BUNYI drum dipalu dan denting martil masih riuh di dukuh
Pesayangan, bagian barat kota Purbalingga, Jawa Tengah. Desa
berpenghuni 500 jiwa dan terkenal dengan industri ragam metal.
terutama membuat knalpot mobil, seakan tak peduli dengan
keputusan pemerintah yang di akhir April mencoret daftar merek
mobil dari 72 menjadi hanya 30. "Penciutan merk itu belum terasa
pengaruhnya," kata Sodik Alma'ruf, 42 tahun pengusaha knalpot
dan sprayer di sana.
Adapun tenaga kerja yang diserap sekitar- 108 orang, tersebar di
37 industri kecil ragam metal. Upah mereka antara Rp 500-Rp
2.000 sehari. Dan yang khusus bikinknalpor ada 17 unit.
"Produksi seriap bulan berkisar 3.000 buah knalpot," kata
Mangadi. Ini belum terhitung sprayer, kompor, emposan tikus,
wajan dan gamelan.
Dan Sadik, yang merangkap Ketua Koperasi Ragam Metal Pesayangan
yakin pemasaran knalpot dari desa itu akan semakin meluas.
Disebutnya beberapa kota besar di Jawa, Sumatera, Bali,
Kalimantan, bahkan Irian Jaya biasa membeli knalpot dari
Pesayangan.
Yang merintis bengkel knalpot di Pesayangan boleh disebut
Sultoni, 56 tahun, masih saudara Sodik, yang di tahun 1956 mulai
menerima pesanan dari seorang pengusaha Cina. Tapi kerajinan
ragam metal itu sendiri sudah dikenal sejak zaman Jepang. Kini
tak kurang dari 2000 drum, belum termauk plat, yang rata-rata
setiap bulan disulap menjadi knalpot di Pesayangan.
Melulu membuat knalpor kendaraan niaga, desa pengrajin itu
rerutama melayani permintaan untuk truk Jepang, seperti Kolt,
yang dijual antara Rp 1.800-Rp 2.s00 sepasang. Untuk Ford, Fuso
dan Thames berkisar antara Rp 2.500-Rp 4.000. "Tapi kualitas
tinggi bisa mencapai Rp 10.000," kata Ashadi, 32 tahun, seorang
pengusaha knalpot di sana. Yang dimaksud kualitas tinggi adalah
knalpot yang dibuat-dari bekas drum oli, sedang yang kualitas
murahan dibuat dari bekas drum minyak kelapa, yang memang lebih
tipis itu.
Suasana serupa juga nampak di Desa satur Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, Ja-Teng. Haji Sayuti, 45 tahun, pimpinan dan
pemilik CV Sidomukti terkenal membuat 2 jenis suku cadang mobil
tromol dan foring (sock), terutama untuk kolt dan truk Daihatsu.
Untuk tromol produksi sebulan rata-rata 2.000 biji begitu juga
untuk sock. "Saya melayani bengkel-bengkel besar di Jakarta,"
ujar H. Sajuti yang punya 50 buruh. Perusahaan warisan ayah
Sajuti itu memang tak membubuhi cap atau merk pada produksinya,
sama halnya dengan knalpot made in Pesayangan itu. Sebab untuk
itu harus minta izin lagi dan konon membayar ini-itu.
Berani Diadu
Lalu mutunya? "Kalau dibandingkan barang bikinan Taiwan wah,
berani adu," kata Sajuti sambil memperbaiki sarungnya. Wak Haji
itu menunjuk pada bengkel besar Tjokro dan Candi Jaya di Jakarta
sebagai langganannya. "Tromol bis kota yang ada di Jakarta
hampir semuanya dari sini," katanya. Dia mengakui produksinya
itu masih harus dihaluskan lagi di Jakarta. Sebuah tromol
keluaran Sidomukti Rp 6.000, dan toko onderdil atau bengkel
menjualnya Rp 8.000-Rp 9.000 sebelum kenaikan harga BBM. Sedang
untuk sock keluarannya sekitar Rp 2.500 sebuah.
Tapi di Jakarta juga ada bengkel onderdil. Seperti PT Ambarukmo
Bolzano Motor di Jl. Bungur Besar, yang ahli membuat knalpot.
Dengan 30 pekerja, bengkel itu sebulan sanggup membuat 1.000 set
knalpot (depan-belakang). Untuk knalpot bagian depan yang
terbuat dari drum tipis, harganya tak boleh kurang dari Rp
12.000, sedang dari drum bekas oli, menjelang kenaikan BBM tak
mau mundur dari Rp 20.000 berikut ongkos pasang.
Kios-kios di Proyek Senen dan Jl. Sawah Besar, Jakarta, biasa
mengambil dari Ambarukmo yang nampak semakin mekar itu. Menurut
Netty Herawaty, sekretaris PT Ambarukmo, majikannya sedang
membangun pabrik knalpot dengan tenaga mesin di Cakung, Jakarta
Timur. "Nanti pasti akan lebih banyak lagi yang bisa kami
layani," kata Netty. Selain menjangkau pasaran sampai ke Medan,
instansi seperti Bea Cukai dan Sekneg termasuk langganan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini