MIMI Lidyawati, wanita muda keturunan Cina, mungkin belum ada duanya dalam sejarah peradilan Indonesia. Awal bulan lalu ia mendadak terkenal karena nekat melemparkan sepatunya ke Hakim Abdul Razak, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Belum habis cerita tentang kenekatannya itu, Selasa pekan lalu ia kembali mengagetkan, karena mengalahkan Markas Besar Kepolisian RI (Mabak), dalam perkara praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemenangan Mimi itu tercatat pula sebagai kekalahan pihak Mabes Polri yang pertama di praperadilan. Hakim Djadi Widojo, yang memeriksa kasus praperadilan itu, menganggap, pihak polisi salah. Sebab menghentikan penyidikan terhadap terdakwa Pow I Bing, alias Paroto Insan Budiman, yang diadukan Mimi sebagai orang yang menguasai perusahaan wanita muda itu di Sorong, Irian Jaya, secara tidak sah. Sebab itu, hakim memerintahkan polisi mengusut kembali Bing. Hubungan Mimi dengan Bing sudah berlangsung sejak 1974, ketika ia baru saja kembali dari Inggris -- setelah empat tahun merantau di sana -- dan berniat membuka usaha di Sorong. Di kota itu, secara kebetulan ia berkenalan dengan Bing. Bersama lelaki itu ia kemudian merencanakan membuka usaha penyalur resmi Pertamina untuk bahan bakar minyak (BBM). Tapi untuk usaha semacam itu, mereka harus mendirikan sebuah badan hukum (PT). Repotnya, untuk membuat PT diperlukan akta, sementara di Sorong tidak ada notaris. Bing terpaksa diutus ke Jakarta untuk mengurus pendirian PT itu. Tapi ketika akta itu jadi, Mimi kaget karena namanya tidak tercantum di akta perusahaan. Sebab itu, Bing terpaksa kembali ke Jakarta untuk mengubah akta tadi. Tapi sebelum berangkat, Bing meminta Mimi menandatangani tiga blangko surat bermeterai tahun 1975. "Permintaannya itu masuk akal, sebab jika ia perlu sebuah surat dari saya, masa harus bolak-balik Sorong-Jakarta," tutur Mimi. Kali ini, urusan beres. Mimi berstatus direktur utama PT Bumi Tasik. Usaha Mimi dengan teman barunya itu kemudian berjalan lancar, sehingga membuka kantor cabang di Jakarta. Tapi beberapa tahun kemudian, 1980, Mimi terpaksa berangkat ke Inggris untuk operasi, gara-gara menderita suatu penyakit. Ketika itu, katanya, harta kekayaan perusahaannya sudah mencapai Rp 400 juta. Tapi, sekembalinya dari Inggris, kantornya telah dikusai Bing. Selama ia berobat, Bing rupanya mengedarkan surat kepada langganannya bahwa Mimi bukanlah direktur, apalagi pemilik perusahaan. Sebagai buktinya, Bing melampirkan akta pendirian PT Bumi Tasik yang pertama, yang tanpa nama Mimi itu. Ketika ia mencoba datang ke Sorong dengan akta kedua, yang ada namanya, ia malah ditangkap polisi ketika memasuki halaman kantornya. "Wah, saya sempat dikasari, bahkan ditampar segala," katanya. Wanita itu mengaku, setelah ditahan sehari di rumah Kapolres, keesokannya diantar polisi langsung ke pesawat pertama menuju Jakarta. Karena itu, Mimi mengadu ke Mabak. Tapi di instansi itu urusannya semakin rumit. Ia, katanya, diminta menandatangani pernyataan bahwa pernah kumpul kebo dengan Bing, dan mengaku ketika menandatangani surat blangko, tidak ada saksi yang melihat. Ia bersedia menandatangani pernyataan itu. Tapi perkaranya dengan Bing disetop polisi. Malah, belakangan Mimi diperiksa dengan tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Bing. Karena itulah, sehari sebelum melemparkan sepatu ke meja hakim dalam perkara lain itu, ia mengadukan polisi ke praperadilan. Hebatnya, dialah orang pertama dalam sejarah praperadilan yang berani mempraperadilankan polisi tanpa didampingi pengacara. Hakim Djadi Widojo rupanya menganggap polisi tidak mempunyai alasan menghentikan penyidikannya terhadap Bing. Sebuah bukti surat tentang penjualan saham Mimi kepada Bing -- yang dipakai polisi untuk menyetop perkara itu -- menurut hakim, belum diperiksa polisi semestinya. Sebab, surat itu diakui Mimi sebagai surat blangko yang ditandatanganinya ketika Bing mengurus akta pada 1975. "Seharusnya, penyidik memeriksa di laboratorium tentang usia tanda tangan dan usia isi surat itu," kata hakim. Sebab itu, hakim memerintahkan polisi melanjutkan penyidikannya. "Saya kaget sekali, hakim cukup berani memutuskan yang sebenarnya," ujar Mimi. Apalagi, tak seperti biasanya -- ia mengaku mempunyai 11 perkara -- dalam kasus ini ia tidak berusaha mendekati hakim. Gara-gara kasus pelemparan sepatu itu, katanya, ia tidak berani menghubungi hakim, dan sebaliknya hakim juga takut ditemuinya. "Padahal, dalam situasi normal menghubungi hakim itu keharusan," tambah Mimi. Ia misalnya, mengaku terpaksa melempar hakim dengan sepatunya -- awal Agustus lalu -- ini gara-gara hakim menjatuhkan vonis terlalu ringan kepada Nyonya Nani, lawan beperkaranya. Padahal, katanya ia sudah memberi hakim itu uang Rp 2,5 juta. Mimi memang tak cuma beperkara dengan Nyonya Nani. Ia mengaku, kini tengah terlibat 11 perkara. Salah satu adalah perkara praperadilan dengan pihak Mabak yang akhirnya dimenangkannya itu. Tak kurang Kapolri M. Sanusi sendiri mengakui kekalahan instansinya melawan Mimi. "Kala hakim menyatakan polisi kalah, ya, itulah keputusan hakim yang harus dihormati," kata Sanusi kepada Kompas. Ia menganggap, kekalahan itu tidak akan menyebabkan citra polisi menjadi turun. Sebab. Petugas bisa saja berbuat salah. "Yang penting citra hukumnya sendiri. Dalam pembangunan hukum, citra hukum harus ditegakkan, bukan sekadar lembaga hukumnya," tambah Kapolri. Dengan vonis hakim itu, katanya, terbukti pula bahwa di negara ini tidak ada yang lebih tinggi dari hukum. Adakah dengan begitu Mimi bisa berharap Bing akan diadili? Belum tentu, memang. Sebab, di KUHAP tidak diatur bagaimana putusan hakim semacam itu dilaksanakan. Artinya, tidak ada lembaga yang berwenang mengawasi polisi meneruskan penyidikannya atau tidak. "Soal itu memang tidak diatur KUHAP, tapi seharusnya si pelapor bisa mengontrol apakah laporannya dikerjakan atau belum," ujar Hakim Djadi. Kepala Dinas Penerangan Polri, Kolonel Pol. T. Guntar, berjanji pihaknya akan menyidik kembali kasus tersebut sebagaimana diputuskan hakim. "Kami akan mencoba mencari bukti-bukti baru, dan kalau dapat, kasus itu akan kami ajukan ke kejaksaan lagi," ujar Guntar. Menurut Guntar, sebenarnya kasus itu sudah pernah diteruskan ke kejaksaan. Tapi instansi penuntut menganggap, perkara itu kurang kuat karena kurang saksi, dan mengembalikan berkasnya ke polisi. "Padahal, lemahnya kasus itu justru di segi saksi itu. Tidak ada yang melihat ketika Mimi menandatangani surat perjanjian dengan Bing," tutur Guntar. Sebab itu bukan tidak mungkin dalam penyidikan lanjutan polisi akan kembali terbentur dalam soal saksi tadi, dan kemudian terpaksa menghentikan penyidikannya. "Bagaimana bisa kami meneruskan sebuah perkara, kalau saksinya tidak kuat?" katanya. Karni Ilyas Laporan nadjib Salim & Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini