KRITIK terhadap badan peradilan semakin pedas saja. Kecaman V.B. da Costa, Wakil Ketua Komisi III/DPR-RI, misalnya langsung saja menunjuk ke alamat Pengadilan Negara Tertinggi. Menurut da Costa banyak praktek Mahkamah Agung yang "bersifat non justitieel " bahkan "meningkat menjadi anti-justitieel". Atau, seperti disebut dalam suratnya kepada Ketua Mahkamah Agung, Februari lalu, banyak tindakan MA yang bisa dianggap "curang". Semuanya itu dikemukakan da Costa, yang tidak menyetujui praktek MA yang dianggapnya buruk: dalam banyak perkara perdata, MA sering menunda keputusan pengadilan bawahan hanya dengan perintah melalui telepon atau surat-kawat. Ditambah dengan beberapa kasus yang disimpan di kepalanya da Costa belakangan ini memang ketus sekali. Ada semacam mafia-peradilan? "Saya kira kok memang, ya!" kata da Costa tandas. Beberapa laporan dan keluhan masyarakat ke DPR, seperti disimpulkannya, menunjukkan ketidakberesan urusan di peradilan makin menjadi-jadi. "Makin hari makin memburuk," katanya. Sebab, kata da Costa, boleh jadi orang tidak peka lagi terhadap perkara suap-menyuap. "Atau memang tak ada yang mau ribut-ribut lagi." Padahal, sepanjang didengar anggota F-PDI ini, "di MA sudah mulai ada calo mencari perkara." Seburuk itukah l:ampang peradilan kita? Ketua MA Prof. Oemar Seno Adji (65 tahun) tentu tak sependapat. Sikap seperti yang ditunjukkan da Costa dianggapnya sebagai penyerangan terhadap hak asasi hakim Contempt of court. Seorang hakim sepuh yang masih bertugas tersinggung atas dampratan orang terhadap lembaga peradilan belakangan ini. "Di sini," katanya, "hakim kok tidak dihormati." Agak kendur serangan dari da Costa, belakangan terjadi lagi gedoran terhadap pengadilan Laksusda Jaya tiba-tiba mencomot Endang Wijaya yang diberi kelonggaran besar dalam perlakuan. Kalangan hukum menyebut tindakan Laksusda sebagai "mencampuri kewenangan pengadilan," sebab Endang Wijaya adalah tahanan milik pengadilan. Tapi pihak Laksusda merasa perlu memakai cara itu untuk menarik perhatian lagi soal "mafia-peradilan". (TEMPO, 1O.Mei). Memang peristiwa yang tidak begitu enak. Seno Adji, yang sudah berkecimpung di dunia kehakiman sejak 1946, cuma berkata "Bahkan Presiden saja tidak pernah mengungkit-ungkit putusan pengadilan." Bahwa sikap pengadilan banyak memberikan kelonggaran terhadap seorang terdakwa perkara berat, itu soal lain. Kontrol terhadap hakim bawahan menurut Seno Adji, harus melalui wewenang yudikatif yang dimiliki MA. Yaitu, sepanjang menyangkut benar atau tidaknya sesuatu proses peradilan berjalan. "Karena itu," ujarnya, "sejauh proses peradilannya sesuai dengan hukum, saya tidak peduli kata-kata orang." Bahwa belakangan ini sorotan terhadap badan peradilan semakin tajam, kata Seno Adji dalam suatu rapat kerja Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum belum lama ini, itu tidak jelek. Bolehlah sebagai pertanda kesadaran hukum masyarakat makin baik. Suatu bentuk "iuran positif," katanya. "Hukum dan keadilan," katanya pula, "memang tak mungkin terlepas dari pandangan atau penilaian masyarakat." Hanya saja jeleknya, menurut ahli hukum lulusan FH-UGM (Yogya) ini, "iuran" sering condong hendak memaksa mempengaruhi pengadilan. Yang kalah berperkara sering mengutik-ngutik keputusan hakim melalui media massa atau mulut anggota DPR. Kata Seno Adji, "yang paling gampang menuduh hakim 'ada main'." Seno Adji pernah berkata: "Hakim itu ibarat Bima." Harus jujur, adil, lugu dan keras. Putusan-putusannya, katanya, jangan sampai dipengaruhi kekerasan atau uang pelicin. Juga, "Kopkamtib tidak bisa memerintah agar hakim menghukum berat tertuduh yang ditangkapnya." Meskipun demikian, seperti diungkapkan sendiri oleh Menteri Kehakiman Moedjono, ternyata cukup banyak hakim yang tidak seperti diinginkan Seno Adji. Putusan hakim di sana-sini banyak dipengaruhi uang. Dalam suatu raker hakim-hakim di Jakarta, Maret lalu, Moedjono bicara terus-terang: peradilan masih saja sering dikomersialkan. Menurut menteri, baunya secara sederhana mudah tercium: perkara-perkara yang "kering" sangat lambat penyelesaiannya. Sedangkan yang "gemuk" cepat beres-seperti dikejar-kejar saja laiknya. Memang benar, kata Moedjono, bila kekuasaan peradilan dicampuri dan dirongrong, "kacaulah negara ini." Tapi, "sebaliknya pula, bila keyakinan hakim bisa dibeli, lalu memutuskan sesuatu perkara seenaknya sendiri dengan dalih 'aku 'kan bebas', republik bisa gulung tikar. " MENlNDAK hakim-hakim yang "terbeli" keyakinannya sudah dilakukan Moedjono. Kata menteri yang sering bekerja sampai larut malam ini: "Saya sampai tidak ingat lagi berapa orang yang sudah saya tindak -- jumlahnya, wah, puluhan orang! " Umumnya memang bersangkutan dengan uang sogok atau pemerasan. Ada juga yang bekerja secara aneh macam begini: Seorang nyonya, pedagang, bersengketa dengan lawannya. Urusan sampai ke pengadilan. Nyonya itu menang berperkara. Tapi, usut punya usut, ternyata nyonya yang menang itu istri sang hakim sendiri. "Itu 'kan namanya mau enak sendiri," kata Moedjono. Ia langsung mengambil tindakan keras. Tak hanya soal uang yang diperhatikan Moedjono. Laporan tentang tingkah laku hakim juga didengarkan. "Bagaimana wibawa hakim bisa tegak kalau masyarakat tahu hakim-hakimnya tiap hari ke Kramattunggak?" bentak Menteri. Kramattunggak, para pembaca, ialah tempat pelacuran di bilangan Tanjungpriok (Jakarta). Ada lagi hakim di Ja-Tim, yang menurut Menteri menghancurkan kewibawaannya sendiri dengan berutang ke toko-toko. Atau, "bagaimana hakim bisa memutuskan perkara perkawinan dengan baik bila ia sendiri diketahui tukang kawin?" Dari macam-macam laporan itulah Menteri Kehakiman bertindak. Ada hakim yang diberhentikan dari jabatan dan sekaligus dikeluarkan dari daftar pegawai negeri. Ada ymg dicopot jabatannya saja --masih tetap sebagai pegawai negeri. Masih lumayan bila dimutasikan ke kota lain atau kena damprat dengan surat teguran. Repotnya, Moedjono sering harus berhadapan dengan teman, bahkan "teman sependeritaan". Tapi, apa boleh buat, "saya harus menelan airmata sendiri .... "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini