Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah Pilu Rasilu

Divonis 18 bulan penjara, seorang tukang becak di Ambon tak bisa menghidupi istri dan lima anaknya. Dibantu tetangga dan donasi di media sosial.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rasilu di Rumah Tahanan Kelas II Ambon, Februari 2019./Alfian Sanusi/Terasmaluku.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muncul dari balik jeruji dengan dikawal seorang sipir penjara, Rasilu langsung menyunggingkan senyum ketika melihat La Mane. Ia lantas mendekap sang kakak. Pertemuan keduanya berlangsung di ruang tunggu Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Ambon pada 16 Mei lalu. Rasilu sudah sebulan tidak bertemu dengan kakaknya sejak ia dipindahkan dari Rumah Tahanan Kelas II Ambon di kawasan Waiheru, Teluk Ambon. “Tadi saya ke rutan, tapi kata petugas di sana kamu sudah pindah ke sini,” ujar La Mane. Tempo juga hadir dalam pertemuan dua saudara itu.

Keduanya memulai pembicaraan dengan menanyakan kondisi kesehatan masing-masing. Setelah itu, Rasilu menanyakan kepada La Mane kabar istri dan lima anaknya yang menetap di Desa Lolibu, Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. La Mane memberi kabar gembira buat sang adik. Ia mengatakan keluarga Rasilu baik-baik saja. La Mane bahkan memberi tahu anak sulung Rasilu, Aisah, yang duduk di kelas III sekolah menengah pertama di Sulawesi Teng-gara baru saja selesai mengikuti ujian. “Dia lagi -nunggu kelulusan,” kata La Mane kepada adiknya.

Kabar itu membuat Rasilu sumringah. Kendati sudah sekitar setengah tahun mendekam di penjara, ia tak menyangka anak-anaknya masih bisa melanjutkan sekolah. Padahal istrinya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan tak sampai Rp 200 ribu per bulan. Rasilu lantas menanyakan siapa gerangan orang yang telah membantu keluarganya. La Mane menjawab pertanyaan itu dengan meminta sang adik tak usah khawatir terhadap kondisi keluarganya di Sulawesi Tenggara. “Semua baik-baik saja,” ujar La Mane membesarkan hati Rasilu.

Rasilu meninggalkan keluarganya untuk menjadi tukang becak di Ambon pada Agustus 2018. Ia terpaksa melakoni pekerjaan itu karena harus menghidupi lima anaknya. Istrinya, Wa Oni, sesekali membantu penghasilan keluarga menjadi tukang belah biji mete dengan penghasilan per bulan paling besar Rp 200 ribu. Semenjak merantau ke Ambon, Rasilu tinggal bersama sang kakak, La Mane.

Baru dua bulan merantau di Ambon, pria 38 tahun tersebut mendapat musibah. Nahas itu datang saat ia hendak mengantar dua penumpang, Maryam Latanda dan Noviska, ke Rumah Sakit Tentara Nasional Angkatan Darat Dr Latumeten pada Ahad malam, 23 September 2018. Maryam dan Noviska naik becak Rasilu dari kediaman mereka di Silale, Kecamatan Nusawine, Ambon. Maryam memang berencana pergi ke rumah sakit untuk mengobati asmanya yang kambuh.

Dalam kondisi sedang hujan, Rasilu mengayuh becaknya tak begitu kencang. Baru beranjak sekitar 150 meter dari titik awal atau tepat di depan Masjid Raya Al-Fatah, Ambon, kedua penumpang menyuruh Rasilu mengambil jalur kanan. Dia sebelumnya berada di jalur kiri dan kondisi jalan menurun dengan kondisi rem becaknya basah sehingga tidak berfungsi baik.

Tak mau mengecewakan penumpangnya, Rasilu segera mengarahkan becak yang dikayuhnya dari jalur kiri menuju jalur kanan. “Ketika saya mau pindah jalur, mendadak ada mobil dari arah belakang,” ujar Rasilu menceritakan peristiwa itu. “Sontak saya kaget, lalu memutar setir ke kiri, tapi becak malah terbalik.” Menurut Rasilu, setelah menyerempet becaknya, mobil itu pergi begitu saja dengan kecepat-an tinggi. Karena tak berfokus melihat mobil, ia mengaku tak mengingat jenis dan warnanya.

Warga sekitar yang melihat kejadian itu sigap menolong Rasilu dan dua penum-pangnya. Warga membawa dua penum-pang Rasilu ke rumah sakit. Adapun Rasilu memilih beristirahat sejenak di lokasi kejadian. Tak sampai satu jam, seorang anggota keluarga Maryam menjemput Rasilu di tempat itu dan membawanya ke rumah sakit tempat Maryam dan saudaranya dirawat. Lima menit setelah tiba di rumah sakit, Rasilu mendengar kabar Maryam meninggal.

Tak terima atas kematian Maryam, sejumlah saudaranya langsung menggiring Rasilu ke kantor Kepolisian Resor Ambon. Ia dilaporkan atas tuduhan telah menyebabkan seseorang meninggal. Polisi langsung menahan Rasilu. Satu pekan berselang, keluarga Maryam mencabut laporan ke polisi. Kendati bukti minim dan laporan keluarga Maryam telah dicabut, polisi tetap melanjutkan perkara dengan melimpah-kan berkas kasusnya ke kejaksaan. Selama menghadapi penyidikan polisi, Rasilu tidak mendapat pendampingan dari pengacara.


“Saksi sudah bicara di sidang dan memberikan surat pernyataan berdamai kepada hakim, tapi saya masih dipenjara,” ujar Rasilu. Awal Maret lalu, majelis hakim menghukum Rasilu 18 bulan penjara.


Rasilu baru mendapat pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Maluku Indonesia saat berkas perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Ambon. Kuasa hukum yang mendampingi Rasilu, Neles Latuny, mengatakan sudah melobi polisi agar membebaskan kliennya karena ada kesepakatan damai dengan keluarga korban. “Tapi polisi tidak mau. Kami disuruh ke kejaksaan,” kata Neles.

Pada saat persidangan, majelis hakim tak menggubris kesepakatan damai kedua pihak. Hakim hanya mempertimbangkan kesepakatan itu sebagai hal yang meringankan hukuman. “Saksi sudah bicara di sidang dan memberikan surat pernyataan berdamai kepada hakim, tapi saya masih dipenjara,” ujar Rasilu. Awal Maret lalu, majelis hakim menghukum Rasilu 18 bulan penjara.

Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Ambon Inspektur Satu Fiat Ari Suhada mengatakan pengusutan kasus kecelakaan lalu lintas hingga menyebabkan korban mening-gal sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 5 Tahun 2012. Menurut dia, surat pernyataan damai dari keluarga tidak menggugurkan tuntutan pidana. “Tu-gas kami sampai pada tahap P21 (berkas lengkap) dan tahap kedua menyerahkan barang bukti serta tersangka ke kejaksaan,” ucap Fiat.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Ambon Herry Setiabudi menyatakan putusan terhadap Rasilu sudah sesuai dengan fakta persidangan. Hal-hal yang meringankan Rasilu, kata dia, adalah belum pernah dihukum, bersikap baik dan sopan, menyesali perbuatannya, serta ada kesepakatan damai antara Rasilu dan keluarga korban. “Sesuai dengan fakta persidangan, majelis hakim menimbang si Rasilu ini baik,” ujar Herry.

Mendengar vonis ini, Rasilu langsung terisak. Ia seketika teringat nasib istri dan lima anaknya. Rasilu tak bisa membayangkan bagaimana istri dan anaknya hidup tanpa kiriman uang darinya. Semenjak Rasilu beperkara dengan polisi, keluarganya hanya mengandalkan belas kasihan tetangga. Bahkan tiga anaknya saat ini terancam tak bisa bersekolah. Rasilu teringat salah satu anaknya sempat menghubunginya lewat telepon sang kakak. “Ia bilang kepada saya mau berhenti sekolah untuk membantu ibu mencari biaya buat adik-adiknya yang masih kecil. Saya kalau mengingat itu langsung menangis,” katanya.

Pemberitaan tentang kasus Rasilu dan nasib anak-anaknya menjadi bahan perbin-cangan di media sosial. Awal Maret lalu, situs donasi online Kitabisa.com berhasil menggalang dana untuk Rasilu sebesar Rp 700 juta, terutama buat pendidikan anak-anaknya. Setelah adanya penggalangan dana ini, Rasilu bisa bernapas lega. Di penjara, ia menghabiskan hari-harinya dengan berkebun di lahan-lahan kosong yang ada di sana.

LINDA TRIANITA, RERE KHAIRIYAH (AMBON)

 


 

Berkah untuk Aisah

Kisah Aisah yang dimuat -sejumlah portal berita nasional membetot perhatian penghuni media sosial pada pertengahan Februari lalu. Remaja 14 tahun itu dikabarkan terancam tak bisa mengikuti ujian akhir nasional sekolah menengah pertama di Sulawesi Tenggara. Musababnya, kiriman uang dari bapaknya di Ambon tak lagi mengalir semenjak akhir 2018.

Bapaknya tak lain adalah Rasilu. Dia tukang becak yang masuk bui karena membawa dua penumpang dan kemudian salah satu dari mereka meninggal. Polisi menyeretnya ke pengadilan kendati keluarga korban sudah mencabut laporan. Ketika Rasilu divonis 18 bulan penjara atas kasus itu pada awal Maret lalu, media nasional dan Ambon kemudian memberitakan nasib istri dan lima anaknya jika Rasilu dipenjara. Salah satu pemberitaan soal Aisah.

Cerita keluarga Rasilu ini mengundang keprihatinan warganet. Bahkan pengga-langan dana mulai dilakukan pada hari ketika majelis hakim membacakan vonis untuk Rasilu, melalui platform Kitabisa.com. Dibuka sejak 18 Februari 2019, donasi untuk Rasilu ini targetnya Rp 500 juta. Tak sampai dua pekan setelah dibuka, penggalangan dana untuk Rasilu dan keluarganya sudah terkumpul melampaui target, yakni Rp 736,5 juta.

Aisah saat belajar di sekolah di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara./ Irfan Adi Saputra/KUMPARAN.COM

Public Relations Manager Kitabisa, Alvi Anugerah, mengatakan antusiasme masyarakat dalam kampanye penggalangan dana untuk Aisah terbilang tinggi dibandingkan dengan isu lain yang viral di masyarakat. Biasanya kampanye donasi yang isunya viral di publik atau media sosial, kata dia, hanya mencapai Rp 400-an juta.

Menurut Alvi, sebagian donasi dari publik itu sudah diserahkan langsung kepada keluarga Rasilu. “Ada juga uang yang masih belum dicairkan Kitabisa.com karena ada beberapa alokasi biaya yang tidak bisa dikasih cash kepada keluarga korban,” ujar Alvi saat dihubungi, Senin, 20 Mei lalu.

Alvi mengatakan sebagian dana ini harus dikelola pihak ketiga untuk memastikan kegunaannya tepat sasaran. Setelah Aisah lulus dari SMP tahun ini, tim Kitabisa akan menyekolahkannya ke jenjang berikutnya di salah satu boarding school favorit di Makassar. Sekolah ini mempunyai program pertukaran siswa dengan Australia. “Uang donasi sebanyak ini bisa dimanfaatkan untuk masa depan anak-anak Pak Rasilu, terutama lewat Aisah,” ucapnya. “Makanya investasi di pendidikan dialokasikan yang paling besar.”

Selain penggalangan dana lewat platform Kitabisa, ada orga-ni-sasi ataupun individu yang menyerahkan bantuan secara langsung kepada istri Rasilu, Wa Oni. Ibu lima anak ini sempat tak percaya dan bingung soal bantuan yang ditujukan kepada keluarganya. Awalnya ia tak tahu-menahu soal kampanye dona-si ini hingga ada sejumlah orang yang datang ke kediamannya untuk menyerahkan uang secara langsung. Selain diserahkan ke rumah, bantuan ditransfer lewat rekening bank milik kakaknya.

Wa Oni akan menggunakan sumbangan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah keempat anaknya. Selama Rasilu di penjara, Wa Oni-lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dalam sebulan, ia hanya mampu mengantongi Rp 200 ribu dari pekerjaan membelah jambu mete.

Penghasilan tersebut tentu sangat kurang bagi Wa Oni. Putri pertamanya, Aisah, harus mendaftar sekolah menengah atas tahun ini. Anak keduanya, Anggun, naik kelas III sekolah menengah pertama di Wamolu, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah.

Wa Oni sedang berpikir membeli sepeda motor bekas dari sebagian uang donasi itu. Kendaraan roda dua ini rencananya untuk mengantarkan anak-anak ke sekolah. “Jarak tempuh menuju sekolah cukup jauh. Jika tak jalan kaki, mereka sering menumpang mobil yang kebetulan lewat di desa,” ujarnya.

Mendapat bantuan hingga ratusan juta rupiah tak lantas membuat Wa Oni tenang. Kabar bantuan mencapai Rp 700 juta ini terdengar ke seantero kampung. Orang-orang kampung banyak yang menanyakan duit ratusan juta ini. “Saya malu. Kalau jalan ditanyai terus soal uang itu, ‘Sudah cair?’ Saya jawab saja, ‘Kalau rezeki kami, alhamdulillah’,” ucap Wa Oni. Rasilu juga mengaku tak tahu-menahu soal penggalangan dana ini.

LINDA TRIANITA, RERE KHAIRIYAH (AMBON)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus