SEORANG pokrol dari Samarinda. Fachrie Doemas, berbuat tak kepalang tanggung: menggugat 11 pemimpin redaksi media massa Jakarta dan Samarinda serta empat tergugat lainnya. Sembari menuduh bahwa kelima belas tergugatnya memfitnah dan menghina dirinya, Fachrie menuntut ganti rugi Rp 102 juta, baik secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng. Hingga pekan ini, Pengadilan Negeri Samarinda belum memutus perkara itu. Menjelang akhir 1978, harian Merdeka membuat berita berjudul "Berkas Perkara ke MA Dibajak", yang isinya menyatakan bahwa Fachric Doemas "mengambil" berkas perkara dari tangan seorang pegawai pengadilan yang hendak mengeposkannya ke Mahkamah Agung. Berita itu dikembangkan surat kabar Wisma Berita, Kaltim Post, Mimbar Masyarakat, Suara Kaltim (Samarinda), Kompas, Sinar Harapan, dan Pelita Jakarta). Sedangkan beberapa majalah ibu kota yang ikut ambil bagian ialah Detik, Topik, dan Detektip Romantika. Kasus itu kemudian disidangkan di pengadilan. Di pengadilan, 1981, Fachrie dituduh membujuk pegawai pengadilan, Soegiono, melakukan penggelapan. Untuk apa? Ceritanya cukup panjang. Dimulai dari sengketa antara Abdullah Baruga dan Mustafa Kemal. Baruga, awal 1976, menuduh Mustafa mengubah status CV Rinda menjadi PT Marimun Timber & Industries. Perubahan yang dilakukan di depan notaris, kata Baruga, disertai pengalihan seluruh harta kekayaan. Di dalam PT baru itu nama Baruga tidak tercantum. Padahal, konon, Baruga merupakan salah seorang pemilik CV Rinda. Perkara sampai ke pengadilan. Baruga diwakili Otto Liah dan Mustafa menunjuk Fachrie Doemas sebagai kuasanya. Di pengadilan tingkat pertama, April 1976, Otto Liah kalah. Di tingkat banding, tahun berikutnya, giliran Fachrie yang kalah. Tapi Fachrie memperoleh kemenangan pada tingkat kasasi. Tapi, sebelum keluar keputusan kasasi Soegiono bikin ulah. Pegawai honorer pengadilan yang merangkap kerja pada Fachrie Doemas itu menyatakan bahwa suatu hari ia ditugasi mengeposkan lima pucuk surat. Satu di antaranya adalah berkas perkara perdata Baruga-Mustafa yang hendak dikirimkan ke Mahkamah Agung di Jakarta. Fachrie kebetulan mau mengantarkannya ke kantor pos. Sebelum sampai di kantor pos, tutur Soegiono kepada hakim, Fachrie meminta berkas yang menyangkut kliennya. "Nanti saya kirim lewat Elteha atau langsung saya bawa ke Jakarta, 'kan lebih cepat," kata Fachrie, seperti dituturkan Soegiono. Tak jelas apa yang dilakukan Fachrie dengan surat "bajakannya" itu - kalau memang benar ia berlaku demikian. Tapi Baruga menuduh, "bisa saja dia menambah atau mengurangi kelengkapan dokumen, sehingga dia dapat memenangkan kliennya," katanya kepada TEMPO. Yang jelas, Jaksa Budiardja menganggap Fachrie terbukti bersalah, dan menuntutnya dengan hukuman penjara 1 bulan. Apa pun, putusan hakim yang menentukan. Ternyata, Fachrie Doemas, yang dibela rekan-rekannya dari Pusbadhi (organisasi bantuan hukum), dibebaskan dari segala tuduhan: berkas yang konon dibajak itu sampai dengan selamat di alamatnya. Putusan itu, Juni 1981, diperkuat Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Mei 1982, dan dikukuhkan lagi oleh Mahkamah Agung, November 1983. Berangkat dari keputusan-keputusan itulah Fachrie Doemas menggugat Baruga (yang melaporkan soal "pembajakan berkas" ke polisi), Soegiono (sumber berita pembajakan), Otto Liah dan Agustinus Temarabun (pengurus Peradin), dan Syahrani Dansul (yang membuat laporan ke Opstib Pusat), serta para pemimpin redaksi beberapa surat kabar dan majalah. Pers dianggapnya membuat berita secara berlebih-lebihan, mencampuri urusan pengadilan, atau dengan kata lain: mendahului vonis pengadllan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini