TUNGGU punya tungu, akhirnya, Udin toh tidak muncul. Padahal, sidang praperadilan, menurut ketentuan, harus putus dalam tempo tujuh hari. Jadi, Pengadilan Negeri Bandung segera mengambil keputusan, Senin pekan lalu, meski Udin yang memohon sidang itu diadakan tidak hadir. Keputusannya, seperti perkara praperadilan yang sudah-sudah, penggugat kalah. Pertimbangan hakim - kurang lebih - juga biasa: gugatan salah alamat. Soalnya bukan menang atau kalah. Tapi di mana Udin ? Udin Jaelani bin Mumun, 44, pedagang sayur merangkap calo bis di Pasar Ciroyom, Bandung, memang raib bak ditelan bumi, setelah suatu malam pada pertengahan bulan ini ia dijemput empat lelaki kekar dari rumahnya di Desa Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung. Salah seorang penjemputnya, konon, mengenakan topi polisi secara terbalik. Padahal, besoknya, Udin harus hadir di pengadilan, memberi kesaksian dari perkara yang dibuatnya. la menggugat Kapolda Jawa Baral dan Sersan (Polisi) Wawan, yang dituduhnya menangkap dan menahan dirinya selama 10 bulan secara tidak sah. Karena saksi utama hilang pengadilan bertumpu pada keterangan saksi lain, Eddy Siahaan. Menurut Eddy, dia bersama Udin dan Rustam Effendy ditangkap Sersan Wawan di Pasar Ciroyom, Mei tahun lalu, karena dituduh melakukan pemerasan. Mereka ditahan di kantor polisi di Jalan Braga. Baru dua pekan lalu mereka dibebaskan dengan "pesangon" masing-masin Rp 10.000 dan sebuah pesan: harus segera meninggalkan Bandung. Selain itu, kata Eddy, mereka juga diharuskan meneken sebuah surat dan diwajibkan lapor ke kantor polisi setiap minggu. Kesaksian Eddy merupakan sambungan dari keterangan Nyonya Odah Saodah, 23, istri Udin, dan Ili 44, mertuanya. Setelah dua bulan Udin tidak pulang - dan sia-sia dicari - mereka menerima surat yang diantarkan seorang polisi. Udin mengabarkan bahwa ia meringkuk di tangsi polisi. "Sejak itu. kami besuk atas izin polisi," ujar Nyonya Odah. Nyonya Odah berusaha membebaskan suaminya. Ia berhubungan dengan Kapten Tumiran yang dianggapnya mengurus Udin. Tapi, Tumiran hanya memberinya harapan, dengan setiap kali mengatakan, "Nanti saya urus ke atasan." Di dalam, Udin juga mulai putus asa, sehingga tingkahnya macam-macam. Rajah di tangannya, misalnya, dikulitinya sendiri dengan pisau silet. Akhirnya, Nyonya Odah dan orangtuanya menghubungi LBH Bandung. Usaha LBH ada hasilnya: dua hari sebelum sidang prapengadilan dibuka, Senin dua pekan lalu. Udin dan teman-temannya dilepaskan dari tahanan dengan beberapa syarat tadi. Tapi, Mayor (Polisi) Andi Saleh, kuasa Kapolda dan Wawan, menolak kesaksian-kesaksian itu. Betul, Udin dan kawan-kawannya mendekam di sel polisi, katanya, tapi sesungguhnya mereka cuma "titipan" Laksusda Jawa Barat. Mayor itu menunjukkan dua pucuk surat Laksusda: yang satu surat perintah penahanan bertanggal 27 Mei 1983, yang lain surat perintah mengubah status "tahanan" menjadi "tahanan kota", 1 November 1983. Semua keterangan polisi rupanya meyakinkan hakim untuk membebaskan Kapolda dan Wawan dari gugatan. Terbukti, menurut Hakim Djadja Djaelani, "polisi tidak menahan pemohon, hanya menerima titipan dari Laksusda." Pertimbaangan Hakim itu menjengkelkan Nyonya Amartiwi Saleh, Ketua LBH Bandung, yang mewakili Udin di pengadilan. "Memang Udin itu barang yang bisa dititip-titipkan begitu saja?" katanya, sambil meminta Hakim menunjukkan pasal KUHAP mana yang menyebut istilah "tahanan titipan". Berbagai fakta yang terungkap di pengadilan, menurut Nyonya Amartiwi, sebenarnya cukup menyatakan alamat mana yang layak digugat. Dari mulai yang menangkap Udin dan teman-temannya, menahan, memberi izin Nyonya Odah membesuk, sampai melepaskan mereka dari tahanan, menurut pengacara itu, dilakukan polisi. Belakangan, setelah perkara masuk ke pengadilan, muncul surat-surat Laksusda itu. Surat perintah perubahan status penahanan yang bertanggal 1 Noemher 1983 misalnya, kata Nyonya Amartiwi, baru ditunjukkan dan disuruh ditandatangani Udin pada 10 Maret lalu, beberapa saat sebelum pembebasan dari tahanan. Ada lagi: menurut surat perintah itu, perubahan status penahanan mulai 1 November 1983, tapi polisi baru melepaskan tahanannya empat bulan kemudian. Polisi mudah saja menjawab soal itu. Katanya, Udin menolak dibebaskan, karena takut berada di luar tahanan oleh suatu hal yang tak jelas, "Dia minta perlindungan polisi," kata Mayor Andi Saleh. Hakim percaya. Apalagi kesaksian Udin mustahil bisa didengar. Setelah menunda sidang, selama dua hari, katanya untuk memberi "kesempatan" tampil kepada Udin, Hakim Djadja memutus perkara praperadilan itu. "Sidang praperadilan", katanya, "tidak bisa diulur lebih dari tujuh hari." Dari urutan peristiwa menghilangnya Udin, menurut Kepala Seksi Penerangan Polda Jawa Barat, Letnan Kolonel J.J. Manurip, kedudukan polisi memang serba repot: bisa dituding sebagai penculik. "Kalau memang polisi yang berpakaian preman mengambil Udin, ngapain ada yang memakai topi pet terbalik?" kata Manurip. Manurip menegaskan bahwa polisi kini tengah mengusut dengan serius peristiwa menghilangnya Udin. Seberapa serius, belum jelas. Sebab, hingga minggu lalu, belum ada seorang polisi pun meminta keterangan Nyonya Odah saksi utama peristiwa penculikan Udin. Boleh jadi, pengusutan polisi bertolak dari sumber lain. Yang penting memang hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini