LAGU-LAGU mars perjuangan Bambu Runcing dan Harapan Bangsa ciptaan komponis nasional Almarhum Kamsidi, pekan-pekan ini, menjadi urusan pengadilan. Persoalannya, tidak susah ditebak, tentunya urusan hak cipta. Tapi, menarik juga, karena yang dituduh keluarga Almarhum membajak lagu-lagu terkenal itu adalah komponis terkenal pula, M. Pardosi Siagian. Bambu Runcing - dulu selalu dikumandangkan RRI Surakarta sebagai lagu pembukaan Radio Orkestra Surakarta (ROS) pimpinan Kamsidi - dan lagu Harapan Bangsa - yang dikenal sebagai lagu mars PON ke-1 di Solo - menurut penggugat diterbitkan P. Siagian dalam kumpulan 83 lagu-lagu perjuangan berjudul "Indonesia Cintaku", tanpa izin ahli waris penciptanya. Nama Kamsidi, sebagai pencipta dan pembuat aransemen, serta Almarhum Daldjono sebagai pembuat syair bukan tidak tercantum di buku itu. Tapi yang tertulis sebagai pencipta justru Daldjono dan syairnya dari Kamsidi. "Nama-nama itu sengaja dibalik," ujar Abdullah, putra Kamsidij penggugat. Dengan berpura-pura salah cetak begitu, katanya, Siagian merasa tidak perlu membayar honor. Abdullah menduga banyak komponis atau keluarganya menjadi korban Siagian. Hanya saja mereka, katanya, tidak berani menuntut karena sebelumnya diikat Siagian dengan sebuah surat kuasa. Surat kuasa yang disodorkan Siagian itu, kata Abdullah, berbunyi: "Memberikan kuasa untuk mengurus hingga selesai hak cipta (copyright) lagu-lagu ciptaan Kamsidi yang diterbitkan oleh penerbit tanpa seizin kami." Berdasar surat kuasa itulah, menurut Abdullah, Siagian bertindak lebih jauh, antara lain menerbitkan buku yang berisi lagu-lagu terkenal itu. Tindakan Siagian lainnya, seperti diakui Mansyur Burhan dari penerbit Express di Surabaya, adalah mendatangi penerbit-penerbit yang pernah menerbitkan lagu-lagu wajib atau nasional untuk meminta honor atau, kalau tidak, menuntut ke pengadilan. "Ia kayak orang yang punya monopoli untuk menerbitkan lagu-lagu tadi," ujar Mansyur, yang pernah diperkarakan Siagian. Siagian, yang sehari-harinya guru musik di SMA Stella Duce dan SMA Santa Maria Yogyakarta, agak gugup ketika soal itu ditanyakan kepadanya. "Sebaiknya masalah ini jangan dibesar-besarkan - sebab kami sudah menempuh jalan kekeluargaan," ujar Siagian. Komponis yang tidak bersedia menyebut usianya itu tidak merasa dirinya membajak. Sebab, sebelumnya, ia merasa sudah mendapat persetujuan dari keluarga Almarhum Kamsidi untuk menerbitkan lagu-lagunya dalam bentuk buku. Untuk itu, katanya, ia sudah memberikan uang Rp 20.000, tapi tanpa kuitansi. "Terus terang uang itu memang masih sedikit," katanya. Dengan bukunya itu Siagian malah merasa berjasa mengumpulkan lagu-lagu nasional yang berserakan. Abdullah mengaku diajak damai Siagian dengan ditawari uang "kesejahteraan" Rp 2 juta. "Saya tidak hanya merasa bersalah, tapi berdosa melupakan keluarga Almarhum. Sebaiknya kita berdamai saja," kata Siagian, seperti dikutip Abdullah kemudian. Tapi tawaran itu tidak diterima. "Saya bersedia kalau dibayar Rp 5 juta," kata Abdullah. Itu pun, katanya, belum seimbang dengan Kamsidi - konon teman main musik Menteri P & K Fuad Hassan - yang mendapat gelar kehormatan sebagai "Komponis Nasional" dari Menteri P & K Daoed Joesoef, 1979.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini