Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan anggota jemaat khusyuk mendaras doa di ruang tengah dua rumah yang dijadikan satu itu, Kamis malam dua pekan lalu. Pembacaan doa Rosario—doa dalam tradisi Katolik yang dibacakan berulang—tersebut sesekali diselingi nyanyian rohani dengan iringan keyboard.
Malam itu acara peribadatan menyambut hari Paskah tersebut sudah berlangsung lebih dari satu jam. Itu merupakan malam ke-29 acara doa Rosario digelar di rumah tersebut saban hari mulai awal Mei lalu. Seperti malam-malam sebelumnya, di luar jemaat, tak ada tetangga yang lalu-lalang di sekitar rumah di Kompleks STIE YKPN, Dusun Tanjungsari, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Tiba-tiba, sekitar pukul 20.30, jemaat dikagetkan oleh teriakan sejumlah lelaki dari luar rumah. Gerombolan tak diundang itu berusaha menerobos masuk ke dalam rumah milik Direktur Galangpress Julius Felicianus tersebut. Sebagian besar anggota gerombolan itu memakai jubah putih.
Sebelum gerombolan itu masuk, Nurwahid—yang menunggui istrinya beribadat—mendekap putrinya yang berusia delapan tahun. Dia segera memberi isyarat agar jemaat lain—kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak—bersembunyi di gudang di belakang rumah.
Reaksi Nurwahid rupanya membuat berang kelompok penyerang. Beberapa orang langsung memukuli muka dan kepala pria itu. Seorang penyerang bahkan menempelkan alat kejut listrik jinjing ke tubuh bocah di dekapan Nurwahid. Sedangkan penyerang lain menyisir setiap sudut rumah mencari seseorang.
Tak menemukan orang yang dicari, kelompok tersebut mengamuk. Mereka menjatuhkan pot-pot bunga di depan rumah. Sejumlah sepeda motor yang terparkir di depan rumah Julius dibanting, dilemparkan, atau digulingkan.
Ketika keributan itu terjadi, tak ada tetangga yang mendekati rumah Julius. Ketakutan, mereka memilih tetap berdiam di rumah masing-masing. Apalagi, malam itu, sebagian besar lelaki dewasa penghuni kompleks tak di rumah. Mereka sedang melayat salah satu orang tua warga yang meninggal di Ngawi, Jawa Timur.
Begitu mendapat laporan soal keributan itu, Kepala Dusun Tanjungsari, Jamin, segera menuju rumah Julius "Saya datang sudah berantakan," katanya Kamis pekan lalu.
Saat Jamin mendekat, anggota kelompok penyerang yang mengenali Jamin memberondong dengan pertanyaan. "Apa Anda tak tahu di sini sudah sebulan diadakan peribadatan?" ujar seorang penyerang. "Pemilik rumah tak pernah melapor," kata Jamin. "Warga lain keberatan," penyerang lain menimpali. "Kalau ada yang lapor begitu, bisa dilarang," ucap Jamin. Mendengar jawaban itu, gerombolan sekitar sepuluh orang itu meneriaki Jamin sembari memaki-maki.
Karena situasinya memanas, Jamin memilih mundur. Dia menjauh dari lokasi kejadian. Di tempat yang agak tersembunyi, Jamin menelepon kantor Kepolisian Sektor Ngaglik. Rupanya, bersamaan dengan kepergian Jamin, kelompok penyerang beringsut meninggalkan lokasi.
Setelah penyerang meninggalkan rumah Julius, anak lelaki Julius, Richardo, 22 tahun, menelepon bapaknya. Waktu itu Julius sedang memberi pidato sambutan di kantornya, Galangpress, di Jalan Baciro, Kota Yogyakarta. Ketika itu, di kantor penerbitan tersebut tengah digelar diskusi lintas agama dengan tema "Mencari Pemimpin yang Baik" dan doa zikir bersama.
Julius pun bergegas pulang. Dia tak lupa mengajak dua intel polisi yang sedang memantau acara zikir bersama itu. Dengan mobil Julius, mereka menerobos lalu lintas sepanjang 20 kilometer menuju rumah Julius di Sleman.
Ketika Julius tiba, gerombolan penyerang dengan jumlah lebih banyak datang lagi ke rumah dia. Sewaktu Julius turun dari mobil, salah seorang di antara mereka membentak. "Siapa kamu?" Julius menjawab, "Saya pemilik rumah, Julius."
Begitu tahu Julius yang datang, beberapa penyerang langsung menghujani dia dengan pukulan. Penyerang lain terus berteriak. "Bakar. Bakar. Kalau mau perang, perang sekalian." Ada juga yang berkali-kali meneriakkan takbir.
Julius mencoba berlari menyelamatkan diri. Tapi, di pojok barat rumahnya, lelaki 54 tahun itu jatuh terjerembap. Tubuhnya pun diinjak-injak para penyerang dan pundak kirinya dihajar benda keras. Seperti belum puas, salah seorang penyerang lalu melemparkan sebuah pot bunga ke kepalanya. "Kalau tak ada kami, Julius mungkin sudah mati," ucap seorang intel polisi yang menemani Julius malam itu.
Dua intel polisi yang berusaha menyelamatkan Julius dari amukan tak luput dari pukulan. Begitu pula wartawan Kompas TV, Michael Aryawan, yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah Julius. Ketika berusaha merekam serangan itu, Michael dihajar. Kamera dia pun dirampas kelompok penyerang.
Polisi baru tiba ke rumah Julius sekitar pukul 22.00. Waktu itu gerombolan penyerang telah kabur dengan sepeda motor mereka.
Meski menyandang nama perguruan tinggi yang cukup beken di Yogyakarta, Kompleks STIE YKPN jauh dari kesan mewah. Posisi rumah di kompleks di Dusun Tanjungsari ini tak begitu teratur. Walau masih ada penghuninya, sebagian besar rumah di sana tampak kusam.
Di kompleks ini, hanya ada 22 rumah yang berserakan di tiga blok, yaitu A, B, dan C. Penghuni kompleks rata-rata sudah tinggal bersama sejak awal 1990-an. Menurut ketua rukun tetangga di kompleks, Isyanto, warga mengenal satu sama lain. Maklum, mereka umumnya bekerja di satu institusi. Kalau bukan pegawai STIE YPKN, ya, pensiunan dari sekolah tinggi itu.
Bagi warga kompleks ini, Julius pun bukan orang asing. Keluarga dia satu dari dua keluarga yang menganut agama Katolik. Meski minoritas, Julius sudah berpuluh tahun berbaur dengan tetangga. "Sama anak-anak juga ngemong," kata Subyanto, seorang tetangga.
Menurut Isyanto, Julius memang tak pernah melaporkan kegiatan peribadatan di rumahnya. Tapi warga umumnya sudah tahu soal itu. Mereka pun tak mempermasalahkan kegiatan itu. Sebelum ada penyerangan malam itu, tak pernah ada keributan karena perbedaan keyakinan agama.
Julius memang pernah terlibat cekcok dengan keluarga yang tinggal persis di depan rumahnya. Dua bersaudara yang tinggal hanya empat meter di depan rumah Julius, Asep Hasanuddin, 30 tahun, dan Ami Bahtiar, 20 tahun, mempermasalahkan dua ekor anjing yang dipelihara keluarga Julius.
Asep dan Ami mengaku sering terganggu oleh suara gonggongan anjing itu. "Anjing pun najis," kata seorang warga menirukan protes Asep. Meski mendapat protes, Julius terus memelihara anjingnya. Hanya, sejak itu, ia mengikat anjingnya agar tak berkeliaran.
Sebelum penyerangan malam itu, warga kompleks mengira cekcok keluarga Julius dengan Asep dan Ami sudah selesai dengan sendirinya. Toh, dua keluarga itu pun sudah lama bertetangga. Tapi banyak warga yang kaget ketika, sehari setelah penyerangan, polisi menangkap Abdul Kholiq, 40 tahun. Soalnya warga tahu Kholiq akrab dengan Asep dan Ami.
Kholiq diciduk di rumah kontrakannya di Perumahan Sukoharjo Indah—sekitar 200 meter dari Kompleks STIE YPKN. Di sana, Kholiq adalah pendatang baru. Tapi warga cukup mengenalnya. Itu karena Kholiq kerap mengisi ceramah di Masjid Jamilatul Muttaqin, Tanjungsari.
Hanya, tak banyak warga yang ikut pengajian dia. Soalnya, bagi sejumlah warga, isi ceramah Kholiq terlalu "keras". Kebiasaan Kholiq juga kurang disukai warga. Ketika berceramah, dia selalu memakai pengeras suara meski jemaah yang hadir cuma empat orang. Di antara sedikit orang yang rajin mengikuti pengajian Kholiq itu adalah Asep dan Ami.
Sehari setelah Kholiq ditangkap, Jumat dua pekan lalu, bekas Panglima Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib mendatangi Direktorat Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta. Menurut beberapa penyidik, Ja'far—yang datang bersama 50 pengikutnya—meminta Kholiq dibebaskan. Tapi polisi tak menuruti permintaan pengasuh Pesantren Ihya' As-Sunnah, Ngemplak, Sleman, itu.
Hampir sepekan ditahan, Kholiq belum mau berbicara terbuka kepada penyidik. Dia juga menolak didampingi pengacara yang ditunjuk polisi. Kamis pekan lalu, 15 pengacara dari Tim Pembela Muslim Yogyakarta mulai mendampingi Kholiq. Mereka menamakan diri Tim Pembela Abdul Kholiq. Koordinator Tim, Mirzen, mengatakan mereka mendampingi Kholiq setelah mendapat izin dari Ja'far. "Kholiq kan sering mengaji di sana," ujar Mirzen.
Untuk memperjelas hubungan Kholiq dengan Ja'far, Tempo berkali-kali mencoba menghubungi nomor telepon Ja'far itu. Dua kali tersambung, Ja'far menolak diwawancarai. "Saya mau istirahat," katanya melalui telepon. Kamis pekan lalu, Tempo mendatangi rumah dan pesantren Ja'far di Ngemplak. Di sana, Tempo hanya diterima seorang lelaki berjenggot lebat. "Ustad tak ada di rumah," ucapnya singkat.
Meski sudah didampingi pengacara, Kholiq belum berterus terang kepada polisi. Kepada pengacaranya, ia malah membuat cerita yang jauh berbeda dari keterangan korban dan saksi mata.
Malam itu Kholiq mengaku sendirian menyerang Julius dan jemaat di rumahnya. Insiden itu, menurut dia, terjadi secara spontan. Ketika hendak menuju masjid, dia merasa terganggu oleh kendaraan jemaat yang menghalangi jalan dan nyanyian keras dari rumah Julius.
Toh, cerita Kholiq tak cukup meyakinkan bagi polisi. "Kami tak begitu saja percaya keterangan dia," kata Kepala Bidang Humas Polda DIY Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti. Apalagi polisi sudah menemukan sejumlah barang bukti yang diduga dipakai dalam penyerangan malam itu, antara lain satu bilah mandau, satu pedang pendek, satu pedang samurai, dan tiga batang kayu.
Dari keterangan para korban, polisi juga mendapat informasi Asep dan Ami ikut dalam penyerangan malam itu. Namun, esok harinya, semua anggota keluarga Asep telah meninggalkan rumah mereka. "Kami masih mencari kedua orang itu," ujar Anny.
Penyerangan jemaat Katolik di rumah Julius segera mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Apalagi kekerasan malam itu bukan yang pertama kali terjadi di wilayah Yogya. Menurut catatan Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (MAKY), selama 2014 saja terjadi delapan kasus kekerasan berkedok agama.
Koordinator Umum MAKY Beny Susanto mencontohkan kasus intimidasi kepada kelompok Raushan Fikr di Sleman, deklarasi anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada, kekerasan dan intimidasi atas Ketua Forum Lintas Iman Gunungkidul, pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul, ancaman atas kegiatan Paskah Adisyuswa di gereja Gunungkidul, serta penyerangan tempat ibadah Pantekosta di Pangukan, Tridadi, Sleman.
Menurut Beny, kekerasan atas nama agama berulang karena pelaku tak pernah ditindak tegas. "Absennya penegakan hukum memperbesar tindak kekerasan di masa datang," ujarnya pekan lalu.
Aksi kekerasan yang berulang juga membuat gusar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gubernur Yogyakarta ini pun meminta polisi menindak tegas pelaku kekerasan itu. "Sekarang bukan saatnya memberi imbauan. Hanya penegakan hukum yang bisa memberikan rasa nyaman bagi masyarakat," kata Sultan di kompleks Kepatihan Yogyakarta.
Di tengah panasnya suasana Yogya, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman malah mengeluarkan pernyataan kontroversial. Menurut dia, berdasarkan aturan, rumah hunian pribadi tak boleh digunakan untuk ibadah rutin, seperti salat Jumat dan kebaktian yang terus-menerus.
Untuk acara keagamaan yang insidental, menurut Sutarman, pemilik rumah tinggal memberi tahu polisi. Dengan begitu, bila ada masalah, polisi bisa mengamankan. "Tapi kalau acaranya rutin tidak boleh," ujar Sutarman di Markas Besar Polri, Rabu pekan lalu.
Banyak pihak menyesalkan pernyataan Kepala Polri itu. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, meminta Sutarman segera menarik kembali pernyataannya. "Pernyataan itu potensial dipakai sebagai pembenaran oleh massa intoleran," kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma.
Jajang Jamaludin, Muhammad Syaifullah, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo