Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi pasien lemah ketika berhadapan dengan dokter atau rumah sakit,” kata mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Kartono Mohamad. Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan mencatat, dari 120 kasus yang dilaporkan ke polisi, tak ada yang berhasil masuk ke pengadilan. Ketika penyelidikan membutuhkan saksi ahli, hanya segelintir dokter yang mau bersaksi. Kartono menduga para dokter tak ingin memberatkan teman sejawat. ”Ini yang disebut konspirasi diam,” ujarnya.
Berikut ini catatan pengaduan pihak pasien atau keluarganya terhadap dugaan malpraktek dokter yang masuk menjadi kasus hukum.
Juliana Dharmaji terus berusaha agar Rumah Sakit Omni International Tangerang dinyatakan bersalah, walau Polda Metro Jaya sudah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 16 November 2009. Ibu si kembar Jared dan Jayden ini yakin, kebutaan pada Jared disebabkan kelalaian rumah sakit.
Sejumlah keterangan dokter ahli sudah ia kantongi, termasuk penjelasan dokter dari Australia. Beberapa menyebut Jared buta karena kelebihan oksigen selama di inkubator. Bahkan salah seorang dokter Omni yang menangani kehamilan Juliana juga mengakui hal tersebut. ”Saya punya rekaman pembicaraan dengannya,” kata Juliana.
Rekaman itulah yang diajukan Juliana sebagai bukti baru untuk membuka kasus dugaan malpraktek ini. Selain itu, Juliana mengadukan kasus ini ke Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Juliana bertekad membawa kasus ini ke ranah hukum pidana, walau menyita energi. ”Saya memang mau memberikan pelajaran ke dunia medis,” ujarnya.
Juliana enggan menempuh jalur mediasi. Tawaran uang pengganti Rp 2,5 miliar ditam piknya. Ia ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat agar melapor bila dirugikan dokter atau rumah sakit. ”Kalau dokter bikin cacat seumur hidup, seram, dong,” katanya.
Rumah Sakit Omni International Tangerang tak banyak berkomentar tentang kasus Jared ini. ”Kami menghormati saja proses hukum yang berjalan,” kata juru bicara Rumah Sakit Omni, Lalu Hadi Sultoni. Soal bukti baru yang diklaim Juliana, ”Itu adalah bagian upaya hukum dari Juliana, dan itu hak mereka.”
Dava Chynata Oktavianto diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Krian Husada, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut kisah yang dituturkan sang ibu, Evayanti Hudono, Dava dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut pada 28 April silam. Bayi berusia tiga tahun itu pun diinfus dan dira wat inap. Keesokan harin ya, seorang perawat men yuntikkan cairan ke infus. ”Kata perawat, itu obat anti mual dan vitamin C,” ujar Eva.
Lewat pukul 12.00, tiga perawat kembali datang dan menyuntikkan cairan ke pang kal selang infusnya. Berikutnya, reaksi Dava sangat mengejutkan. Ia berontak, menangis, dan berte riak. Dalam hitungan detik, tubuhnya kejang-kejang. Lalu wajahnya membiru, dari duburnya keluar cairan, dan busa mengalir melalui bibirnya. Tak lama, Dava pun meninggal.
Keluarga melaporkan kejadian itu ke polisi. Alat medis seperti selang infus, ja rum suntik, dan sisa cairan infus disita. Jasad Dava dibawa ke Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, untuk diotopsi.
Hingga kini polisi belum menentukan tersangka. ”Kami masih menunggu hasil visum dan pemeriksaan laboratorium atas infus, ca iran empedu, feses, serta darah korban,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Sidoarjo Ajun Komisaris Arnesto Saiser. Tujuh saksi diperiksa, antara lain orang tua korban, perawat, dokter, dan pimpinan rumah sakit.
Evayanti bertekad meneruskan kasus ini meski akan memakan waktu sangat lama. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan. Kuasa hukumnya mengatakan, ”Masih dalam proses, saya belum bisa menjawab.”
Sisi Chalik , 48 tahun, melaporkan dugaan malpraktek terhadapnya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Desember 2000. Namun penyelidikannya harus berhenti tiga tahun kemudian. ”Alasan jaksa, berkasnya hilang,” kata Sisi.
Sisi diduga menjadi korban malpraktek Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Jaya, Jakarta. Di perutnya, di atas pusar, terdapat lubang sebesar bola tenis. Dari lubang itulah ia mengeluarkan kotoran atau fesesnya. ”Awalnya operasi tumor rahim. Malah perut dan usus saya yang rusak,” kata janda tanpa anak ini.
Sejumlah kejanggalan dicatat Sisi selama proses hukum kasusnya berjalan. Misalnya upaya jaksa yang membujuknya agar menerima tawaran damai, pe meriksaan saksi ahli dari korban yang diulur-ulur, hingga hilangnya berkas kasus. ”Saya dipermainkan,” kata Sisi, yang mengaku dikucilkan dari keluarga karena mempermasalahkan kasus ini.
Pada Juni 2008, setelah menjalani sejumlah usaha mediasi, Sisi menggugat perdata Budhi Jaya dan Ichramsjah, dokter yang menangani sekaligus pemilik Budhi Jaya. Pada Maret 2009, hakim mengabulkan gugatan Sisi dan mewajibkan rumah sakit membayar Rp 792 juta. Namun Sisi belum mendapat kompensasi. ”Mereka sudah banding bulan lalu,” kata Sisi.
Ichramsjah yang dihubungi terpisah mengaku kasus dugaan malpraktek terhadap Sisi sudah selesai. ”Sudah beres,” kata dia. Ia juga menyatakan tidak pernah ada sanksi pencabutan izin rumah sakit dari Kementerian Kesehatan. Bahkan dia mengaku tidak tahu-menahu soal upaya banding putusan perdata Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.
Shanti Marina kini sudah bernapas lega. Gugatan perdatanya sudah inkracht di tingkat kasasi. Mahkamah Agung memutuskan Rumah Sakit Puri Cinere membayar Rp 520 juta pada November 2007. ”Uangnya sudah diterima. Kasusnya sudah selesai,” kata Sapriyanto Refa, kuasa hukum Shanti.
Shanti kehilangan suaranya karena malpraktek yang dilakukan dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan, Wardhani, pada 2003. Operasi amandel berakibat suara Shanti sengau atau bindeng. ”Terbukti cacat yang dialami penggugat disebabkan kealpaan tergugat,” ujar Marsudin Nainggolan, ketua majelis hakim tingkat pertama (Tempo, 16 Agustus 2004).
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan masih menangani dua kasus dugaan malpraktek yang menunggu putusan kasasi. Pertama, Meswinda Sitepu menggugat bidan Herawati dan Rumah Sakit Pasar Rebo. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar tergugat membayar Rp 27,9 juta. Di tingkat banding, majelis Rusman Dany Achmad, Harjono, dan Miswari Ismijati memperberat ganti rugi menjadi Rp 102,2 juta.
Meswinda melahirkan put ra pertamanya, Andreas Paska Vinindo, pada 21 April 2001 dengan bantuan Hera wati. Dalam pertolongan partus, Herawati menarik paksa jabang bayi dengan menggunakan vakum. Akibatnya, kulit kepala Andreas memanjang. ”Sekarang (kulit) kepalanya jadi melambai,” kata Iskandar Sitorus, Direktur LBH Kesehatan.
Satu kasus lain adalah Elva Edison, yang menggugat dokter Priyo Sambodo dan Klinik Dharma Bakti, Jakarta Barat. Pada tingkat pertama, majelis hakim M.D. Pasaribu, Mulijanto, dan Tarid Palimari dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat memutuskan tergugat membayar Rp 170 juta. Di tingkat banding, jumlah tersebut membengkak menjadi Rp 520 juta.
Menurut Iskandar, kasus ini bermula pada Juli 2003, ketika Elva membawa put rinya, Tyeva Putri Julianty, 12 tahun, berobat ke klinik. Dokter yang memeriksa salah menganalisis dan memberikan obat sehingga Tyeva mengalami cacat seumur hidup. ”Sekarang kondisinya kurus dan memprihatin kan,” kata Iskandar.
Tito Sianipar, Eko Widianto (Sidoarjo), Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo