanya. Belakangan, setelah rahasianya ter-ungkap, Tri kerap mengalami perundung-an dari sesama teman profesinya.

Tri tak pernah bermasalah dalam pekerjaan. Salinan pemeriksaan Komisi Kode Etik turut mencantumkan kesaksian atasan Tri. Polisi berpangkat komisaris itu tak menyadari Tri menyukai pria. Tri dikenal sebagai penyendiri, tapi ia tak pernah memiliki catatan merah dalam melaksanakan tugas. Itu sebabnya, kata Ma’ruf Bajammal, karier Tri di kepolisian moncer. “Ia tak pernah sekali pun mengalami penundaan pangkat,” ucap Ma’ruf.

Dalam pemeriksaan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Tengah, Tri menceritakan pengalaman pertama berhubungan dengan laki-laki. Ia sering sakit pada awal bertugas sebagai polisi. Ia berobat kepada seorang paranormal, yang kemudian menyetubuhinya. Tri menyimpan kecenderungan orientasi seksual itu bertahun-tahun dari keluarga. Ia mulai terbuka kepada keluarga sejak dipecat dari kepolisian. “Awalnya keluarga kaget, tapi akhirnya menerima saya apa adanya,” kata Tri.

Kepolisian tetap menolak Tri. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, setiap anggota kepolisian harus mematuhi norma kesopanan dan agama seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Meski aturan itu tak mencantumkan soal orientasi seksual, Dedi mengatakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) bertentangan dengan norma agama dan kesopanan. Ia meyakini negara belum mengakui LGBT secara yuridis. “Ini menyiratkan bahwa anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual,” ujar Dedi kepada wartawan, Jumat, 17 Mei lalu.

Selain karena persoalan LGBT, kata Dedi, Brigadir Tri dipecat lantaran pernah melakukan desersi ketika masih aktif menjadi polisi. “Selain melakukan perbuatan tercela, ia pernah meninggalkan tugas tanpa izin ke Singapura,” ucap Dedi.

Ma’ruf Bajammal membantah tanggap-an Dedi. Tri tidak pernah melakukan desersi. Tuduhan ini pun tidak pernah muncul selama proses pemeriksaan internal kepolisian. Ma’ruf meyakini kepolisian tengah membangun narasi bahwa Tri melenceng dari tugas dan LGBT tidak boleh menjadi polisi. Ia tidak menemukan atur-an yang menyatakan hal itu. “Performa seorang anggota Polri seharusnya diukur dari kinerja dan integritasnya,” ujarnya.

Tri berharap majelis hakim PTUN Semarang mengabulkan gugatannya. Menurut dia, perjuangan menggugat surat keputusan itu ditujukan kepada atasannya, bukan institusi kepolisian. Ia masih mencintai profesi sebagai polisi dan memiliki harapan bisa melanjutkan karier di kepolisian. “Meski sempat kecewa lantaran peng-abdian saya selama sekitar 10 tahun sepertinya tidak ada artinya karena orientasi seksual saya,” kata pria berbadan tegap itu.

MUSTAFA SILALAHI, ANDITA RAHMA, AHMAD RAFIQ (SEMARANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus