LAXMI sedikit lega: akhirnya, Mahkamah Agung memenangkan perkara melawan suaminya sendiri, Sham Sunder. Dalam putusan kasasi yang diterima Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal bulan ini, MA menganggap perkawinan secara adat Laxmi dan Sunder di Yayasan The Sikh Gurdwara Mission Jakarta, 2 Juli 1976, adalah sah. Artinya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, yang menyatakan bahwa perkawinan mereka itu tidak sah, menjadi batal. Rangkaian sengketa suami istri keturunan India di pengadilan itu bermula pada 1975. Sepeninggal suaminya, Satpal, untuk mengasuh kedua putranya, menurut ajaran agama Hindu, Laxmi, 35, mesti kawin dengan keluarga almarhum suaminya. Ternyata, adik kandung suaminya, Sham Sunder, memang bersedia mengawininya. Tetapi perkawinan mereka tidak berjalan mulus Sunder, 32, menganggap istrinya tidak bisa membahagiakan keluarga. Laxmi, menurut pengaduan Sunder, sering tidak tidur di rumah. Juga, katanya, suka kabur dan mabuk-mabukan. Tingkah laku guru TK di Gandhi Mcmorial School Jakarta itu dianggap mencemarkan martabat keluarga Sunder, yang tergolong terpandang di kalangan pemeluk Hindu di sini. Kemelut keluarga itu berlanjut ke pengadilan. Sunder menuntut, 1979, agar perkawinan dipisahkan secara resmi. Sebagai layaknya pemeluk Hindu. kedua anak Laxmi dari Satpal akan diurus keluarga Sunder. Pengadilan, 1980, bukan menceraikan, tapi menyatakan bahwa perkawinan mereka tidak sah. Sebab, menurut Hakim Ruwiyanto perkawinan adat itu tidak didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Laxmi ternyata bertekad memperpanjang perkara. Ia naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Sambil menunggu proses banding, Laxmi mengurus akta pernikahannya, dengan modal sertifikat perkawinan yang dikeluarkan YaYasan The Sikh Gurdwara Mission kemudian. Tanpa menyebutkan bahwa pertikaiannya dengan suaminya sedang diproses di tingkat banding, Laxmi berhasil mengantungi akta pernikahan, September 1980. Lain cerita Sham Sunder. Setelah jatuh putusan pengadilan tingkat pertama, ia langsung meninggalkan Laxmi, yang tinggal di bilangan Gunung Sahari. Sunder bertolak ke New Delhi dan mengawini Neeru Avasthi pada September 1980. Tentu saja perkawinan itu membuat Laxmi semakin gusar. Ia menyeret suaminya ke pengadilan: Sunder dituduh mengkhianati perkawinannya dengan mempersunting Neeru. Alasannya, di samping kemelut keluarganya sedang diproses di tingkat banding, Sunder juga dipersalahkan tidak memberitahukan perkawinannya dengan Neeru. Sidang perkara pidana yang dipimpin Abunasor Machfudz itu akhirnya membebaskan Sunder dari segala tuduhan. Yang dipegang Sunder, yaitu keputusan pengadilan yang menyatakan perkawinannya dengan Laxmi tidak sah, dibenarkan hakim. Sunder juga baru tahu bahwa gugatannya diteruskan ke tingkat banding pada Februari 1981 ketika persidangan pidana itu dibuka. Apalagi, dalam agama Hindu, sebenarnya tidak ada larangan beristri dua. "Tidak ada ketentuannya poligami," kata Gde Gandi, Direktur Urusan Agama Hindu di Departemen Agama kepada TEMPPO. Cuma, katanya, sebaiknya si suami memberitahukan niatnya menambah istri itu kepada istri sebelumnya. Kekalahan berikutnya menimpa Laxmi lagi. Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa pernikahan mereka tidak sah dan juga meminta agar Kantor Catatan Sipil mencabut akta perkawinan mereka. Alasannya, akta pernikahan itu didapat lima bulan kemudian, setelah Laxmi kalah di pengadilan. Laxmi tidak putus asa. Ia naik kasasi. Dalam putusannya, 30 Januari lalu, MA menyebutkan bahwa perkawinan adat Laxmi-Sham Sunder adalah sah. Sidang yang dipimpin Ketua Muda R. Djoko Soegianto itu menganggap bahwa keharusan mencatatkan pada Kantor Catatan Sipil itu hanya berlaku untuk agama yang mempunyai perangkat pencatat perkawinan. Sedang umat Hindu dan Budha memang belum mempunyai pegawai itu. Dan lagi, Mahkamah menganggap, pencatatan cuma sebagai ketentuan administratif. Artinya, bila ketentuan ini tidak dipenuhi, tidak bararti perkawinan orang Hindu dan Budha menjadi tidak sah. Keputusan semacam itu telah beberapa kali dibuat Bismar Siregar, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, ketika menjadi hakim ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. MA juga memerintahkan agar pengadilan tingkat pertama memeriksa kembali dan memutus gugatan perceraian antara Laxmi dan Sham Sunder. Keputusan MA itu memojokkan Sunder. "Klien kami menjadi bulan-bulanan," kata Wairo, pengacara Sunder. "Bahkan semua yang beperkara menjadi korban karena sikap penegak hukum yang tidak jelas." Misalnya, karena putusan pengadilan negeri, Sunder terjebak dengan menikahi Neeru. Namun, dengan kepala dingin, Wairo juga melihat sisi lain keputusan itu. "Putusan itu bisa menjadi yurisprudensi dan pedoman umat Hindu dan Budha yang melakukan perkawinan secara adat," katanya. Kenyataan ini dibenarkan Gde Sandi. "Pencatatan itu sendiri 'kan hanya pemberitahuan kepada pemerintah," katanya. Dan, kenyataannya, sebagian besar pemeluk Hindu di sini tidak memiliki akta perkawinan. Bagi Laxmi, kemenangan di tingkat kasasi itu belum menyelesaikan persoalan. Perkawinannya dengan King Kong, panggilan sehari-hari Sham Sunder, secara adat tidak bisa diceraikan. Entah upaya hukum apa yang akan ditempuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini