Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Siapa membajak ladang advokat?

Pembentukan direktorat perdata dan bantuan hukum oleh Kejasaan Agung. Jaksa diikut sertakan dalam sidang-sidang perkara perdata. (hk)

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH bank pemerintah di daerah, karena suatu urusan perdata, digugat di pengadilan. Ketika pimpinan bank itu sedang berunding dengan pengacaranya, muncul seorang jaksa menawarkan jasa sebagai penasihat hukum, dengan alasan: tugas jaksalah tampil ke pengadilan, bila ada instansi pemerintah kena perkara. Tawaran simpatik, tentu saja, diterima dengan segala hormat. Tapi, omong punya omong, sang jaksa minta honorarium. Pimpinan bank jadi rikuh dan serba salah. Soalnya, ia tidak tahu berapa tarif advokat yang berkantor di kejaksaan. Bahwa jaksa boleh tampil mewakili "pemerintah" di pengadilan, baik sebagai tergugat maupun penggugat, memang diatur dalam ketentuan lama (Staatsblad 1922 No. 522) - tapi tak disebut-sebut mengenai tarifnya. Jadi, menurut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, M. Salim, keikutsertaan jaksa dalam bidang keperdataan bukanlah hal baru. Maka, peresmian Direktorat Perdata dan Bantuan Hukum Kejaksaan Agung pada Senin pekan lalu, menurut Salim, "lebih tepat disebut sebagai lagu lama dengan aransemen baru." Direktorat "baru" itu, yang dipimpin H. Hanafi Asmawi, S.H., 54, dulunya berstatus subdirektorat dari Direktorat Khusus di bawah JAM Bidang Operasi. Setelah Bidang Operasi dipecah, menjadi Bidang Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus, dipandang perlu unit khusus yang menangani bidang perdata dan bantuan hukum. "Problem yang dihadapi kejaksaan sekarang semakin kompleks, juga terspesialisasi, sehingga berpengaruh dalam pengorganisasiannya," kata Salim. Munculnya direktorat tadi, menurut Salim, bukan dimaksudkan untuk mencampuri urusan keperdataan orang per orang. "Dia hanya tampil apabila dalam mengantarkan hak-hak keperdataan terjadi sesuatu yang bisa mengganggu ketertiban masyarakat," ujar Jaksa Agung Muda Salim. Dalam ketentuan mengenai "pailit", contohnya, jaksa berwenang mengajukan tuntutan pernyataan "pailit" kepada hakim dengan alasan kepentingan umum. "Di situ jaksa tampil dalam bidang keperdataan," kata Salim. Jaksa, seperti selama ini, juga boleh berpraktek sebagai advokat pemerintah - sepanjang instansi pemerintah yang beperkara mempercayakannya kepada kejaksaan - dengan surat kuasa khusus jaksa agung. Kuasa itu diberikan kepada kepala kejaksaan tinggi dengan hak subsitusi. Artinya, kejati bisa menunjuk jaksa lain untuk mewakilinya tampil di pengadilan. Karena tak ada kasus yang menonjol, tidak terdengar cerita jaksa jadi advokat. Beberapa tahun yang lalu, sering terdengar, pemerintah lebih suka menyerahkan perkaranya kepada Kantor Advokat Negara daripada ke kejaksaan. Belakangan, advokat-advokat yang diangkat menteri kehakiman juga kesepian, karena departemen atau instansi pemerintah melengkapi diri dengan biro-biro hukum atau menyewa advokat swasta yang sudah beken. Misalnya, untuk mengurus perkara Pertamina di luar negeri. Penyebabnya, pertama, staatsblad tidak mengikat Instansi pemerintah harus mempercayakan perkaranya kepada jaksa. Kedua, seperti diakui M. Salim, "dulu mungkin kejaksaan dianggap belum cukup mempunyai ahli hukum." Setidaknya, para jaksa dianggap hanya berkompeten dalam urusan pidana saja. "Untuk itulah", kata Jaksa Agung Muda Salim, "kami akan merekrut orang-orang yang memang ahli." Sehingga, diharapkan, "pada masa datang pemerintah akan banyak berhubungan dengan kejaksaan." Menurut Salim, tak ada yang perlu dicemaskan dengan tampilnya jaksa dalam sidang-sidang perkara perdata. "Sebab," katanya, "di situlah adanya kesamaan kedudukan antara rakyat dan pemerintah." Seperti praktek selama ini pun, kata Salim, tidak semua perkara "yang berbau penguasa". Lantas ditangani. "Lihat-lihat bobot perkaranya dulu," ujar Salim. Menempati gedung unit III lantai III Kejaksaan Agung di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, direktorat yang baru diresmikan itu terdiri dari Subdirektorat Perdata dan Subdirektorat Bantuan Hukum. Ia termasuk direktorat terkecil karena, biasanya, sebuah direktorat mempunyai tiga atau empat subdirektorat. Kelak, struktur organisasinya akan mencapai tingkat kejaksaan tinggi. Pejabatnya, Hanafi, lulusan FH UI (1959) dan sebelumnya Kepala Kejaksaan Tinggi Irian Jaya di Jayapura, belum ingin bicara banyak mengenai direktoratnya. Kesibukan pertamanya, sehari setelah direktoratnya dibentuk, membaca koran. "Saya sedang membaca komentar para pengacara," ujar Hanafi. Memang ada advokat yang berkomentar: jaksa mulai membajak ladang para advokat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus