Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jiwa-Jiwa yang Mati

Sebuah film tentang mimpi Amerika yang gagal dan berakhir dengan sepi. Disutradarai oleh sineas muda dari Inggris yang berangkat dari tradisi panggung Shakespeare.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMERICAN BEAUTY
Sutradara:Sam Mendes
Skenario:Alan Ball
Pemain:Annette Benning, Kevin Spacey, Thora Birch
Produksi:Dreamworks
Di dalam "kematian"-nya, Lester Burnham berkisah. Di dalam hidupnya yang sudah "mati", Burnham melakukan sebuah napak tilas untuk mencari sisa-sisa kebahagiaan yang pernah tercecer. Dan sekelumit daya hidup itu ditemuinya pada sebuah fantasi seksual remaja putri berusia 15 tahun.

Siapakah Lester Burnham? Seorang Humprey pada tahun 2000 yang menemui Lolita di tubuh kawan putrinya sendiri? Seorang ayah yang kesepian, pecundang, dicemooh istri, dan dijauhi sang putri yang kemudian mencari penawar sepi di dalam kebugaran anak remaja?

Film American Beauty karya Sam Mendes, seorang sutradara teater Shakespearean Inggris, sesungguhnya menyoroti kehidupan suburban Amerika dengan lensa komedi tragis. Ia bukan mempersoalkan hubungan gaya Lolita. Film ini adalah sebuah komedi hitam karena kita menertawakan absurditas problem-problem yang begitu kita kenal. Film ini adalah sebuah tragedi karena kita bisa mengidentifikasi diri dengan kegagalan dan kesepian setiap tokoh dalam film itu.

Film ini menampilkan serangkaian tokoh yang menghadapi sederet problem keluarga disfungsional yang tampak rapi, tertib, licin dari luar. Lester Burnham, yang diperankan dengan cemerlang oleh Kevin Spacey, membuat narasi tentang lokasi dan situasi dirinya semasa ia masih hidup: "Ini rumahku…. Ini jalanan tempat tinggalku…." Bersamaan dengan narasi itu, kamera menyorot sebuah perumahan kelas menengah, suburban Amerika. "Dan itu istriku, Carolyn…." Seorang perempuan berusia di penghujung 30-an menenteng gunting dan tangkai mawar. "Warna merah mawar yang dipetiknya dan warna sepatu yang dikenakannya begitu terpadu. Ini bukan sebuah kebetulan belaka," demikian komentar sang suami, yang bercerita kepada penonton yang mulia dengan nada sinis. Inilah gambaran kehidupan keluarga yang cerah, tertib, aman, dan berwarna merah jambu. Itulah kehidupan "normal" yang dititahkan kepada segenap keluarga di suburban Amerika, yang disebut dengan sinis oleh Lester sebagai "sebuah iklan untuk memperlihatkan betapa normalnya kehidupan kita".

Tetapi, Lester adalah seorang suami yang sudah lama tak diacuhkan oleh istri yang sibuk menata penampilan keluarga, seorang ayah yang tidak dihormati putri remajanya, Jane, dan karyawan yang dianggap tak penting di dalam kantor. Pendeknya, ia sudah "mati" karena daya hidupnya sudah turun ke titik nol. Hingga suatu hari, ketika ia bertemu dengan sahabat putrinya, Angela Hayes, yang jelita, blonda, dan bahenol, seluruh kehidupannya kemudian berbalik arah.

Fantasi tentang Angela—yang dari dadanya bertumbuhan seribu tangkai mawar—kemudian menjadi inspirasi sebuah "revolusi". Lester mulai rajin berolahraga, kembali mengisap ganja untuk mengingat masa muda, memeras atasannya hingga ia bisa dikenai PHK dengan jumlah pesangon yang dahsyat, dan membeli sebuah mobil Pontiac Firebird berwarna merah menyala hanya karena "inilah mobil yang selalu kuinginkan". Lester Burnham mengalami sebuah metamorfosis dan lahir kembali dari jasadnya.

Carolyn, sang istri, dan Jane, sang putri, masing-masing mempunyai problem. Carolyn (Annette Bening) berhubungan gelap dengan seorang raja real estat, Buddy Kane (Peter Gallagher), dan selalu memaksa diri untuk merasa bahagia dengan kehidupannya, sementara Jane (Thora Birch) adalah seorang remaja tanggung yang serba marah kepada kehidupan dirinya. Rasa minder—karena bersahabat dengan seorang yang jelita—dan kehidupan keluarga yang porak-poranda telah membawanya ke pelukan Ricky Fritts (Wes Bentley), tetangganya, yang juga datang dari keluarga disfungsional. Ayah Fritts (Chris Cooper) adalah seorang kolonel marinir yang luar biasa disiplin, menderita homofobia, dan memiliki rahasia hidup pribadi, sementara sang ibu, Janey Fritts (Barbara Allison), yang hidupnya juga sudah "mati", menambah sosok-sosok film ini menjadi lengkap sebagai kumpulan warga Amerika yang menjadi korban dari mimpi Amerika yang ideal.

Jika film ini kemudian diganjar penghargaan—dari Golden Globe hingga (tampaknya akan memborong) Academy Awards tahun ini—memang itu bukan sebuah kejutan besar. Film ini adalah sebuah terobosan. Mendes menggunakan sebuah tema lama dan menyajikannya dengan kemasan komedi tragedi yang kelam. Ia mengemukakan problem setiap sosok dan menjahitnya dengan sebuah sulaman yang luar biasa rapi—tentu saja salah satunya berkat skenario cemerlang Alan Ball—sehingga setiap segmen ini berhasil melaju menentang setiap antisipasi penonton. Kejutan-kejutan tentang rahasia gelap setiap tokoh terjadi sebagai sesuatu yang alamiah dan bukan sebagai sebuah kebetulan yang dipaksakan ala novel Inggris abad ke-19.

American Beauty bukan hanya kisah jiwa-jiwa yang kosong karena pengkhianatan sebuah mimpi hidup Amerika yang ideal. Film ini juga mewakili kegagalan mimpi kita.

Leila S.Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus