Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menebang Keppres dan Perpu

Jika kedaulatan rakyat ingin ditegakkan, tap MPR, perpu, dan keppres mesti selekasnya disingkirkan. Ketiganya merupakan sumber utama penyalahgunaan kekuasaan.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK percuma mantan presiden Soeharto memberdayakan sejumlah ahli hukum di lingkar dalam kekuasaannya. Peran dan keterlibatan mereka secara langsung—dalam berbagai produk peraturan—memang sulit dibuktikan. Namun, paling tidak mereka ikut menyusun ratusan keputusan presiden (keppres), yang selama 32 tahun Orde Baru sangat dominan mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Produk hukum ini mengatur banyak hal di banyak sektor, sehingga tak terlalu salah kalau ada yang mengatakan bahwa Soeharto memerintah berdasarkan decree, mirip dengan kaisar-kaisar tempo dulu. Dan tak berlebihan pula jika dikatakan, decree yang berbentuk keppres itu pula yang menyimpang dari ketentuan hukum sekaligus merugikan dan menyengsarakan rakyat.

Ironisnya, karena DPR waktu itu lebih sering berfungsi sebagai "tukang stempel kerajaan", keberadaan keppres sukar diganggu gugat. Padahal, berbagai keppres yang diteken Soeharto banyak mengandung penyimpangan, baik karena menabrak undang-undang maupun mengandung penyalahgunaan kekuasan. Tak pelak lagi, keppres itu jugalah yang menjadi sumber korupsi dan harta bagi anak-anak dan kroni Soeharto (lihat tabel 1).

Salah kaprah yang sangat merugikan negara dan rakyat itu bisa berlangsung dengan lancar bukan semata-mata karena sistem politik yang didominasi presiden, tapi juga akibat kekeliruan sistem peraturan perundang-undangan dan penafsiran hukum. Dari segi sistem peraturan, sesuai dengan Ketetapan (Tap) MPR Sementara Nomor XX Tahun 1966, keppres bisa merupakan pelaksanaan dari undang-undang dan peraturan pemerintah. Keppres jenis ini bersifat delegatif.

Selain itu, ada pula jenis keppres atributif yang mandiri. Keppres jenis ini, seperti pernah diutarakan oleh seorang ahli hukum, bersumber dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tentang kekuasaan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi. Ahli hukum tersebut bahkan berpendapat, keppres tak hanya berfungsi sebagai penetapan yang individual dan final (beschikking), melainkan juga bisa menjadi peraturan (regeling).

Itulah yang kemudian membuat jangkauan keppres jadi sangat luas dan seolah tanpa batas. Jangkauannya mencapai penetapan pengangkatan menteri, duta besar, jaksa agung, ataupun panglima TNI, sampai pengaturan tata niaga cengkeh, mobil Timor, tarif tol, dana reboisasi, dan dana yayasan yang dipimpin Soeharto.

Seharusnya, menurut ahli hukum tata negara Sri Soemantri, keppres hanya berfungsi sebagai penetapan. Bila presiden hendak membuat perangkat hukum yang bersifat mengatur, bentuknya bukanlah keppres, tapi peraturan pemerintah.

Terlebih lagi bila presiden mau mengatur masalah umum seperti pungutan atau pajak, seharusnya itu dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan keppres. Bagaimanapun, "Peraturan yang akan mengikat, apalagi membebani rakyat, harus diputuskan dengan undang-undang melalui DPR," Sri Soemantri menegaskan.

Berdasarkan itu, pakar hukum senior ini mengusulkan kepada Badan Pekerja MPR agar menghapus keppres dari dunia hukum. Kolega Sri Soemantri, Bagir Manan, yang juga ahli hukum tata negara, meminta agar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) juga dicabut dari sistem peraturan perundang-undangan.

Menurut Bagir Manan, perpu sebagai produk hukum darurat juga merupakan salah satu sumber kesewenang-wenangan presiden. Sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945, perpu hanya bisa dibuat presiden dengan persyaratan yang amat ketat, yakni dalam "hal-ihwal kegentingan memaksa" dan DPR sedang reses.

Namun, berdasarkan pemantauan Bagir, dari beberapa perpu terakhir, entah yang mengatur soal kepailitan, unjuk rasa, ataupun pengadilan hak asasi manusia, dua syarat penting itu tak terpenuhi. "Keselamatan negara tak terancam. DPR juga sedang bersidang, tidak reses," ujar Rektor Universitas Islam Bandung itu.

Bagi Bagir, jenis peraturan untuk beberapa masalah di atas seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Masalahnya tinggal pada prioritas penggodokan di DPR, sehingga proses pembuatan undang-undang itu bisa lebih cepat. Dengan prosedur itu, berarti eksistensi dan fungsi DPR sebagai badan legislatif sekaligus pengontrol kekuasaan eksekutif tak dinafikan begitu saja.

Pakar hukum tata negara yang kini lebih terkenal sebagai pengacara, Adnan Buyung Nasution, juga ikut memberi masukan kepada MPR. Abang Buyung—demikian panggilan akrabnya—mengemukakan pendapat yang jauh lebih keras, yakni agar ketetapan MPR dihapuskan saja. Soalnya, selama Orde Baru, yang "mengharamkan" perubahan UUD 1945, produk hukum MPR justru dimanfaatkan untuk mengamendemen UUD 1945 sesuai dengan kepentingan politik Orde Baru. Tak mengherankan bila beberapa tap MPR justru mengukuhkan hegemoni Presiden Soeharto.

Ahli hukum tata negara Harun Alrasid telah menyuarakan pendapat yang sama sejak 1976. "UUD 1945 tidak mengenal bentuk peraturan yang bernama tap MPR, yang tingkatannya di bawah UUD dan di atas UU," demikian Harun.

Namun, usul yang satu itu agaknya akan mengalami pembahasan alot. Apalagi Sri Soemantri dan Bagir Manan menganggap tap MPR masih diperlukan, asalkan cakupan materi tap MPR hanya dibatasi pada masalah penetapan, misalnya pengangkatan presiden dan wakil presiden. Itu berarti, tap MPR tak boleh mengandung muatan yang bersifat mengatur.

Hal senada juga diutarakan Rambe Kamarulzaman, Ketua Panitia Kerja II di Badan Pekerja MPR. Menurut Rambe, tap MPR bisa dipertahankan asalkan produk hukum itu bersifat mengikat dan mempunyai akibat hukum, termasuk meminta pertanggungjawaban presiden bila tap MPR dimaksud tak dilaksanakan.

Happy Sulistyadi, Upiek Supriyatun S. (Bandung), dan Hadriani Pudjiarti

Produk Hukum Bermasalah

JenisContohKeterangan
Tap MPRNomor VII Tahun 1973 tentang Triumvirat sebagai Pejabat Presiden

Nomor V Tahun 1998 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Presiden Soeharto untuk Mengamankan Pembangunan

Nomor VI Tahun 1999 tentang Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Aturan penting ini mestinya ada pada undang-undang.

Pelimpahan wewenang, yang telah lima kali dilakukan MPR, ini berlebihan.

Materi yang memuat kewarganegaraan dan usia calon presiden dan wakil presiden mestinya diatur dalam UUD.

PerpuNomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan

Nomor 2 Tahun 1998 tentang Unjuk Rasa

Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM

Diterima DPR dan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998

Ditarik pemerintah dari DPR

Ditolak DPR

KeppresNomor 42 Tahun 1996 tentang Bebas Pajak dan Bea Masuk Mobil Timor

Nomor 93 Tahun 1996 tentang Dana Reboisasi Rp 250 Miliar untuk PT Kiani Kertas

Menabrak undang-undang

Penyalahgunaan kekuasaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus