Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menangkap mbah celurit

Ardiyanto, ditangkap lagi setelah mempraperadilankan polisi. ia dituduh menyimpan senjata tajam. pernah ditangkap dan bebas, karena tak terbukti terlibat kasus perampokan nasabah bank di yogya.

1 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang mahasiswa ditangkap setelah mempraperadilankan polisi. Lalu untuk apa ada lembaga praperadilan? MALANG benar nasib Ardiyanto, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Proklamasi Yogyakarta. Ia pernah ditangkap karena diduga terlibat komplotan perampok. Tapi karena tak ada bukti, ia dibebaskan kembali. Merasa sadar hukum, budak Palembang ini mencoba mempraperadilankan polisi. Sial bagi Ardiyanto. Gugatannya ditolak pengadilan. Bersama seorang temannya selesai sidang, Selasa pekan lalu, Ardiyanto melangkah gontai meninggalkan halaman Pengadilan Negeri Yogyakarta. Ketika itulah putra seorang camat di Sumatera Selatan ini dicegat dua anggota reserse Polwil Yogya berpakaian preman. "Ardiyanto kami tahan, untuk pengusutan pemilikan celurit yang ditemukan di kamar kosnya," ujar Kabag Serse Polwil Yogya, Kapten Pol. Drs. Yotje Mende. Pada Maret lalu, Ardiyanto ditangkap karena diduga punya hubungan dengan komplotan perampok nasabah bank di Yogyakarta. Ketika itu polisi mendapat informasi bahwa Ardiyanto sering terlihat berboncengan sepeda motor bersama dua anggota komplotan rampok yang sampai kini masih buron, Boby dan Johny. Dalam komplotan yang dilumpuhkan tim buru sergap Polwil Yogya Boby bertugas sebagai penyedia sarana transportasi setiap aksi dijalankan (TEMPO, Kriminalitas, 30 Maret 1991). Ternyata, tuduhan untuk Ardiyanto itu tidak terbukti. Ia dibebaskan setelah diperiksa kurang dari 24 jam. Selain celurit miliknya, polisi mengembalikan barang bukti berupa dua sepeda motor masing-masing milik Ardiyanto dan milik adik sepupunya, Novian Suryatama. Setelah bebas, Ardiyanto menganggap prosedur penangkapannya tidak sah. "Saya ditangkap dan diborgol tanpa memperlihatkan surat penangkapan," ujar Ardiyanto. Selain itu, katanya, berita-berita tentang dirinya yang bersumber dari kepolisian sangat merugikan nama baiknya. Berita-berita itu memberikan kesan, "Seolah-olah saya ikut komplotan itu," tambah Ardiyanto. Melalui pengacara Nur Ismanto dan Ridarson Galingging dari LBH Yogyakarta, Ardiyanto menuntut ganti rugi moril dan materiil dari Kapolwil Yogyakarta sebesar Rp 1 juta. Ia juga menuntut Kapolwil minta maaf dan meralat berita-berita tentang penangkapannya di surat-surat kabar. Kapolwil menunjuk Kabag Serse Kapten Yotje Mende menghadapi tuntutan Ardiyanto tersebut. Setelah empat kali sidang, Hakim Zulkifli Lubis memutuskan penangkapan Ardiyanto itu sah. Pengunjung sidang, yang sebagian besar anggota polisi berpakaian preman, bertepuk tangan dan bersorak gembira menyambut vonis itu. Mereka bangkit dari tempat duduknya menyalami Kapten Yotje Mende. Sementara itu, Ardiyanto tampak lemas, meninggalkan ruang sidang. Ketika itulah ia ditangkap kembali dengan tuduhan menyimpan senjata tajam. Menurut Kapten Yotje, senjata tajam khas Madura dengan tulisan "mBah Celurit BSc" itu ditemukan tergeletak di lantai kamar, ketika polisi menggeledah rumah kosnya Maret lalu. "Saya tidak mengira akan begini jadinya," kata Ardiyanto, dengan berlinang air mata. Menurut Direktur LBH Yogyakarta Nur Ismanto, menganggap berlebihan alasan polisi menahan kliennya hanya gara-gara menyimpan celurit. "Kalau celurit digunakan sebagai benda pajangan, apa perlu dikenakan pasal itu? Kecuali polisi menemukan senjata tajam itu di tengah keramaian," kata Nur Ismanto. Sebuah sumber di Polwil mengaku, penangkapan Ardiyanto lebih banyak didasarkan pada perasaan tersinggung Polwil terhadap tuntutan praperadilan pemuda itu. "Sebenarnya, kalau Ardiyanto nggak macam-macam, dari dulu persoalannya sudah selesai," ujar seorang sumber TEMPO di Polwil Yogya. Agaknya, kasus Ardiyanto itu cukup untuk peringatan bagi para pencari keadilan agar berpikir dua kali sebelum mempraperadilankan polisi. Kalau demikian, untuk apa lagi ada lembaga praperadilan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus