Haji Mabrur JALALUDDIN RAKHMAT "DAN ibadah haji ke Rumah itu wajib bagi manusia karena Allah (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana" (Ali Imran 96). Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi saw. menyebutkan dua: ada bekal dan kendaraan. Tetapi Al-Dhahak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, berangkatlah ke Baitullah walaupun berjalan kaki. Sepanjang sejarah bekal dan kendaraan tidak menjadi keharusan. Ribuan muslim dari Afrika, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya berangkat ke Mekah dengan berjalan kaki. Mereka tidur di sekitar Masjidilharam, hanya dinaungi langit Hijaz yang tak berawan. Burung-burung merpati melompat-lompat di samping kepala mereka. Rambut mereka berdebu, dan pakaian mereka lusuh. Tetapi barangkali merekalah yang menurut sebuah hadis diseru Tuhan pada hari Arafah, "Hamba-hambaku datang kepadaku dengan rambut kusut dan pakaian lusuh dari sudut-sudut negeri yang jauh. Berangkatlah, wahai, hamba-hambaku, dengan ampunan-Ku atasmu." Mereka bersedia berangkat tanpa bekal yang cukup dan siap menderita untuk memperoleh ampunan Allah. Di Indonesia, banyak orang beruntung naik haji juga tanpa mempersiapkan bekal. Mereka diberi bekal dan tidak menderita. Ada lima jenis haji dalam kelompok ini. Jenis pertama adalah orang yang beruntung naik haji karena ditunjuk pemerintah untuk menjadi anggota tim pembimbing haji atau petugas yang melayani kepentingan jemaah. Orang-orang yang tidak kebagian jatah biasanya menyebut mereka itu "haji nurdin kosasih" -nurut dinas ongkos dikasih. Jenis kedua sebut saja haji getter. Mirip vote getter dalam pemilu. Mereka adalah tokoh umat Islam yang dipilih perusahaan ONH plus untuk menarik "konsumen" ( Resminya, untuk menyertai dan membimbing jemaah). Jenis ketiga adalah "haji bonus". Mereka dapat naik haji karena memenangkan perlombaan (misalnya juara MTQ) atau hadiah perusahaan atau bank. Jenis keempat adalah "haji rekanan". Anda memegang jabatan yang basah. Rekan Anda telah mendapat fasilitas yang menguntungkan dari Anda. Ia menyampaikan terima kasihnya dengan memberi Anda bekal naik haji -kalau perlu, berikut keluarga Anda. Jenis yang terakhir adalah yang paling beruntung -"haji bisnis". Mereka adalah penyelenggara bisnis haji. Mereka berangkat ke Mekah, melakukan ibadah haji, dan memperoleh keuntungan. Mereka sudah jelas mendapatkan fid dunya hasanah dan mudah-mudahan fil akhirati hasanah juga. Apakah mereka termasuk kategori orang-orang yang mampu? Tentu saja. Kemampuan sekarang harus didefinisikan kembali. Anda sudah mampu bila Anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal. Manakah yang mabrur -yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau berkendaraan, yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun, yang memanfaatkan peluang sebagai TKI (TKW) di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan reguler dari mancanegara, yang tinggal di Hotel Aziz Khogeer yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah kumuh di Syi'b Ali? Mabrurnya haji tak diukur dari cara memperoleh bekal, tidak dari tempat tinggal, tidak juga dari tingkat kepayahan. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabaniah (ketuhanan). Ketika Abu Bashir terpesona mendengarkan gemuruh zikir orang-orang yang tawaf, Ja'far As-Shadiq mengusap wajahnya. Ia terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang sekitar Baitullah. Ia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan transformasi spiritual. Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Zainal Abidin -sufi besar dari keluarga Nabi -bertanya, "Ketika engkau sampai di miqat dan meninggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat meninggalkan pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah engkau tanggalkan ria (suka pamer), kemunafikan, dan syubhat? Ketika engkau berihram apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah? Ketika engkau menuju Mekah apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah dan ketika engkau memasuki Masjidilharam apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sai apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi Iblis selama sisa hidupmu?" Ketika untuk semua pertanyaan itu AsySyibli menjawab tidak, Zainal Abidin mengeluh, "Ah ... engkau belum ke miqat, belum ihram, belum tawaf, belum sai, belum wukuf, dan belum sampai ke Mina." Asy-Syibli menangis. Pada tahun berikutnya ia berniat merevisi manasik hajinya. Dalam manasik keluarga Nabi, yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapat bekal dan kendaraan, tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya bisa beristirahat di rumah Allah yang suci. Bila berhasil, Anda mabrur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini