HAKIM belum bersedia menghadapkan kembali kedua terhukum ke ruang sidang: Paeran, 45, dan Ponirin, 24, hanya disimpan di sel pengadilan itu ketika berkas perkaranya disidangkan kembali. Perkara kedua orang itu ditinjau kembali di Pengadilan Negeri Rantauprapat, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Keberatan menghadirkan terhukum, menurut Hakim Daulat Napitupulu dalam sidangnya yang kedua Selasa minggu lalu, didasarkan ketentuan pasal 265 KUHAP: Sidang semacam itu cukup dihadiri pemohon yang diwakili oleh Pembela Syafruddin Kalo dari LBH Medan dan Jaksa K. Ginting Suka. Tapi Syafruddin bersikeras meminta agar hakim menghadirkan Paeran dan Ponirin yang sudah menunggu di balik terali, cuma 15 meter dari ruang sidang itu. "Hakim perlu tahu keadaan mereka sekarang," katanya. Keadaan fisik dan mental kedua terhukum itu memang runyam akibat cara pemeriksaan polisi yang kelewat batas (TEMPO, 21 Januari 1982). Di tempat yang sama, 1977, Paeran dijatuhi hukuman 10 tahun dan Ponirin 7 tahun penjara. Kedua penduduk Aek Kanopan itu, menurut Ketua Majelis Hakim M. Bangun, S.H., pada Maret 1977 terbukti membunuh Atmo, 45, dan Sumarni, 17. Keduanya tidak menerima putusan. Tapi di tingkat banding dan kasasi, hukuman mereka diperberat masing-masing menjadi 12 tahun. Setelah Paeran dan Ponirin mendekam hampir tiga tahun di penjara, misteri pembunuhan sebenarnya tersingkap. Neal Singh, 1980, diadili di Rantauprapat pula, dan dijatuhi hukuman penjara 12 tahun karena terbukti membunuh Atmo dan Sumarni. Sebelumnya, ia malah terbukti memperkosa Sumarni. Anehnya, walau "pembunuh sebenarnya" sudah dijebloskan ke dalam penjara, Paeran dan Ponirin, yang sejak semula tidak mengaku, tetap saja menjadi penghuni bui. Kejanggalan lain, dalam berkas pemeriksaan polisi ada dua foto rekonstruksi yang berbeda. Pada berkas 1977, yang disidangkan ulang, tampak Paeran dan Ponirin sebagai pelaku. Sementara itu, dalam berkas yang lain, 1980, hanya Neal Singh yang menjadi pembunuh. Berangkat dari keganjilan itu, LBH Medan meminta agar keputusan kasasi untuk Paeran-Ponirin ditinjau kembali. Pertengahan Januari lalu Syafruddin Kalo diutus menghadap Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S. Gandasubrata. Peninjauan kembali, menurut Purwoto, mesti disidangkan di pengadilan yang memeriksanya pada tingkat pertama. Permohonan herziening, "peninjauan kembali", akhirnya diajukan lewat Pengadilan Negeri Rantauprapat, awal bulan ini. "Sidang itu hanya untuk memeriksa keberatan-keberatan baru yang diajukan," kata Purwoto kepada TEMPO, "dan bukan untuk memutuskan." Keputusan tetap dari palu Mahkamah Agung. Dalam sidang itu terlihat beberapa perbedaan pandangan antara jaksa dan pembela. Jaksa Ginting Suka menganggap bahwa Paeran dan Ponirin bersama-sama Neal Singh menghabisi nyawa Atmo dan Sumarni. Tapi, menurut Syafruddin, Neal, yang sudah diketahui terlibat ketika Paeran-Ponirin diadili, baru diperiksa tiga tahun kemudian. "Seolah-olah sidang itu terpisah," katanya kepada TEMPO. Apalagi, dalam sidang Neal Singh, kedua terhukum itu tidak dihadapkan sebagai saksi. Apa pun putusan herziening nanti, sangat dinantikan Paeran dan Ponirin, yang sudah mendekam di penjara sekitar delapan tahun. Tapi, "andaikan saya bebas, apa yang harus saya perbuat?" kata Paeran berkaca-kaca kepada TEMPO. Sebab, seperti kata istrinya, Sumiatun, yang kini menjadi tukang cuci pakaian, keluarganya benar-benar sudah berantakan. "Saudara-saudara tidak mau menerima saya, karena Paeran dianggap pembunuh," katanya, ketika mengunjungi suaminya di Pengadilan. Seorang anaknya meninggal selama ayahnya berada di penjara, dan satu lagi dipungut orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini