Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembasmi Korupsi yang Banci

Komisi Antikorupsi masih memberi wewenang kepada polisi dan jaksa untuk mengusut korupsi. Akhirnya, sarang korupsi bisa kian banyak.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KESUNGGUHAN pemerintah untuk memberantas korupsi agaknya masih jauh dari harapan. Betapa tidak, bila hingga kini tak kunjung ada perubahan mendasar dalam pembasmian kanker berat yang membuat nasib negara kian terpuruk itu. Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Antikorupsi yang sedang dipersiapkan pemerintah pun ternyata masih bersifat ambigu karena tetap memberikan wewenang kepada polisi dan jaksa untuk mengusut korupsi.

Padahal, sebagaimana diamanatkan oleh UU Antikorupsi terbaru (tahun 1999), komisi antikorupsilah kelak yang akan punya wewenang tunggal mengusut korupsi. Amanat ini tentu berdasarkan pengalaman buruk pembasmian korupsi selama ini. Hal ini bukan saja lantaran polisi dan jaksa dianggap tak becus memproses korupsi, melainkan justru karena dua instansi itu pun menjadi sarang korupsi. Bahkan tumpang-tindih antara tugas polisi dan jaksa sebagai penyidik korupsi kian menambah kekisruhan.

Itu sebabnya, pagi-pagi RUU tersebut sudah diprotes oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Direktur Eksekutif Aid Watch Commission, Hayie Muhammad, dan Robertus Robert dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, berpendapat bahwa Komisi Antikorupsi harus menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang mengusut korupsi.

Berarti, komisi itulah yang akan menyidik dan menuntut tersangka korupsi, termasuk menangkap dan menahannya. Dengan demikian, polisi dan jaksa tak boleh lagi mengusut kasus korupsi. Tugas polisi cukup sebagai penyidik tindak pidana umum (bukan korupsi) dan jaksa sebagai penuntutnya.

Sebenarnya, rencana kelahiran Komisi Antikorupsi merupakan sebuah proyek besar dan mendesak. Penggarapan RUU-nya dikomandani Direktur Jenderal Administrasi Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Romli Atmasasmita. Anggota tim penyusunnya antara lain ahli hukum pidana Mardjono Reksodiputro, mantan jaksa Andi Hamzah, staf ahli Jaksa Agung Chairuman Harahap, serta sejumlah aktivis LSM.

Proyek itu disokong de Speville & Associates, konsultan antikorupsi terkemuka dari Inggris yang punya pengalaman di lebih dari 20 negara, seperti Ekuador, Uganda, dan Kosovo. Direkturnya, Bertrand de Speville, adalah mantan komisaris komisi antikorupsi di Hong Kong, ICAC. Targetnya, proyek berdana US$ 1 juta dari Asian Development Bank itu rampung pada Agustus 2001.

Persoalannya, ya, seperti disitir di atas, draft RUU tersebut masih memberi wewenang pada polisi dan jaksa untuk menyidik korupsi. Menurut RUU, Komisi Antikorupsi baru mengambil alih pengusutan sebuah kasus korupsi bila polisi ataupun jaksa dinilai tak mampu atau tak ingin meneruskan kasus itu.

Bagi Hayie dan Robert, wewenang pengusutan korupsi harus hanya dimiliki komisi tersebut. Bahkan komisi itu mesti independen dan tak boleh mengandung unsur pemerintah, dalam hal ini polisi dan jaksa. Kalaupun polisi atau jaksa mau masuk ke komisi, mereka harus benar-benar lepas dari institusi asalnya atau dipensiunkan.

Lagi-lagi, argumentasi dua aktivis LSM itu pun berdasarkan pengalaman sejarah. Pada masa Presiden Sukarno, pemberantasan korupsi dipelopori Angkatan Darat melalui operasi Budhi. Gebrakan itu berhasil menyeret Mayor (kini Mayjen TNI Purn.) Suhardiman ke pengadilan. Toh, sang terdakwa perwira itu akhirnya divonis bebas.

Pada masa awal Orde Baru, Soeharto, yang baru berkuasa, juga membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Hasilnya, sembilan koruptor diseret ke pengadilan. Bahkan, pada pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1970, Soeharto menyatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Ternyata, korupsi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, kian menjadi-jadi.

Menanggapi gagasan drastis agar Komisi Antikorupsi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengusut korupsi, Direktur Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Dewa K.G. Astika, mengaku tak terlalu mempersoalkan. Rupanya, Astika masih merasa yakin bahwa polisi tetap akan berwenang menyidik korupsi. "Kalau korupsi dikeroyok ramai-ramai, kan bisa cepat selesai," katanya.

Selain mempersoalkan wewenang komisi, kalangan LSM juga mengkritik dana untuk operasi komisi. Menurut draft RUU, komisi diperkenankan mengutip fee 50 persen dari harta negara hasil korupsi yang bisa diraihnya. Belakangan, setelah dikritik, fee itu turun menjadi 10 persen. Sekalipun demikian, Hayie dan Robert tetap tak sependapat. Buat keduanya, dana komisi tetap harus dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Menurut Teten Masduki, salah seorang anggota penyusun RUU tersebut, ide fee itu berdasarkan pemikiran bahwa dana komisi yang amat besar tak mungkin diambil dari APBN. Lagi pula, dana dari APBN bisa membuat komisi tak independen. "Kalau mengandalkan dana APBN, nanti disunat lagi, sehingga komisi tak bisa bekerja dengan baik," kata Teten.

Ahmad Taufik, Agus S. Riyanto, Setiyardi, dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus