Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak perlu berpikir panjang, Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Timur Wayan Darmawa memutuskan tak menghadiri rapat sosialisasi penerapan pariwisata halal di sebuah hotel di kawasan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Selasa, 30 April lalu. Wayan mengabaikan sepucuk undangan sosialisasi dari Kementerian Pariwisata itu. Ia juga tidak mengutus satu pun anak buahnya ke rapat tersebut. “Dari awal kami merasa tidak perlu ada label pariwisata halal. Kami tidak akan mengembangkan itu,” kata Wayan saat dihubungi, Senin, 20 Mei lalu.
Sebelum menolak konsep pariwisata halal, Wayan tahu betul bagaimana provinsi tetangga, Nusa Tenggara Barat, gencar mempromosikan branding baru berlabel halal. Wayan juga mendengar rencana pemerintah pusat menetapkan beberapa wilayah menjadi kawasan destinasi wisata halal. Beberapa daerah bahkan berinisiatif memperkenalkan konsep baru pengembangan pariwisata berbasis serba halal sesuai dengan syariat Islam.
Berbeda dengan daerah-daerah tersebut, Provinsi Nusa Tenggara Timur menolak rancangan pariwisata halal yang dikampanyekan Kementerian Pariwisata setahun terakhir. Terang saja, dari sekitar 5,3 juta jiwa penduduk Nusa Tenggara Timur, hampir 90 persen beragama Katolik dan Kristen Protestan. Sembilan persen sisanya adalah muslim dan 1 persen penganut agama Marapu, Hindu, serta Buddha. “Jadi pariwisata yang dibangun di NTT berdasarkan prinsip budaya masyarakat sini,” tutur Wayan. Karena itu, Wayan tak ingin wilayahnya disamakan dengan destinasi wisata tetangga. “Kami tidak meniru pariwisata lain. Tidak boleh berwajah lain.”
Rapat 30 April lalu adalah sosialisasi pertama Kementerian Pariwisata bersama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo untuk memperkenalkan konsep pariwisata halal kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan pemerintah Nusa Tenggara Timur. Menurut Wayan, sejumlah pejabat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat hadir. Hanya tim dari pemerintah provinsi yang tak ikut serta.
Dalam acara itu, Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Shana Fatina mengatakan konsep pariwisata halal akan mendongkrak kunjungan wisatawan di Labuan Bajo. Tanpa label halal saja, jumlah kunjungan ke Labuan Bajo meningkat dalam tiga tahun terakhir. Sepanjang 2018, lebih dari 160 ribu turis berkunjung ke sana. Mayoritas berasal dari Malaysia, Cina, dan Singapura. Sekitar 1 persen adalah pelancong asal Timur Tengah. “Wisata halal diharapkan dapat memperluas pangsa pasar Labuan Bajo, khususnya bagi wisatawan muslim,” ujar Shana.
Namun pemerintah Nusa Tenggara Timur meminta Kementerian Pariwisata dan Badan Otorita Labuan Bajo tak gegabah menetapkan kawasan Labuan Bajo dan destinasi lain di provinsi itu sebagai destinasi wisata halal. Selain latar belakang agama warga setempat yang nonmuslim, pengelompokan pariwisata dengan label halal dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan sosial. “Performa pariwisata kami universal, memberikan layanan yang dibutuhkan tidak khusus pada segmen tertentu,” ucap Wayan.
Alih-alih melakukan rebranding tentang pariwisata halal, pemerintah Nusa Tenggara Timur memilih gencar mempromosikan tujuh destinasi rekreasi unggulan di kepulauan itu.
Pemerintah Nusa Tenggara Timur menilai konsep halal hanya akan menimbulkan stigma negatif terhadap warga lokal. Sebab, dengan adanya pariwisata halal, ada pula rekreasi yang bisa disebut haram. “Pariwisata jangan timbulkan stigma itu. Kurang cantik jual keberagaman,” kata Kepala Biro Humas Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Timur Marius Jelamu saat ditemui, Senin, 20 Mei lalu.
Wayan menjelaskan, tanpa konsep halal pun selama ini pengusaha perhotelan di provinsi itu telah menerapkan beberapa prinsip penyediaan fasilitas bagi pelancong muslim. Petunjuk arah kiblat serta tempat wudu dan salat telah disediakan. Begitu juga makanan halal. Apalagi data Dinas Pariwisata pada 2017 menunjukkan tingkat keterisian kamar hotel berbintang lebih dari 54 persen. “Hotel-hotel ini tentu sudah memiliki standar pelayanan internasional untuk menyajikan yang terbaik untuk wisatawan.”
Setali tiga uang, Pemerintah Provinsi Bali menolak pengkhususan pariwisata halal di Pulau Dewata. Wacana penerapan pariwisata halal di Bali mulai berembus ketika calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno menggelar kampanye di sana. Sandiaga mempromosikan potensi pasar wisata halal yang bisa digali oleh para pelaku usaha. “Kita ingin Bali, Indonesia secara umum, mengambil potensi pariwisata yang konon di atas Rp 3.000 triliun itu,” ujar pasangan calon presiden Prabowo Subianto tersebut.
Usul ini langsung dihadang Pemerintah Provinsi Bali. Menurut Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana, Bali memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan wilayah lain. Pembangunan pariwisata, kata Tjok Oka, mesti disusun berdasarkan kekhasan alam, manusia, dan budaya. Tren pariwisata saat ini justru menawarkan pengalaman-pengalaman baru. “Diferensiasi Bali ada pada budaya Bali itu sendi
ri. Itu yang kami pertahankan,” tuturnya, Selasa, 21 Mei lalu.
Pemerintah Bali tak mau asal-asalan mencaplok konsep atau menata ulang pariwisata budaya di Bali. Dalam buku berjudul Taksu, Di Balik Pembangunan Pariwisata di Bali, Tjok menulis bahwa pengembangan obyek wisata alam dan budaya semestinya tidak mendistorsi kealamian dan nilai religiositas Bali. Lebih dari 83 persen penduduk Bali beragama Hindu. Adapun 13 persen beragama Islam, 1 persen memeluk Kristen Protestan, dan sisanya penganut Katolik, Buddha, serta Konghucu.
Para pengusaha perhotelan sebetulnya tak resistan terhadap konsep pariwisata halal yang ditawarkan pemerintah pusat. Sebagian besar konsep turisme tersebut telah mereka terapkan sebelum wacana itu berkembang. Wakil Ketua Umum Organisasi Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran menilai pemasaran pariwisata halal toh tak akan membutuhkan investasi dalam jumlah besar. “Ini soal rebranding saja untuk memperluas pasar,” ucapnya.
Alih-alih melakukan rebranding tentang pariwisata halal, pemerintah Nusa Tenggara Timur memilih gencar mempromosikan tujuh destinasi rekreasi unggulan di kepulauan itu. Destinasi ini ditawarkan untuk memberikan alternatif wisata selain Labuan Bajo dengan Pulau Komodonya. Pulau Komodo, yang pernah menyandang gelar satu dari tujuh keajaiban alam di dunia pada 2012, kini ditutup sementara untuk umum.
Pelancong tak dapat mengunjungi habitat asli komodo ini untuk setahun mendatang. Pemerintah melakukan konservasi untuk mengembalikan siklus hidup alami kadal-kadal raksasa itu setelah tingkat kunjungan turis di Taman Nasional Komodo meningkat drastis tiga tahun terakhir.
Adapun tujuh destinasi bertitel “Ring of Beauty” yang kini menjadi unggulan provinsi tersebut adalah Desa Fatumnasi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Lamalera di Kabupaten Lembata, Mulut Seribu di Kabupaten Rote Ndao, Pantai Liman di Kupang, Desa Koanara di Ende, Wolwal di Alor, dan Praimadita di Sumba Timur. “Kami punya lebih dari 500 destinasi wisata kelas dunia yang bisa menjadi pilihan,” kata Wayan Darmawa.
PUTRI ADITYOWATI, JOHN SEO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo