HAKIM H. Aep Effendi mengetukkan palu, menutup sidang sependek 15 menit, setelah menolak gugatan Pengacara Ronggur Hutagalung terhadap Kepala Staf Laksusda Jawa Barat dalam perkara praperadilan. Orang-orang yang berkerumun di gedung Pengadilan Negeri Bandung, Rabu pekan lalu, bubar sembari mungkin bertanya-tanya: sulitkah memenangkan perkara melawan tentara? Militer, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 15/1983, dapat digugat dalam perkara praperadilan - pengadilan negeri dibenarkan menyidangkan perkaranya. Tapi, beberapa pengacara yang mencoba memanfaatkan peluang SEMA itu tak ada yang berhasil. Otto Cornelis Kaligis di Jakarta dan Nawawi di Bandung, misalnya, juga pernah gagal. "Alasan hakim dalam menolak gugatan terlalu dicari-cari," komentar Hutagalung. Pengacara berusia 42 tahun ini diberi kuasa Leonardus Lasarudin alias Liem Hok Liong, 36, menggugat Laksusda Jawa Barat. Soalnya, Leonardus merasa bahwa penahanannya selama 142 hari, sejak Agustus 1983 sampai Januari 1984, bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hutagalung meminta hakim memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya penangkapan serta penahanan Leonardus oleh Laksusda Jawa Barat itu. Jika penangkapan itu tidak sah, begitu ia menggugat, hendaknya kliennya di bebaskan dan Brigadir Jenderal Soeratman Hadi, Kepala Staf Laksusda Jawa Barat, diharuskan membaya ganti rugi Rp 100 juta. Leonardus sejak 17 Januari lalu sudah dipindahkan dari tempat tahanan Laksusda ke rumah tahanan Polda Jawa Barat. Dia adalah satu di antar delapan orang yang ditangkap sehu bungan dengan peristiwa pembunuhan Letnan Kolonel Steven Adam di Cimanggu, Bogor, akhir Mei lalu (lihat: Kriminalitas): Alasan Laksusda menahan ialah Leonardus tidak terlibat urusan pidana biasa, tapi subversi: mengedarkan narkotik - yang kemudian ternyata tak terbukti. Di muka hakim, Kapten Polisi Tumiran, yang diajukan Hutagalung sebagai saksi, mengatakan bahwa ketika Leonardus diserahkan kepada Polda Jawa Barat, surat pelimpahan tahanannya hanya menyebut bahwa tersangka terlibat perkara pembunuhan, bukan pidana subversi. Tetapi, dalam sidang hari terakhir, hakim menolak gugatan Hutagalung dengan alasan sasaran gugatan ganda: Soeratman Hadi sebagai pribadi dan sebagai Kepala Staf Laksusda. Hal itu, menurut hakim, bertentangan dengan SEMA 8 Desember 1983. "Saya tak mengerti apa yang bertentangan," ujar Hutagalung, pengacara ulusan Unpad itu. Mana mungkin seorang anggota militer tak punya kesatuan, pangkat, dan jabatan. Menurut Hakim Aep Effendi, memang, pribadi dan jabatan tak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan. Gugatan Hutagalung ini sebetulnya gugur sebelum pemeriksaan pengadilan memasuki materi perkara. Menggugat militer, dalam beberapa perkara akhir-akhir ini, tampaknya bisa dijadikan uji coba buat memperkarakan militer dalam kasus praperadilan. Dalam uji coba macam begini pula Kaligis dan Nawawi tak berhasil memenangkan kliennya. Seperti halnya Hutagalung, para pengacara ini merasakan bahwa alasan hakim dalam menolak gugatannya bagaikan dibuat-buat. Nawawi, misalnya, juga ditolak gugatannya oleh Hakim Aep Effendi dengan alasan bahwa penahanan kliennya, Palawa bin Andi Mahpe, sah karena atas perintah Panglima. Palawa, 40, bekas anggota Kopasgat ditahan POM Garnizun Bandung dua minggu, dengan tuduhan melindungi perjudian dan kemudian terbukti pula menyimpan senjata api. Sepucuk senapan AK bersama pelurunya dan dua granat tangan memang dijumpai di rumahnya. Tapi Detasemen Markas Kopasgat kemudian mengakui, kejadian itu adalah kelalaian bagian persenjataan Kopasgat dan ketidaktaatan tersangka, yang harus mengembalikan senjata itu ketika keluar dari kesatuan, Februari 1976. Ketika Palawa ditahan, Oktober 1983, tuduhan terhadap dia hanyalah mehndungi periudlan. "Sebab, waktu itu, dia sudah berstatus sipil. Yang harus menangkap Palawa tentunya polisi, bukan Pomgar," ujar Nawawi. Soal menyimpan senjata adalah tuduhan yang ditambahkan kemudian, setelah terdakwa ditahan. Nawawi, yang menggugat Pomgar Bandung- Cimahi, Pomdam VI Siliwangi, dan Poltabes 86 Bandung tak dapat menerima alasan hakim bahwa penahanan itu sah karena dilakukan atas perintah Panglima. Dia malah meragukan surat perintah penahanan yang tak dibubuhi tanda tangan resmi. Dan Kaligis, di Jakarta, belakangan juga harus menerima putusan pengadilan. Kliennya, Tjian Tjen Tje, mencabut kuasa setelah kakaknya, Tjian Tjen Siung alias Siong Siong, 25, dibebaskan dari tahanan POM Garnizun Februari silam. Siong Siong diperiksa untuk mengusut perkara penyelundupan yang konon pamannya, Acong, dan seorang anggota ABRI berpangkat sersan terlibat di dalamnya. Dalam perkara ini Kaligis mengguat Komando Garnizun Ibu Kota. Tapi keputusan Hakim Benny Djohan Simatupang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, akhir Februari, mengatakan bahwa gugatan itu salah alamat. Keputusan ini di jatuhkan setelah didengarkan keterangan Letnan Kolonel M. Yuda Langkat, kuasa Skogar, bahwa wewenang POM Garnizun untuk menyidik adalah wewenang tersendiri. Keterangan Yuda Langkat di pengadilan memang tak disertai bukti, baik berupa SK Menteri Hankam maupun Pangab tentang organisasi ABRI. Kaligis pun bertanya, "Kenapa hakim menerima penuturan Yuda Langkat tanpa disertai bagan organisasi?" Itu semua pengalaman pengacara menggugat militer dalam perkara praperladilan rupanya bukan perkara mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini