Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat yang dianggap merongrong kemandirian lembaga penegak hukum satu per satu digugat ke Mahkamah Konstitusi. Kini yang tengah diuji adalah wewenang para politikus itu dalam menyeleksi anggota Komisi Yudisial dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penggugatnya kalangan akademikus dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Sidang sudah berlangsung empat kali. "Tinggal menunggu putusan," kata Sri Hastuti Puspitasari, salah seorang pemohon uji materi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Tim UII mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Februari lalu. Mereka menggugat dua undang-undang sekaligus, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Permohonan judicial review itu dilayangkan atas nama Edy Suandi Hamid sebagai Rektor UII dan Sri Hastuti sebagai Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII. Mereka beranggapan peran DPR dalam menyeleksi anggota KY dan pimpinan KPK telah melampaui wewenang lembaga legislatif itu. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, wewenang DPR, menurut pemohon, dinyatakan secara tegas dan terbatas (limitatif), yaitu dalam urusan legislasi (pembuatan undang-undang), penganggaran, dan pengawasan atas pemerintah.
Menurut Sri Hastuti, tahap uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di DPR sangat rawan ditunggangi kepentingan politik. Indikasinya, antara lain, terlihat dari pilihan DPR yang kerap jauh berbeda dengan pilihan panitia seleksi yang relatif profesional.
Panitia seleksi yang dibentuk presiden biasanya terdiri atas praktisi profesional, akademikus, dan pegiat antikorupsi. Sebelum menyorongkan nama ke presiden untuk dikirim ke DPR, panitia seleksi biasanya memilih calon secara ketat, termasuk menelusuri rekam jejaknya. "Tapi rekomendasi panitia seleksi bisa diabaikan oleh pertimbangan politis di DPR," ujar Sri.
Penilaian tim UII ini tak mengada-ada. Dalam pemilihan calon pimpinan KPK pada 2011, misalnya, panitia seleksi mengirim delapan nama ke DPR, lengkap dengan peringkat dan rekam jejaknya.
DPR akhirnya memilih empat nama pimpinan KPK. Salah satunya Bambang Widjojanto, yang sejak awal memang diunggulkan panitia seleksi. Namun tiga pemimpin KPK lain yang dipilih DPR bukan yang diunggulkan panitia seleksi.
Agar kejadian serupa tak terulang, tim UII menyasar dasar hukum kewenangan DPR dalam menyeleksi anggota komisi negara itu. Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial, tim UII mempersoalkan Pasal 28 ayat 3 huruf c dan Pasal 28 ayat 6. Kedua pasal ini mengatur mekanisme pemilihan Komisi Yudisial di panitia seleksi dan DPR.
Pada Pasal 28 ayat 6 ada frasa yang menyebutkan "DPR wajib memilih dan menetapkan" calon anggota Komisi Yudisial. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. "Memberi persetujuan jelas berbeda dengan memilih," ujar Sri.
Adapun dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, tim UII mempermasalahkan Pasal 30 ayat 1, ayat 10, dan ayat 11. Dalam ketiga ayat itu, juga ada frasa "DPR memilih dan menetapkan". Memang, menurut Sri, mekanisme seleksi pimpinan KPK tidak diatur dalam UUD 1945. Namun proses rekrutmen pimpinan KPK oleh DPR sangat bergantung pada arah angin politik di Senayan. Itu menimbulkan ketidakpastian. "Hak calon untuk mendapat kepastian hukum dilanggar." Itu, menurut Sri, bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebulan sebelum gugatan tim UII masuk, pada awal Januari lalu Mahkamah Konstitusi pun sudah melucuti wewenang DPR dalam menyeleksi calon hakim agung. Mahkamah menghilangkan wewenang DPR dalam menguji kelayakan calon hakim agung.
Sebelumnya, DPR berwenang menyeleksi lagi calon hakim agung yang diajukan presiden setelah para calon itu disaring Komisi Yudisial. Kini Mahkamah merombaknya: menunjuk wewenang DPR menjadi sebatas memberi persetujuan atas calon yang diajukan presiden.
Masalahnya, putusan Mahkamah Konstitusi itu masih ditafsirkan lain oleh DPR. Meski tak berwenang lagi menyeleksi calon, politikus di Senayan berpendapat bahwa mereka masih berwenang menolak calon. Akibatnya, saat Komisi Yudisial mengajukan tiga nama calon hakim agung pada Februari lalu, Komisi Hukum DPR pun ramai-ramai menolaknya.
Belajar dari kasus tersebut, tim UII memberi catatan tersendiri dalam berkas permohonan mereka. Kuasa hukum para pemohon, Zairin Harahap, meminta Mahkamah Konstitusi menambahkan klausul khusus bila kelak mengabulkan permohonan mereka. "Tanpa klausul itu, putusan Mahkamah bisa jadi percuma," kata Zairin ketika menyampaikan perbaikan berkas permohonan pada 24 Maret lalu.
Klausul tambahan yang diminta Zairin adalah DPR hanya berwenang menolak calon yang diajukan oleh presiden sepanjang terpenuhinya salah satu dari dua kondisi. Pertama, bila dalam proses seleksi itu ditemukan kecurangan. Kedua, bila muncul keberatan dari masyarakat yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selama empat kali sidang di Mahkamah Konstitusi, belum ada pihak yang menyanggah argumen hukum tim UII. Saat memberikan tanggapan pada sidang ketiga, 15 April lalu, tim pemerintah pun menyerahkan perkara ini sepenuhnya ke Mahkamah Konstitusi. "Kami percaya, Yang Mulia akan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan adil dan bijaksana," kata Mualimin Abadi, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Adapun dari DPR, meski sudah dua kali diundang, tak ada yang memberi tanggapan di persidangan. Maklum, ketika perkara ini mulai disidangkan, sebagian besar anggota DPR sedang sibuk berkampanye.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Tjatur Sapto Edy mengatakan secara pribadi setuju saja bila kewenangan DPR akhirnya sebatas menyetujui calon komisioner yang diajukan presiden. "Di luar urusan seleksi calon komisioner, pekerjaan DPR itu sangat banyak," ujar Tjatur. Hanya, Tjatur meminta presiden bertanggung jawab penuh atas kualitas semua calon yang disodorkan ke DPR.
Para ahli yang bersaksi di persidangan pun mendukung ikhtiar tim UII. Salah satunya Saldi Isra, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang. Saldi memberi pendapatnya melalui teleconference pada 6 Mei lalu.
Menurut Saldi, salah satu ukuran independensi lembaga penegak hukum adalah pola rekrutmen pimpinan lembaga tersebut. "Bila pola rekrutmennya membuka ruang intervensi politik, kemandirian lembaga itu akan tercemar," ujar Saldi.
Menurut Saldi, kekuasaan presiden dalam pengisian jabatan pimpinan KY dan KPK telah diserahkan ke panitia khusus di luar lembaga eksekutif. Dengan begitu, ruang intervensi dari presiden sudah dibaÂtasi. Nah, untuk membatasi intervensi dari para politikus, Saldi menyarankan wewenang DPR dibatasi pada persetujuan atas calon yang diusulkan presiden.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga mendukung argumen pemohon uji materi. Di persidangan, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan gangguan atas independensi KPK harus dihindari sejak dini, yaitu sejak proses rekrutmen calon pimpinan KPK. "Rekrutmen calon pimpinan KPK harus meminimalkan intervensi politik dari eksekutif maupun legislatif," kata Bambang.
Sokongan atas upaya tim UII juga datang dari Komisi Yudisial. Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan mendukung segala upaya untuk mendudukkan wewenang semua lembaga negara agar sesuai dengan amanat konstitusi. Kalau akhirnya wewenang DPR dibatasi hanya untuk memberi persetujuan, kata Suparman, tak perlu ada yang kehilangan muka. "Toh, persetujuan DPR itu sama dengan legitimasi politik," ujarnya.
Jajang Jamaludin, Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo