POLISI yang menganiaya belum juga di seret ke mahkamah militer. Tapi, anehnya, beberapa korban malah sudah duduk di kursi terdakwa, Senin pekan lalu, di Pengadilan Negeri Magelang. Itulah nasib yang menimpa Abdul Manan dan Affandi dua dari sebelas penduduk Nglawisan di Muntilan, yang November tahun lalu dianiaya polisi. Padahal, akibat penyiksaan di Kepolisian Muntilan itu, empat penduduk mengalami luka cedera. Visum dokter menunjukkan: ada yang tulang iganya retak, penglihatannya berkurang, dan ada pula yang telinganya menjadi rada tuli, seperti Affandi. Penduduk memang telah dihajar dengan brutal, antara lain diharuskan mencabuti rambut "anu"nya sendiri sampai kelimis (TEMPO, 26 November 1983, Kriminalitas). Kendati demikian, para anggota Polri yang dijanjikan atasannya akan ditindak, tetap saja mengenakan baju dinas, bahkan keluyuran di Desa Nglawisan dan menyebabkan nyali penduduk ciut. Bhayangkara Satu Suranto, misalnya, tetap saja mondar-mandir ke rumah Ida. Dari rumah inilah penganiayaan itu berawal. Awal November 1983 itu, sampai hampir tengah malam Suranto masih juga ngendon di rumah Halimah Nurhidayah, alias Ida, gadis Nglawisan. Sampai kemudian Abdul Manan dan Affandi, yang sedang bertugas siskamling, membawa Suranto menghadap Kebayan Dahlan. Perang mulut terjadi. Pranto, anak Kebayan itu, sampai menghina Suranto sebagai "putra Gunung Kidul pemakan gaplek". Hinaan itulah yang kemudian "mengipas" anggota Polsek Muntilan, yang 80% berasal dari Gunung Kidul, sehingga berang dan esoknya menangkap dan menganiaya 11 penduduk Nglawisan. Perkara penganiayaan surut dari pembicaraan. Sampai kemudian hidup kembali setelah, ternyata, yang diadili bukan polisi yang menganiaya, melainkan Abdul Manan dan Affandi. "Perkara ini sungguh aneh." ujar Erwin Ibrahim dari LBH Yogya. "Perkara besar, penganiayaan penduduk, belum diselesaikan, tapi perkara sepele kok ditangani lebih dulu," kata pembela penduduk Nglawisan ini. Sepele? Abdul Manan, 25, dan Affandi, 36, didakwa jaksa melakukan "tindakan yang tidak menyenangkan orang lain". Yaitu, keduanya mengetuk pintu rumah Sunarto, ayah Ida, dengan kasar. Juga, dengan kasar menggiring Suranto menghadap Kebayan Dahlan. Keduanya diancam hukuman paling lama setahun penjara atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Seorang hakim anggota yang menangani perkara ini menyebutnya sebagai perkara yang "membingungkan". Bagaimana mungkin Sunarto bisa menggugat, katanya, sebab pada waktu peristiwa terjadi ia masih terbaring di RS Sarjito. Menurut hakim ini, yang paling berhak menggugat justru Suranto. "Sebab dialah yang terkena gerebekan petugas siskamling itu," katanya. Tapi Suranto pun tak bisa menuntut Abdul Manan dan Affandi. Sebab, menegur seseorang yang hendak menginap di suatu desa tanpa memberi tahu pamong desa setempat tidak bisa digolongkan sebagai perbuatan pidana. "Itu sudah kebiasaan di desa," kata Erwin Ibrahim. Perkara penganiayaan penduduk Nglawisan itu memang telah selesai diperiksa. "Berkas pemeriksaan sudah kami sampaikan ke Kapolres Magelang," kata Kapten Daryoto, Komandan Detasemen POM ABRI VII/ 2. Polres Magelang akan melengkapi hasil pemeriksaan itu, "baru kemudian kami teruskan ke Kapolda," kata Letnan Kolonel Subagio Wiropati, Kapolres Magelang. Apakah polisi penganiaya itu akan dimahmilkan? "Keputusan itu ada di tangan Kapolda," kata Daryoto. Kapolres membantah seakan anak buahnya kebal hukum. Sebelum dimahmilkan, "mereka sudah dikenai tindakan disiplin," kata Subagio. Suranto, misalnya, dipindahkan ke Polsek Sawangan meski masih di Kabupaten Magelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini