Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Detektif-detektif pak gubernur

Gubernur wahono (ja-tim) membentuk instansi penyidik untuk kasus pelanggaran peraturan daerah dengan nama penyidik pegawai negeri sipil (ppns). philipus m. hardjon tak setuju. menganggap menyalahi kuhap.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Detektif-detektif pak gubernur
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DETEKTIF ternyata bukan monopoli polisi. Kini Pemda Jawa Timur juga memiliki aparat yang pekerjaannya melakukan penyidikan itu. Jabatan yang tidak ada di daerah lain itu Selasa pekan lalu diresmikan kehadirannya oleh Gubernur Wahono, dengan nama resmi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sekaligus pula, pada hari itu, Wahono melantik dan mengambil sumpah 8 orang "detektif" angkatan pertama, yang akan bertugas mengamankan peraturan daerah (perda) di daerah itu. Dengan adanya instansi baru itu bisa diharapkan para pedagang kaki lima tidak lagi seenaknya menggelar dagangannya di kota-kota besar Jawa Timur. Tukang becak dan pedagang sate juga sudah harus berpikir dua kali sebelum memasuki daerah-daerah yang terlarang bagi mereka. Bahkan ibu-ibu rumah tangga pun perlu melihat ke kiri dan kanan lebih dulu sebelum melemparkan sampah ke sembarang tempat -- kalau tidak ingin diseret ke meja hijau. Ancaman itu tidak main-main. Sebab, berbeda dengan instansi Kamtib (Keamanan dan Ketertiban) Pemda, para "detektif" itu mempunyai wewenang yang jauh lebih luas, bahkan mirip polisi. Mereka berwenang menerima laporan atau pengaduan, dan kemudian berhak pula melakukan pemeriksaan baik terhadap terdakwa maupun saksi-saksi. Tidak hanya itu, mereka juga berhak melakukan penyitaan, pemotretan, sampai ke meneruskan perkara ke kejaksaan. "Hanya saja, berkas yang dibuat PPNS itu ketika akan diserahkan ke kejaksaan masih melewati polisi," kata Gubernur Wahono kepada TEMPO. Mereka memang bukan sembarang comot. "Mereka bukan orang sembarangan, lho," kata Kepala Bagian Ketertiban Pemda, Sulaiman, B.A. Tenaga untuk detektif itu, katanya, ditarik dari unit-unit operasional yang selama ini mempunyai tugas yang berkaitan dengan pengamanan Perda, seperti dari Kamtib, subdinas yang berurusan dengan pajak dan retribusi. Kecuali itu, mereka disyaratkan pula berijazah sekurangnya SLA, dan sudah mencapai pangkat pengatur muda tingkat I golongan II D, berbadan sehat, punya pengalaman dua tahun di bidang operasional, dan mempunyai nilai baik di DP-3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Syarat yang terakhir itu menyangkut soal moral, dedikasi, dan segala sesuatu yang menyangkut konduite si calon. Para anggota PPNS tadi, kata Sulaiman, membutuhkan keteguhan mental yang luar biasa. "Sebab, bisa saja para PNPS itu menjadi lembek dalam melaksanakan tugasnya karena disogok," ujar Sulaiman. Berbeda pula dengan tugas Kamtib atau ribum (Ketertiban Umum), yang selama ini dikenal main gusur atau main labrak saja, para PPNS diharapkan lebih berwibawa, sehingga Perda dipatuhi oleh masyarakat. "Ketegasan dan kewibawaan mereka akan menentukan efektif atau tidaknya sebuah perda," tambah Sulaiman. Untuk menduduki jabatan baru itu, para PPNS tadi mendapat pendidikan khusus selama tiga pekan, Juli lalu. Dalam pendidikan singkat itu, mereka diberi ilmu menyidik oleh tenaga pengajar dari Polda, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Dinas Pendapatan Daerah. dan Biro Hukum Pemda. Dari orang yang ikut pendidikan, hanya 28 orang yang dinyatakan lulus. Sebab itu, pendidikan untuk gelombang kedua direncanakan dalam waktu dekat, dengan 40 peserta, untuk mengejar jumlah PPNS yang ditargetkan 92 orang. "Pendidikan singkat itu secara teori memang cukup, tapi masih kurang memadai. Sebab, dalam pelaksanaan mungkin akan banyak hambatan dan kesulitan," komentar Drs. I Dewa Nyoman Suryawan, salah seorang anggota yang lulus pendidikan kilat itu. Tapi soalnya, dari mana para "detektif" Pemda itu mempunyai wewenang untuk menyidik? Gubernur Wahono justru menunjuk KUHAP sebagai dasar pembentukan instansi penyidik barunya itu. Di KUHAP, selain polisi memang disebutkan ada pegawai sipil yang mendapatkan kewenangan khusus dari undang-undang untuk melakukan penyidikan -- seperti petugas bea cukai, imigrasi, dan polisi kehutanan. PPNS itu, kendati tidak disebutkan secara khusus oleh KUHAP, kata Wahono, diberi wewenang menyidik oleh Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah, 1974, khusus untuk perda yang memuat sanksi pidananya. "Dulu, sebelum KUHAP. di Pemerintah Daerah itu kan dikenal istilah prajaksa, yang juga berfungi sebagai penyidik. Tapi tugas dan wewenang mereka kurang jelas, karena itu diharapkan PPNS ini bisa membuat perda itu dipatuhi rakyat," kata Wahono. Dalam melaksanakan penyidikan itu, menurut Wahono, aparatnya tetap di bawah koordinasi polisi. Tapi dalih Wahono itu tidak disepakati oleh ahli hukum tata negara Surabaya, Dr. Philipus M. Hardjon. "Tidak bisa dibayangkan apa jadinya negara ini bila setiap instansi pemerintah yang membuat peraturan dengan sanksi pidana lalu membentuk instansi penyidik untuk mengamankan pelaksanaan peraturannya itu. Saya tidak setuju dengan cara seperti itu," kata Philipus. Ahli hukum itu mengangap, pada prinsipnya KUHAP itu menginginkan di negara kita hanya ada satu penyidik tunggal, yaitu Polri. Kendati disebutkan ada penyidik khusus yang diatur undang-undang, seperti polisi kehutanan, tidak berarti bahwa semua instansi berhak membentuk polisi "Menurut saya, dengan pembentukan PPNS itu sudah terjadi kesimpangsiuran dalam menafsirkan KUHAP," tutur Philipus. Seharusnya, katanya, jika Pemda menemukan pelanggaran terhadap perda yang dibikinnya, instansi itu cukup melapor ke aparat Polri yang memang bertugas untuk itu. "Harap diingat, kita hukan seperti Negeri Belanda, yang mengenal adanya polisi kota praja," katanya. Philipus juga mempertanyakan pernyataan Wahono bahwa PPNS itu di bawah koordinasi Polri. "Bagaimana hubungan struktural dan fungsionalnya?" katanya. Ia juga mempersoalkan, bila suatu ketika, karena kekuranghati-hatian PPNS itu, pihak yang diingikan mempraperadilankannya. "Dalam soal itu, siapa yang harus bertanggung jawab, PPNS atau Polri?" tanyanya. Jika PPNS memang penyidik, maka instansi itu yang harus bertanggung jawab di sidang praperadilan, dan karena aparat itu di bawah Pemda, tentu gubernur yang dituntut. "Lha, 'kan lucu kalau suatu ketika gubernur dipraperadilankan," kata Philipus lagi. Laporan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus