Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bapak abri, kulo nunut

Pabrik pengepakan pt maju jaya mas sejati digebrek polisi. dalam pabrik tersebut ditemukan 11 anak berusia 12-14 th. yang dipekerjakan tanpa gaji. kini bosnya mulyadi, diringkus dan diperiksa.

1 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi menggerebek sebuah pabrik pengepakan. Di situ ditemukan 11 anak berusia 12-14 tahun yang disekap bekerja tanpa gaji bertahun-tahun. IBU mana yang tak cemas jika anaknya raib begitu saja. Begitu pula Tarsilah. Sudah dua setengah tahun putrinya, Warsinah, 14 tahun, bekerja di Jakarta. Konon, di sebuah pabrik pengepakan. Tapi jangankan pulang ke kampungnya di Dusun Karang Kedawung, Purbalingga, Jawa Tengah, kabar beritanya pun tak datang. Setelah menyelidik ke mana-mana, akhirnya ditemani orang sekampungnya, Kopral Satu Satrio, Sabtu malam dua pekan lalu, Tarsilah mendatangi pabrik pengepakan PT Maju Jaya Mas Sejati, di Jalan Kamal Muara II Penjaringan, Jakarta Utara. Di pintu gerbang, mereka dihadang seorang centeng pabrik. Sempat terjadi ketegangan. Untunglah, tak terjadi bentrok fisik. Sesampainya di dalam, Satrio masih dihalang-halangi seorang petugas pabrik. Mereka tetap bersikeras. Tarsilah, yang tak sabaran lagi, berteriak memanggil anaknya. "Warsinah ... Warsinah ....," teriak ibu lima anak itu. Dari ruangan lain terdengar sahutan. "Mboke, aku isih nang kene (Ibu saya masih ada di sini)." Satrio bergegas berlari mendatangi sumber suara itu. Tapi ia terhalang pintu terkunci. Tak ada jalan lain anggota Batalyon Kavaleri IX Tangerang itu mendobrak pintu kamar berukuran 4 X 6 meter. Masya Allah, di dalam ruangan itu tampak berjubel 11 anak berusia 12-14 tahun dengan tampang memelas. Sementara Warsinah nangkring di atas lemari pakaian. Warsinah turun dan langsung mendekap ibunya. Mengharukan. Sepuluh anak lainnya menghambur keluar ruangan sambil menangis. Mereka ramai-ramai mengganduli tubuh Satrio. "Bapak ABRI kulo nunut. Mboten betah teng mriki (Bapak ABRI saya ikut, tak betah di sini)," rengek mereka. Satrio membawa mereka keluar pabrik bersama Tarsinah. Para petugas pabrik hanya mampu melihat adegan tersebut tanpa melakukan apa-apa. Satrio kemudian menyerahkan anak-anak itu ke Polsek Penjaringan. Tapi, lagi-lagi anak-anak itu menangis sambil berkata, "Bapak ABRI, kulo nunut ...." Karena sudah lelah, Satrio, yang mengaku merasa trenyuh, kemudian membawa anak-anak itu ke rumah kontrakannya. Besoknya, kata Satrio, dia kaget ketika mengetahui bos pabrik itu melapor pada Satuan Komando Garnisun (Skogar) Jakarta. Satrio dituduh melakukan penculikan. Pada hari itu juga Satrio membawa anak-anak tadi bersama pengacara Nursinggih menghadap Danyon IX Tangerang. Ternyata, pimpinan Satrio sudah tahu masalah sebenarnya. Bersama-sama mereka berangkat ke Kodim Jakarta Utara menyelesaikan masalah tersebut. Tuduhan pun berbalik ke si pemilik pabrik pengepakan tersebut. Rabu pekan lalu polisi menggerebek pabrik di Penjaringan itu dan meringkus bosnya, Mulyadi. Malam itu juga polisi menyegel pabrik itu. Sampai pekan ini anak-anak korban sekapan dan kerja paksa itu masih tinggal di rumah Nursinggih. Kondisi mereka tampak lemah dan pucat. Sebagian besar tubuh mereka kurus dan nampak kekurangan gizi. "Ini sudah mendingan, kalau melihat pertama kali wah ngenes," kata Nursinggih. Seperti juga Warsinah, ke-10 anak lainnya juga datang dari berbagai pelosok desa di Jawa Tengah. Mereka tergiur bekerja di Jakarta karena dibujuk calo tenaga kerja. "Saya dijanjikan kerja di Jakarta. Katanya enak," ujar Warsinah. Rekan sedesanya Karti, 13 tahun, menyusul. Sedangkan Tugini, 12 tahun, dibujuk calo sekitar empat bulan lalu. Mereka akhirnya sama-sama terdampar di pabrik tersebut. Delapan teman lain mereka direkrut oleh Yayasan Pancaran Asih, Jakarta, sebelum dipekerjakan di situ. Tarsilah sebenarnya tak menyetujui anaknya "hijrah" ke Jakarta. "Tapi dia sudah terbawa arus. Kami hanya bisa menangis saat Warsinah pergi," kata keluarga petani pembuat gula merah itu pada wartawan TEMPO Sri Wahyuni. Pabrik pengepakan tempat anak-anak itu bekerja sehari-hari kelihatan sepi. Gedung yang tampak tak terawat itu dikelilingi tembok setinggi empat meter plus kawat berduri di atasnya. Setiap tamu harus melewati gerbang besi setinggi 4 meter. Di ruang beratap seng itulah, Warsinah dan kawan-kawannya selama berbulan-bulan disekap oleh majikannya. "Untung, kami masih bisa mendengar radio," kata Warsinah. Kalau mereka sakit, katanya, juragan mereka membawa ke dokter. Tapi jangan harap bisa lama-lama. "Saya sakit dua hari, sama Nyonya sempat ditampar sampai pipi saya bengkak. Sakit kok nggak sembuh-sembuh, bentak Nyonya," cerita Misnah, yang sudah 10 bulan kerja di pabrik itu. Tugas mereka setiap hari mengelem kardus-kardus untuk dijadikan kotak. Selama bekerja mereka tak pernah menikmati gaji, jam kerjanya juga tak jelas. Masuk pukul 8 pagi selesai pukul 9 malam. Tapi sering juga sampai pukul satu malam, kalau pesanan banyak. "Malah salat lima waktu tak diperbolehkan," kata Warsinah. Mereka mengaku tidur berdesakan di lantai ubin beralas koran. Di kamar tersebut hanya tersedia satu balai-balai untuk satu orang. Tak ada jendela, hanya lubang angin biasa. Mereka makan sehari tiga kali. "Tapi, lauknya sayur kacang dan ikan asin terus," cerita mereka. Abeng, lelaki bertubuh sedang yang selama ini menjadi "tangan kanan" Mulyadi, mengaku tak tahu tentang perlakuan majikannya pada anak-anak tersebut. "Mereka ada di dalam terus, sedang saya tugas di luar," katanya. Mulyadi ketika ditemui di Polres Jakarta Utara tetap membungkam. Lelaki itu selalu mengacungkan jarinya ke arah polisi. Maksudnya supaya TEMPO menanyakan saja kepada polisi. "Kami masih terus mengadakan pemeriksaan. Arahnya memang tindak perampasan kemerdekaan," kata Kasatserse Polres Jakarta Utara Mayor Didi Suwardi. Gatot Triyanto, Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus