LANDASAN sudah dipasang. Bahkan sumber sudah pula disulut. Tinggal lagi mengelola ke mana "roket nonmigas" hendak diorbitkan ingat, minyak dan gas sudah lama melenceng dari orbit. Pengelola, tampaknya, sudah duduk di roket yang aman. Produsen makanan kaleng, misalnya, kini tak perlu risau menghadapi tingginya harga kaleng kemasan. Kalau harga lokal bahan penolong dianggap mahal, terbuka kesempatan bagi mereka mengimpor kemasan dari sumber lain, tanpa bayar bea masuk. Terobosan baru di bidang tata niaga untuk menggalakkan ekspor industri manufaktur itu, tentu, menyenangkan eksportir makanan kaleng macam Grup Mantrust. "Kebijaksanaan itu akan banyak menolong kami," kata Tegoeh Soetantyo, Presiden Direktur Mantrust. Memang sebagian besar produsen eksportir, yang belakangan ini terpaksa menelan bahan baku dan penolong lokal dengan harga mahal, bakal terangkat. Iklim perdagangan luar negeri dan penanaman modal memang seperti mendapat ruang gerak baru ketika, pekan lalu, 19 surat keputusan sekaligus diumumkan Menko Ekuin Ali Wardhana. Siapa sangka, Paket 6 Mei yang diturunkan berbarengan dengan ulang tahun ke-58 Menko Ekuin itu bakal menggusur ketentuan pembatasan impor bahan baku misalnya. Pengendalian impor, konon, harus dilakukan untuk melindungi kelangsungan hidup industri lokal yang sudah bisa menghasilkan bahan baku sejenis. Tapi kesempatan memperoleh devisa jadi menciut gara-gara harga barang ekspor jatuhnya kemudian lebih mahal. Tarik tambang antara dua kepentingan itu memang cukup seru. Akhirnya usaha mendapatkan devisa, jika tidak ingin pembangunan jadi macet, harus didahulukan. "Kalau kita tidak mengambil tindakan apa-apa, kita tidak hanya ketinggalan, tapi juga akan kalah bersaing," kata Menko Ali Wardhana. Ambil contoh mengenai usaha pabrikan lokal mengekspor bir kalengan. Produsen bir macam Multi Bintang, akhir tahun lalu terpaksa menaikkan harga jual bir kalengannya gara-gara harga kemasan lokal naik dari Rp 133 jadi Rp 170. Harga kaleng lokal memang harus naik karena pabrik pengolahnya terpaksa membeli pelat timah lokal dengan harga mahal. Bintang jadi sulit bersaing di pasar ekspor. Usaha menekan harga pokok, dengan membeli kemasan Rp 75 dari Singapura, tak bisa dilakukan, karena impornya tertutup. Situasi seperti itu kelak tidak akan ada lagi. Pelbagai bahan baku dan penolong impor untuk menghasilkan barang ekspor bisa dimasukkan tanpa dipungut bea masuk. Bahkan barang, bahan, dan peralatan konstruksi eks impor, yang digunakan kontraktor lokal untuk pembangunan proyek pemerintah dengan pembiayaan bantuan dan pinjaman luar negeri, dijanjikan mendapat pengembalian bea masuk. "Supaya kontraktor kita bisa lebih bersaing dalam memenangkan tender internasional," kata Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Daya saing memang akan kuat kalau produsen bisa memperoleh bahan baku dan penolong dengan harga murah. Dan harga murah itu, untuk sementara ini, hanya ada di pasar internasional. Produsen karenanya lebih suka membeli bahan impor. Kalau kecenderungan itu tidak direm, devisa pemerintah jelas akan banyak terpakai sementara industri lokal yang menghasilkan bahan baku akan tersodok. Jalan tengah kemudian diambil: impor bahan baku dan penolong tanpa bea masuk diperbolehkan sepanjang untuk menghasilkan barang ekspor. Tapi kalau dagangannya akan dipasarkan di dalam negeri, produsen wajib menggunakan bahan baku dan penolong bikinan lokal. Maksudnya jelas: agar pemakaian devisa untuk konsumsi lokal bisa dikurangi. Maklum, mencari devisa zaman sekarang makin sulit. terutama sesudah harga pelbagai komoditi perkebunan dan migas rontok di pasal dunia. Tentu saja, pemakaian bahan baku dan penolong impor itu akhirnya terpulang pada perhitungan untung rugi produsen - sekalipun kemudahan tata niaga sudah diberikan. Lihat saja, apa yang dilakukan sebuah pabrik ban di Medan, yang lebih suka membeli kain ban (tire cord) lokal, sekalipun harganya sedikit mahal dari eks impor: sekitar Rp 5.000 dibandingkan Rp 4.600 per kg. Soalnya, menurut Menteri Perindustrian Hartarto, produsen kain ban Ranta Mulia mau menyerahkan barang sampai gudang, dan baru kemudian dibayar. "Jadi, kondisi pembayaran juga ikut menentukan," katanya, menjawab pertanyaan TEMPO. Kalau industri hulu bisa memasok kebutuhan bahan baku ke hilir, secara berkesinambungan dan tepat waktu, daya saing bahan lokal tampaknya cukup kuat. Apalagi kalau mereka sanggup menyediakan kredit suplai seperti dilakukan pemasok luar negeri. "Jadi, kebijaksanaan ini juga mengharuskan industri hulu memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar mereka bisa bersaing," tambah Menteri Hartarto. Kemudahan dalam Paket 6 Mei itu, memang, lebih banyak memberi angin kepada industri hilir. Selain memperoleh kemudahan dalam mendapat bahan baku dan penolong, mereka juga akan mendapat sebuah kawasan berikat (bonded zone), sebagai tempat berusaha. Di Jakarta kawasan itu akan berada di Tanjungpriok (Bonded Warehouse Indonesia) dan Cakung (Sasana Banda). Tempat ini hakikatnya hanya disediakan bagi produsen yang mengekspor sekurang-kurangnya 85% dari seluruh produksinya. Maka, otomatis pula segala macam bahan baku dan penolong impor yang dimasukkan produsen tidak dipungut bea masuk dan pajak impor. Ketentuan mengenai Daftar Skala Prioritas, yang menunjuk sektor industri tertentu sudah dinyatakan tertutup, tidak dikenakan terhadap calon investor di kawasan berikat - di sana, misalnya, untuk ekspor orang masih boleh mendirikan pabrik susu bubuk atau tekstil. Semua izin termasuk izin bangunan, izin gangguan, dan izin usaha, bisa diminta di pengelola bonded: one stop service. "Dan prosedurnya lebih sederhana," kata Menteri Rachmat Saleh. Tentu masih harus dilihat apakah likuidasi BWI Priok dan Sasana Banda menjadi satu kawasan berikat kelak bakal menekan biaya produksi. Pengalaman di BWI Priok tampaknya tidak perlu diulangi. Di situ, tarif listrik, misalnya, ternyata lebih mahal 25% dibandingkan di luar. Memasang telepon juga memerlukan perjuangan panjang. Untung, gudang sudah agak jarang disatroni maling . Di bonded mendatang soal infrastruktur semacam itu dijanjikan akan turut diberesi - kecuali untuk BWI Priok yang kabarnya sudah penuh. Menyenangkan, seperti kata Yamien A. Tahir, Wakil Presiden National Gobel, kendati ketinggalan dibandingkan Malaysia yang sudah memulai 15 tahun lalu. Di bonded orang tidak pusing bayar ini-itu. "Ekonomi biaya tinggi bisa dihilangkan," katanya. Bagi Hiroshi Oshima, Direktur Japan External Trade Org. (Jetro), di Jakarta, disediakannya kawasan berikat di Jakarta lebih memikat dibandingkan Pulau Batam yang jauh dari pusat pengambilan keputusan. Bila dibandingkan Taiwan dan Hong Kong, kawasan bonded di Jakarta memiliki satu keunggulan: tenaga kerja murah. "Cuma sayang produktivitasnya lebih rendah dibandingkan tenaga kerja Malaysia dan Muangthai," kata Oshima. Mungkin industri rotan dan pakaian jadi yang pertama akan dimasuki calon penanam modal Jepang. Pengembangan teknologi tinggi di kawasan itu dianggap belum cocok: tegangan listrik sering berubah, dan suplai air bersih kurang terjamin. Belum lagi, demikian Takeo Uemura, bekas presiden direktur pabrik serat sintetis PT Tifico di Jakarta, ongkos angkut bahan baku ke Jakarta kelewat mahal. "Ongkos angkut dari Jepang ke Singapura hanya US$ 30, tapi kalau ke Jakarta US$ 70 per ton," katanya di Tokyo. Tantangan untuk menjual kawasan bonded memang tidak ringan. Tapi paket kemudahan itu, siapa sangka, merangsang produsen yang selama ini lebih suka memasarkan barangnya di pasar lokal untuk menengok pasar luar negeri. Sofyan Wanandi, misalnya, kini tergerak untuk menaikkan kapasitas terpakai pabrik aki (Yuasa) lem (Aica Indonesia), dan pipa besinya (Tosan Prima) yang dikelolanya hingga ke kapasitas penuh. "Penambahan kapasitas itulah yang akan kami ekspor," katanya. Dengan pembebasan bea masuk atas bahan baku dan penolong impor, pengusaha kita memang boleh diharap bisa bersaing. Mekanisme pembebasan bea masuk itu sendiri diatur demikian rupa hingga memperkecil kemungkinan penyelewengan. Produsen eksportir, misalnya, harus menyerahkan jaminan bank atau surety bond yang diterbitkan perusahaan asuransl sebesar nilai bea masuk dan bea masuk tambahan bahan baku. Surety bond ini bisa dikembalikan selambat-lambatnya 30 hari setelah realisasi ekspor dilakukan. Tapi, jika setelah 12 bulan produsen tidak bisa memenuhi rencana ekspor, maka bea masuk dan bea tambahan tadi wajib dilunasi. Kalau tidak jaminan akan dicairkan oleh Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) atas nama Menteri Keuangan. Agar semuanya berjalan lancar, surveyor Sucofindo bertugas mengecek jumlah dan mutu barang ekspor tadi. Itulah kelebihan yang diberikan Paket 6 Mei. Keadaannya memang berbeda dengan yang dihadapi para eksportir sekarang dalam mengurus pengembalian bea masuk plus unsur subsidi yang diberikan dalam bentuk Sertifikat Ekspor. Paket itu juga menjanjikan kemudahan bagi eksportir dalam meminta pengembalian bea masuk jika kelak, pada 30 Juni mendatang, masa pemberian SE berakhir. Menurut Menteri Rachmat Saleh, P4BM paling lama 30 hari sudah harus membayar sedikitnya 75% dari bea masuk yang diminta kembali, dan sisanya paling lama dilakukan 30 hari kemudian sejak permohonan masuk. Tidak seperti sekarang: seorang eksportir harus menunggu berbulan-bulan untuk mencairkan SE. Frans Seda, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menilai baik beleid pengembalian (drawback) dan pembebasan bea masuk (duty exemption) itu. Pemerintah dianggapnya telah berani mengambil risiko dengan tidak mengambil bagian yang seharusnya menjadi pendapatannya - bea masuk dan pajak impor. "Kalau pemerintah sudah berani berkorban, saya kira swasta juga berani," katanya. "Asal saja, jangan di tengah jalan pemerintah berkata, 'Itu tidak bisa lagi karena pendapatan negara berkurang'." Efisiensi dan usaha menekan harga pokok bisa saja dilakukan dari dalam. Tapi peluang pasar di luar negeri rasanya sulit diatur apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan nasional negeri pengimpor Tak heran kalau tekstil dan pakaian jadi, yang bisa dihasilkan dengan bersaing, kini terhambat karena kuota dan bea masuk tinggi. "Sekarang ini, tekstil mau diekspor ke mana lagi?" tanya Musa, Ketua Harian API. Kompetisi memperebutkan pasar juga bukan main sulitnya - apalagi kalau hasil industri manufaktur saingan mendapat banyak subsidi. Ambil contoh dengan ban. Dicabutnya SE ban Rp 302, Juni mendatang dan akan digantikan dengan drawback murni Rp 71 per kg, dianggap sangat memukul produsen ban sekalipun mereka kini boleh mengimpor kain ban dengan harga murah. Sebab, produsen eksportir ban Malaysia mendapat keringanan tarif listrik 20%, dan potongan 20% untuk karet yang dibeli, serta masih mendapat kredit ekspor 5%. "Bagi kami paket itu tidak memberikan hal baru untuk bersaing di luar negeri," kata Sjahfiri Alim, Direktur Utama Goodyear. Jeritan itu mungkin akan berkurang gemanya kalau saja liberalisasi di bidang perdagangan luar negeri tadi dilengkapi dengan beleid perbankan. Tapi Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar sudah menyatakan pagi-pagi bahwa pihaknya masih menunggu perkembangan dan sinyal untuk menurunkan suku bunga. Terjadinya kegiatan spekulatif memborong dolar belum lama ini dianggapnya malah menyulitkan usaha menurunkan suku bunga. "Khususnya suku bunga deposito yang dampaknya besar bagi suku pinjaman," katanya. Bagaimanapun harga kredit ekspor 9% dianggap sudah cukup murah dibandingkan dengan kredit komersial yang berlaku di pasaran yang 15%-20% setahun. Jadi, untuk sementara, produsen eksportir dan industri hulu penghasil bahan baku harus puas dengan harga uang sebesar itu. Dalam alam baru di bidang perdagangan luar negeri itu industri hulu memang harus pandai-pandai menyesuaikan diri. Kebijaksanaan harga ganda (dual price), apa mau dikata, harus mereka perkenalkan. Supaya bahan baku atau penolong yang dihasilkannya bisa diserap produsen eksportir, harganya maksimal harus sama rendahnya dengan yang impor. Mungkin penjualan ke sektor itu merupakan pos rugi. Tapi ketekoran penjualan darl situ bisa ditutupi dengan hasil penjualan ke produsen yang memasarkan hasil industrinya ke pasar lokal. Harga jual bahan bakunya tentu lebih mahal. Dengan subsidi silang itu industri hulu diduga akan mampu menahan pukulan barang impor. Apalagi, menurut Menteri Perindustrian Hartarto, sebagian besar pasar bahan baku (80%) diserap industri hilir yang memasarkan hasilnya ke pasar lokal - sementara produsen eksportir menyerap 20%. "Karenanya, kebijaksanaan itu tidak akan merugikan industri hulu," kata Menteri, menjawab pertanyaan TEMPO. Mungkin pendapat itu benar. Tapi, sampai saat tulisan ini diturunkan, belum terdengar ada industri penghasil bahan baku atau penolong menetapkan harga ganda. PT Pelat Timah Nusantara, penghasil pelat timah untuk membuat kaleng kemasan, misalnya, masih menetapkan harga dasar produknya US$ 729 per ton, atau sekitar 10% di atas harga eks impor. "Pelat timah impor itu harganya bisa dibanting hanya separuh harga lokal," kata Saharto Sahardjo, Kepala Biro Direksi Latinusa. Latinusa agaknya tak khawatir penjualannya tahun lalu yang mencapai 75 ribu ton ke industri pembuat kaleng kemasan bakal berkurang tahun ini. Alasannya: Pertama, sekitar 90% produksinya berupa pelat timah kualitas prime harus dipakai industri makanan dan minuman lokal. Kedua, industri penghasil kaleng kemasan belum tentu akan memperbesar impor pelat timah, karena produsen makanan dan minuman konsumen tradisionalnya hanya mengekspor bagian kecil dari produksinya. Jadi, mungkin saja volume pelat timah impor akan tetap 73 ribu ton tahun ini. Konsumen terbesar pelat timah Latinusa, yaitu United Can Co. (UCC), misalnya, masih belum bisa memastikan apakah akan melakukan impor pelat timah atau tidak. "Kemungkinan mengimpor itu memang ada, tetapi semua itu terserah kepada pihak fillers (pemakai kaleng kemasan) yang merencanakan mengekspor produksinya," kata R.M. Machribi, Direktur Utama UCC. Penyesuaian harga kaleng kemasan UCC tentu harus cepat dilakukan kalau tidak ingin konsumennya seperti Multi Bintang beralih membeli bahan penolong itu dari Singapura yang hanya Rp 75 - jauh lebih murah dibandingkan eks lokal yang Rp 170. Pada akhirnya produsen seperti UCC secara berangsur harus mau menetapkan harga ganda. Dan, supaya tidak rugi, impor pelat timah harus dilakukannya. "Latinusa nanti pasti jerit-jerit," tambah Machribi. Sikap tanggap tampaknya juga diperlukan oleh produsen pemintalan benang katun. Harga benang katun 20/S dan 30/S, yang kini Rp 435 ribu dan Rp 555 ribu per bal, mungkin perlu disesuaikan karena harga benang sejenis eks Jepang bisa dibeli dengan Rp 375 ribu dan 469 ribu per bal. Industri pemintalan mungkin tak akan menghadapi dilema cukup serius karena untuk menghasilkan benang itu mereka bisa membeli kapas lokal yang Rp 450 atau kapas impor yang lebih murah 20%-30%. Tidak semua industri hulu mempunyai problem seperti itu. Besi beton Krakatau Steel, misalnya, bisa dijual dengan US$ 217, padahal besi beton eks Jepang harganya US$ 220 (sampai di atas kapal). Sedang harga lokal di masing-masing negara itu adalah US$ 298 dan US$ 363 per ton. Singkat kata, karena yen menguat terhadap dolar, harga besi beton Kratakau Steel jatuhnya lebih murah. Harga baja lembaran gulungan produksinya ternyata juga lebih murah dibandingkan eks Jepang. Tidak jelas benar apakah baja tipis penggilingan dingin yang bakal dihasilkan, antara lain, dari usaha patungan dengan Liem Sioe Liong juga akan lebih murah. Penyesuaian kemudian terpaksa dilakukan Krakatau Steel: menaikkan harga besi beton ekspor sama dengan harga impor eks Jepang. Harga baru itu akan dikenakan terhadap produsen eksportir dan kontraktor lokal yang mengerjakan proyek pemerintah dengan pembiayaan dari pinjaman luar negeri. Yang ditakutkan Tungky Ariwibowo, Direktur Utama Krakatau, kalau penjualan besi beton dengan harga impor itu meledak melebihi perkiraan. Jika itu terjadi, keseimbangan komposisi penjualan 25 % ekspor dan 75% pasar lokal bakal terganggu karenanya. Krakatau harus terus berusaha memperluas pasar dalam negerinya. Perundingan dengan industri hilir akan dilakukannya, misalnya, dengan meninjau kembali uang muka 10% yang harus diserahkan pada saat konsumen memesan barang. "Meskipun sebenarnya uang itu untuk membayar PPN," kata Tungky. Tidak semua pihak memang gembira menerima Paket 6 Mei itu - siapa sangka, sih, industri hulu penghasil bahan baku dan penolong kini tak lagi mendapat proteksi? Sekalipun begitu, Menteri Hartarto percaya iklim baru yang diciptakan "tidak akan menjauhkan minat calon penanam modal memasuki industri hulu." Siapa pun, yang namanya pengusaha, ingin cepat untung - baik dia produsen, eksportir, atau investor. Dan Paket 6 Mei ini mudah-mudahan, tak banyak diganjal orang di tengah jalan. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta & Tokyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini