CERITA yang unik ini muncul gara-gara wakil ketua Pengadilan Negeri Semarang, Wieke S. Kumawati, membatalkan vonis yang - bahkan - sudah dieksekusi. Itu terjadi dua minggu lalu. Dan hari itu juga, dengan majelis hakim yang baru, terdakwa yang sudah divonis itu disidangkan kembali. Ini semua masih ekor ketidakberesan pemensiunan Soegijo Soemardjo, ketua Pengadilan Negeri Semarang, kala itu. Pada 2 Oktober 1984, selaku ketua majelis, Soegijo masih memimpin sidang dengan terdakwa Go Sie Tjiak alias Gendut. Bahkan, hari itu juga ia menjatuhkan vonis. Go Sie Tjiak, yang bertubuh gendut itu, diadili dengan tuduhan ikut merampok Toko Emas Sriwijaya, Semarang, 17 Agustus 1983. Ia melakukan tindak pidana itu bersama Ferry, Loe Hok Sing, dan Ho Mien Sing. Ketiga kawannya sudah lebih dulu divonis, pertengahan April 1984. Gendut sendiri tertangkap kemudian, dan baru diadili September lalu. Majelis Hakim yang diketuai Soegijo itu memvonis Gendut 1 tahun penjara potong masa tahanan. Baik Jaksa Harnop Mujenan maupun Gendut menerima putusan itu. Karena tidak naik banding, saat itu juga berarti otomatis putusan itu dieksekusi. Tapi belakangan heboh, karena ternyata Soegijo mestinya sudah pensiun terhitung I Oktober (TEMPO, 27 Oktober 1984). Meski serah terima jabatan faktanya baru berlangsung 15 Oktober, tapi Wieke S. Kumawati, selaku pejabat yang menjalankan tugas (YMT) ketua Pengadilan Negeri Semarang kemudian, menilai tindakan Soegijo selaku hakim sesudah 1 Oktober, "Tidak sah menurut hukum, karena Soegijo bukan hakim lagi." Dengan alasan itulah Wieke lantas mengeluarkan surat penetapan. Isinya: membatalkan vonis atas Gendut, menetapkan majelis yang sama sekali baru dipimpin Kerstijani Doellah, dan memperpanjang masa penahanan mulai 8 November yang berlaku surut sejak 14 Oktober. Jadi, Gendut, 36, dari status narapidana kembali menjadi terdakwa untuk perkara yang sama. Semua ketetapan itu dibacakan Kerstijani, ketua majelis yang baru, pada sidang ulangan yang pertama, 14 November silam. Jaksa Harnop Mujenan kontan mengajukan perlawanan. Putusan Soegijo, menurut Jaksa, sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Sebab, aksa dan terdakwa tidak naik banding. Kecuali itu, penetapan yang dibuat Wieke, selaku YMT ketua Pengadilan Negeri Semarang, kedudukannya lebih rendah ketimbang vonis yang sudah diputuskan. Lagi pula, katanya, vonis pengadilan tingkat pertama, "Hanya bisa dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi." Kecuali itu, Harnop menambahkan, "Perpanjangan penahanan berlaku surut tidak dikenal dalam KUHAP." Pembela Gendut, Nyoman Sarekat Putera Jaya, tampil dengan pendapat yang menarik, "Yang pensiun 'kan hanya ketua majelis saja, sedang anggotanya tidak." Karena itu, ia berpendapat, hanya sang ketua majelis saja yang diganti. Sehingga, "Sidang ulang hanya perlu untuk mengesahkan putusan majelis yang lama saja, tanpa harus mengulang pemeriksaan," katanya. Selain itu, Nyoman menilai bahwa surat penetapan yang dibuat Wieke tanpa dasar hukum. "Penetapan itu tak sepotong pun menyebut baik pasal maupun undang-undang sebagai dasar," kata dosen hukum pidana FH Undip ini. Tapi Wieke, yang belum dua bulan menduduki kursi wakil ketua enggan menjawab semua keberatan jaksa dan pembela. Ia tetap bersikutat bahwa putusan Soegijo tidak mempunyai kekuatan hukum. "Sebab, yang memutus bukan lagi seorang hakim," katanya. Pengadilan Tinggi agaknya juga membenarkan penetapan Wieke. Semua tindakan hakim yang menyangkut penyidangan atau vonis, setelah ia pensiun, "Harus batal demi hukum," kata Suwarto, Humas Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. "Semua harus diulang oleh yang menggantikannya, atau dimintakan fatwa dari Mahkamah Agung," tambahnya. Fatwa itu barangkali tidak perlu. Dengan santai Ali Said, ketua Mahkamah Agung, menjawab, "Kalau secara administratif hakim tersebut dinyatakan pensiun, tentu dong demi hukum vonis itu batal." Selesai?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini